editor : Gilar Gandana
WAHANA SATRASIA
Senin, 12 Januari 2009
Dasar Kajian Drama & Pementasan
----------------------------------------------------
-------------------
------------------------
http://wahanasatrasia.blogspot.com/2009/01/1.html
Dasar-dasar Teater
(1/6): Definisi & Sejarah
Teater
1.1 Definisi Teater
Teater berasal dari kata Yunani, “theatereatron”
(bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan.
Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan
sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian,
dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk,
wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan
lain sebagainya. Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas
naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain
tokohg-tokohgan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi
pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual.
Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur
teatrikal dan bermakna filosofis.
Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan
perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat
dilihat dari sudut pandang sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik
berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan
langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”,
(Harymawan, 1993).
Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak
era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan
kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan
perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks
atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa istilah “teater” berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama”
berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater
adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan
disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon dan “teater” adalah
pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah satu unsur dari “teater”.
Dengan kata lain, secara khusus teater
mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan (to act)
sehingga tindaktanduk pemain di atas pentas disebut acting. Istilah acting
diambil dari kata Yunani “dran” yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi.
Karena aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor
dan pemain wanita disebut actress (Harymawan, 1993).
Meskipun istilah teater sekarang lebih umum
digunakan tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan
teater di atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan
digunakannya naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam
pertujukan teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater.
Yang ada adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda: Het Toneel). Istilah
Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta.
Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi” berarti “rahasia”, dan “wara”
atau “warah” yang berarti, “pengajaran”. Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara”
berarti “pengajaran yang dilakukan dengan perlambang” (Harymawan, 1993).
Rombongan teater pada masa itu menggunakan
nama Sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada
Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat
populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman
Kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006).
Keterikatan antara teater dan drama sangat
kuat. Teater tidak mungkin dipentaskan tanpa lakon (drama). Oleh karena itu
pula dramaturgi menjadi bagian penting dari seni teater. Dramaturgi berasal
dari bahasa Inggris dramaturgy yang berarti seni atau tekhnik penulisan drama
dan penyajiannya dalam bentuk teater. Berdasar pengertian ini, maka dramaturgi
membahas proses penciptaan teater mulai dari penulisan naskah hingga
pementasannya. Harymawan (1993) menyebutkan tahapan dasar untuk mempelajari
dramaturgi yang disebut dengan formula dramaturgi. Formula ini disebut dengan fromula
4 M yang terdiri dari, menghayalkan, menuliskan, memainkan, dan menyaksikan.
M1 atau menghayal, dapat dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang karena menemukan sesuatu gagasan yang
merangsang daya cipta. Gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan pada suatu
persitiwa baik yang disaksikan, didengar maupun dibaca dari literatur tertentu.
Bisa juga gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan pada kehidupan
seseorang. Gagasan atau daya cipta tersebut kemudian diwujudkan ke dalam
besaran cerita yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah lakon untuk
dipentaskan.
M2 atau menulis, adalah proses seleksi atau
pemilihan situasi yang harus dihidupkan begi keseluruhan lakon oleh pengarang.
Dalam sebuah lakon, situasi merupakan kunci aksi. Setelah menemukan kunci aksi
ini, pengarang mulai mengatur dan menyusun kembali situasi dan peristiwa
menjadi pola lakon tertentu. Di sini seorang pengarang memiliki kisah untuk
diceritakan, kesan untuk digambarkan, suasana hati para tokoh untuk diciptakan,
dan semua unsur pembentuk lakon untuk dikomunikasikan.
M3 atau memainkan, merupakan proses para
aktor memainkan kisah lakon di atas pentas. Tugas aktor dalam hal ini adalah
mengkomunikasikan ide serta gagasan pengarang secara hidup kepada penonton.
Proses ini melibatkan banyak orang yaitu, sutradara sebagai penafsir pertama
ide dan gagasan pengarang, aktor sebagai komunitakor, penata artsitik sebagai
orang yang mewujudkan ide dan gagasan secara visual serta penonton sebagai
komunikan.
M4 atau menyaksikan, merupakan proses
penerimaan dan penyerapan informasi atau pesan yang disajikan oleh para pemain
di atas pentas oleh para penonton. Pementasan teater dapat dikatakan berhasil
jika pesan yang hendak disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penonton.
Penonton pergi menyaksikan pertunjukan dengan maksud pertama untuk memperoleh
kepuasan atas kebutuhan dan keinginannya terhadap tontonan tersebut.
Formula dramaturgi seperti disebutkan di atas
merupakan tahap mendasar yang harus dipahami dan dilakukan oleh para pelaku
teater. Jika salah satu tahap dan unsur yang ada dalam setiap tahapan
diabaikan, maka pertunjukan yang digelar bisa dipastikan kurang sempurna. Oleh
karena itu, pemahaman dasar formula dramaturgi dapat dijadikan acuan proses
penciptaan karya seni teater.
1.2
Sejarah Singkat Teater
1.2.1
Teater Barat
1.2.1.1 Asal Mula Teater
Waktu
dan tempat pertunjukan teater yang pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun
yang dapat diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori
tentang asal mula teater adalah sebagai berikut.
- Berasal
dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam
itu yang akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara
agama telah lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga
sekarang.
- Berasal
dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam
acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama
kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
- Berasal
dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga
dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, tokohg, dan
lain sebagainya).
- Rendra
dalam Seni Drama Untuk Remaja (1993), menyebutkan bahwa naskah teater
tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulis seorang pendeta Mesir, I
Kher-nefert, di zaman peradaban Mesir Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum
tarikh Masehi. Pada zaman itu peradaban Mesir Kuno sudah maju. Mereka
sudah bisa membuat piramida, sudah mengerti irigasi, sudah bisa membuat
kalender, sudah mengenal ilmu bedah, dan juga sudah mengenal tulis
menulis.
1.2.1.2 Teater Yunani Klasik
Tempat pertunjukan teater Yunani pertama yang
permanen dibangun sekitar 2300 tahun yang lalu. Teater ini dibangun tanpa atap
dalam bentuk setengah lingkaran dengan tempat duduk penonton melengkung dan berundak-undak
yang disebut amphitheater (Jakob Soemardjo, 1984). Ribuan orang mengunjungi
amphitheater untuk menonton teater-teater, dan hadiah diberikan bagi teater
terbaik. Naskah lakon teater Yunani merupakan naskah lakon teater pertama yang
menciptakan dialog diantara para karakternya. Ciri-ciri khusus pertunjukan
teater pada masa Yunani Kuno adalah:
- Pertunjukan
dilakukan di amphitheater.
- Sudah
menggunakan naskah lakon.
- Seluruh
pemainnya pria bahkan tokoh wanitanya dimainkan pria dan memakai topeng
karena setiap pemain memerankan lebih dari satu tokoh.
- Cerita
yang dimainkan adalah tragedi yang membuat penonton tegang, takut, dan
kasihan serta cerita komedi yang lucu, kasar dan sering mengeritik tokoh
terkenal pada waktu itu.
- Selain
pemeran utama juga ada pemain khusus untuk kelompok koor (penyanyi),
penari, dan narator (pemain yang menceritakan jalannya pertunjukan).
1.2.1.3 Teater Romawi Klasik
Setelah tahun 200 Sebelum Masehi kegiatan
kesenian beralih dari Yunani ke Roma, begitu juga Teater. Namun mutu teater
Romawi tak lebih baik daripada teater Yunani. Teater Romawi menjadi penting
karena pengaruhnya kelak pada Zaman Renaissance. Teater pertama kali
dipertunjukkan di kota Roma pada tahun 240 SM (Brockett, 1964).
Pertunjukan ini dikenalkan oleh Livius
Andronicus, seniman Yunani. Teater Romawi merupakan hasil adaptasi bentuk
teater Yunani. Hampir di setiap unsur panggungnya terdapat unsur pemanggungan
teater Yunani. Namun demikian teater Romawi pun memiliki kebaruan-kebaruan
dalam penggarapan dan penikmatan yang asli dimiliki oleh masyarakat Romawi
dengan ciri-ciri sebagi berikut.
- Koor
tidak lagi berfungsi mengisi setiap adegan.
- Musik
menjadi pelengkap seluruh adegan. Tidak hanya menjadi tema cerita tetapi
juga menjadi ilustrasi cerita.
- Tema
berkisar pada masalah hidup kesenjangan golongan menengah.
- Karakteristik
tokoh tergantung kelas yaitu orang tua yang bermasalah dengan anak-anaknya
atau kekayaan, anak muda yang melawan kekuasaan orang tua dan lain
sebagainya.
1.2.1.4 Teater Abad Pertengahan
Dalam tahun 1400-an dan 1500-an, banyak kota
di Eropa mementaskan drama untuk merayakan hari-hari besar umat Kristen.
Drama-drama dibuat berdasarkan cerita-cerita Alkitab dan dipertunjukkan di atas
kereta, yang disebut pageant, dan ditarik keliling kota. Bahkan kini
pertunjukan jalan dan prosesi penuh warna diselenggarakan di seluruh dunia
untuk merayakan berbagai hari besar keagamaan. Para pemain drama pageant
menggunakan tempat di bawah kereta untuk menyembunyikan peralatan. Peralatan
ini digunakan untuk efek tipuan, seperti menurunkan seorang aktor dari atas ke
panggung. Para pemain pegeant memainkan satu adegan dari kisah dalam Alkitab,
lalu berjalan lagi. Pageant lain dari aktor-aktor lain untuk adegan berikutnya,
menggantikannya. Aktor-aktor pageant seringkali adalah para perajin setempat
yang memainkan adegan yag menunjukan keahlian mereka. Orang berkerumun untuk
menyaksikan drama pageant religius di Eropa. drama ini populer karena pemainnya
berbicara dalam bahasa sehari-hari, bukan bahasa Latin yang merupakan bahasa
resmi gereja-gereja Kristen (Wisnuwardhono, 2002).
Ciri-ciri teater abad Pertengahan adalah
sebagai berikut:
- Drama
dimainkan oleh aktor-aktor yang belajar di universitas sehingga dikaitkan
dengan masalah filsafat dan agama.
- Aktor
bermain di panggung di atas kereta yang bisa dibawa berkeliling menyusuri
jalanan.
- Drama
banyak disisipi cerita kepahlawanan yang dibumbui cerita percintaan.
- Drama
dimainkan di tempat umum dengan memungut bayaran.
- Drama
tidak memiliki nama pengarang.
1.2.1.5 Renaissance
Abad 17 memberi sumbangan yang sangat berarti
bagi kebudayaan Barat. Sejarah abad 15 dan 16 ditentukan oleh penemuanpenemuan
penting yaitu mesin, kompas, dan mesin cetak. Semangat baru muncul untuk
menyelidiki kebudayaan Yunani dan Romawi klasik. Semangat ini disebut semangat
Renaissance yang berasal dari kata “renaitre” yang berarti kelahiran kembali
manusia untuk mendapatkan semangat hidup baru. Gerakan yang menyelidiki
semangat ini disebut gerakan humanisme.
Pusat-pusat aktivitas teater di Italia adalah
istana-istana dan akademi. Di gedung-gedung teater milik para bangsawan inilah
dipentaskan naskah-naskah yang meniru drama-drama klasik. Para aktor kebanyakan
pegawai-pegawai istana dan pertunjukan diselenggarakan dalam pesta-pesta
istana.
Ada tiga jenis drama yang dikembangkan, yaitu
tragedi, komedi, dan pastoral atau drama yang membawakan kisah-kisah percintaan
antara dewa-dewa dengan para gembala di daerah pedesaan. Namun nilai seni
ketiganya masih rendah. Drama dilangsungkan dengan mengikuti struktur yang ada.
Meskipun demikian gerakan mereka memiliki arti penting karena Eropa menjadi
mengenal drama yang jelas struktur dan bentuknya.
Ciri-ciri teater Zaman Renaissance yakni
sebagai berikut.
- Naskah
lakon yang dipertunjukkan meniru teater Zaman Yunani klasik.
- Cerita
bertema mitologi atau kehidupan sehari-hari.
- Tata
busana dan seting yang dipergunakan sangat inovatif.
- Pelaksanaan
bentuk teater diatur oleh kerajaan maupun universitas.
- Menggunakan
panggung proscenium yaitu bentuk panggung yang memisahkan area panggung
dengan penonton.
- Pada
zaman ini juga melahirkan satu bentuk teater yang disebut commedia
dell’arte. Merupakan bentuk teater rakyat Italia yang berkembang di luar
lingkungan istana dan akademisi. Pada tahun 1575 bentuk ini sudah populer
di Italia. Kemudian menyebar luas di Eropa dan mempengaruhi semua bentuk
komedi yang diciptakan pada tahun 1600.
Ciri khas commedia dell'arte adalah:
- Para
pemain dibebaskan berimprovisasi mengikuti jalannya cerita dan dituntut
memiliki pengetahuan luas yang dapat mendukung permainan improvisasinya.
- Menggunakan
naskah lakon yang berisi garis besar cerita.
- Cerita
yang dimainkan bersumber pada cerita yang diceritakan secara turun
menurun.
- Cerita
terdiri dari tiga babak didahului prolog panjang. Plot cerita berlangsung dalam
suasana adegan lucu.
- Peristiwa
cerita berlangsung dan berpindah secara cepat .
- Terdapat
tiga tokoh yang selalu muncul, yaitu tokoh penguasa, tokoh penggoda, dan
tokoh pembantu.
- Tempat
pertunjukannya di lapangan kota dan panggungpanggung sederhana.
- Setting
panggung sederhana, yaitu rumah, jalan, dan lapangan.
1.2.1.6
Teater Zaman Elizabeth
Pada tahun 1576, selama pemerintahan Ratu
Elizabeth I, gedung teater besar dari kayu dibangun di London Inggris. Gedung
ini dibangun seperti lingkaran sehingga penonton bisa duduk dihampir seluruh
sisi panggung. Gedung teater ini sangat sukses sehingga banyak gedung sejenis
dibangun di sekitarnya. Salah satunya yang disebut Globe, gedung teater ini
bisa menampung 3.000 penonton. Penonton yang mampu membeli tiket duduk di
sisi-sisi panggung. Mereka yang tidak mampu membeli tiket berdiri di sekitar
panggung.
Globe mementaskan drama-drama karya William
Shakespeare, penulis drama terkenal dari Inggris yang hidup dari tahun 1564
sampai tahun 1616. Ia adalah seorang aktor dan penyair, selain penulis drama.
Ia biasanya menulis dalam bentuk puisi atau sajak. Beberapa ceritanya berisi
monolog panjang, yang disebut solilokui, dan menceritakan gagasan-gagasan
mereka kepada penonton. Ia menulis 37 (tiga puluh tujuh) drama dengan berbagai
tema, mulai dari pembunuhan dan tokohg sampai cinta dan kecemburuan. Ciri-ciri
teater Zaman Elizabeth adalah:
- Pertunjukan
dilaksanakan siang hari dan tidak mengenal waktu istirahat.
- Tempat
adegan ditandai dengan ucapan dengan disampaikan dalam dialog para tokoh.
- Tokoh
wanita dimainkan oleh pemain anak-anak laki-laki. Tidak pemain wanita.
- Penontonnya
berbagai lapisan masyarakat dan diramaikan oleh penjual makanan dan
minuman.
- Menggunakan
naskah lakon.
- Corak
pertunjukannya merupakan perpaduan antara teater keliling dengan teater
sekolah dan akademi yang keklasik-klasikan.
1.2.1.7
Teater Abad 20
Teater telah berubah selama berabad-abad.
Gedung-gedung pertunjukan modern memiliki efek-efek khusus dan teknologi baru.
Orang datang ke gedung pertunjukan tidak hanya untuk menyaksikan teater
melainkan juga untuk menikmati musik, hiburan, pendidikan, dan mempelajari
hal-hal baru. Rancangan-rancangan panggung termasuk pengaturan panggung arena,
atau yang disebut saat ini, Teater di Tengah-Tengah Gedung. Dewasa ini,
beberapa cara untuk mengekspresikan karakter-karakter berbeda dalam
pertunjukanpertunjukan (di samping nada suara) dapat melalui musik, dekorasi,
tata cahaya, dan efek elektronik. Gaya-gaya pertunjukan realistis dan
eksperimental ditemukan dalam teater Amerika saat ini.
Seiring dengan perkembangan waktu, kualitas pertunjukan realis oleh beberapa seniman dianggap semakin menurun dan membosankan. Hal ini mendorong para pemikir teater untuk menemukan satu bentuk ekspresi baru yang lepas dari konvensi yang sudah ada. Wilayah jelajah artistik dibuka selebar-lebarnya untuk kemungkinan perkembangan bentuk pementasan seni teater. Dengan semangat melawan pesona realisme, para seniman mencari bentuk pertunjukannya sendiri. Pada awal abad 20 inilah istilah teater eksperimental berkembang. Banyak gaya baru yang lahir baik dari sudut pandang pengarang, sutradara, aktor ataupun penata artistik. Tidak jarang usaha mereka berhasil dan mampu memberikan pengaruh seperti gaya simbolisme, surealisme, epik, dan absurd. Tetapi tidak jarang pula usaha mereka berhenti pada produksi pertama. Lepas dari hal itu, usaha pencarian kaidah artistik yang dilakukan oleh seniman teater modern patut diacungi jempol karena usaha-usaha tersebut mengantarkan pada keberagaman bentuk ekspresi dan makna keindahan.
Seiring dengan perkembangan waktu, kualitas pertunjukan realis oleh beberapa seniman dianggap semakin menurun dan membosankan. Hal ini mendorong para pemikir teater untuk menemukan satu bentuk ekspresi baru yang lepas dari konvensi yang sudah ada. Wilayah jelajah artistik dibuka selebar-lebarnya untuk kemungkinan perkembangan bentuk pementasan seni teater. Dengan semangat melawan pesona realisme, para seniman mencari bentuk pertunjukannya sendiri. Pada awal abad 20 inilah istilah teater eksperimental berkembang. Banyak gaya baru yang lahir baik dari sudut pandang pengarang, sutradara, aktor ataupun penata artistik. Tidak jarang usaha mereka berhasil dan mampu memberikan pengaruh seperti gaya simbolisme, surealisme, epik, dan absurd. Tetapi tidak jarang pula usaha mereka berhenti pada produksi pertama. Lepas dari hal itu, usaha pencarian kaidah artistik yang dilakukan oleh seniman teater modern patut diacungi jempol karena usaha-usaha tersebut mengantarkan pada keberagaman bentuk ekspresi dan makna keindahan.
1.2.2 Teater Indonesia
1.2.2.1 Teater Tradisional
Kasim Achmad dalam bukunya
Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater
tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada
tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk
mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu
upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan
masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru
merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater
yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater
tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat
dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau
munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah
dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater
tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat,
sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir.
Macammacam teater tradisional Indonesia adalah :wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.
Macammacam teater tradisional Indonesia adalah :wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.
1.2.2.2 Teater Modern
1.2.2.2.1 Teater Transisi
Teater transisi adalah
penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai
mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih
tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan
unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut
terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud
cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian
cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik
yang mendukung pertunjukan. Pada periode transisi inilah teater tradisional
berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan,
teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh
orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang
hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada
tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat
Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie
Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah
banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum
menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra
lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang
Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun
1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia
Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel
didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay
Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21
Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul,
Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek,
Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya.
Pada masa teater transisi
belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan
teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang
disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman
Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi
masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.
1.2.2.2.2
Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan
Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern
Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah
drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan
unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis
sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan
pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun
1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan
disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari
(artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi
(1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat
kebangsaan.
Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama
Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis
lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning
Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn
Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji
Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere,
dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu
Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr.
Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema
kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai
negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis
dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan
menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang
ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
1.2.2.2.3
Teater Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada
kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan
totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk
menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang
sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya
masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan
menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai
upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional
Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah
Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane
(Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn
Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia
bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan
memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.
Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan
Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian
Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda
Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama Djawa Eiga
Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa Eiga
Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak
ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar
Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang. Dalam masa pendudukan
Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan
sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang
berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat.
Rombongan sandiwara keliling komersial,
seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya
Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang
dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan
sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain
Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya.
Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour
D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara
lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A
Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan
pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella,
Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi
oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian
ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang
cantik-cantik.
Menyusul kemudian muncul rombongan sandiwara
Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya
Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada
lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada
adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang
dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.
Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya
dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu
masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai
pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari.
Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang
mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal
sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu
memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil
meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. ceritacerita yang
dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang
Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah
rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari
rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung
di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan
sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan ceritacerita baru untuk kepentingan
propaganda Jepang. Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6
April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya
kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilakan
hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan
lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap
kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai
selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa
rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang ditulis
Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si
Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo
di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon
tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi.
Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi.
Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora
karya Henrik Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak
Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh
karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya.
Para pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah
ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya
naskah dalam setiap pementasan sandiwara.
Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul
rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar
Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo
Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda,
nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini
berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah
pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya
sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran
nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang
teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu
dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya
Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.
1.2.2.2.4 Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah tokohg kemerdekaan, peluang terbuka
bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam tokohg kemerdekaan, juga sebaliknya,
mereka merenungkan peristiwa tokohg kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan,
keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan
tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa
tokohg secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955),
Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang,
1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah
Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska
tokohg, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam
dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban tokohg, dan lain-lain.
Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti
Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani,
bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956)
berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956),
berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang
sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia
dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri
kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia,
melainkan sampai ke Malaysia.
Realisme konvensional dan naturalisme
tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan
dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater
Barat dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan
Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan
lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan
Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI
adalah Stanislavskian.
Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi
teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional
yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing,
Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di
Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama
dan Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di
Surakarta.
1.2.2.2.5
Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim Adi Limas mendirikan Studiklub Teater
Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater
etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater
Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan
para sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan
Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting
realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The Bespoke
Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar,
(Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda.
Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang
kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan
Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi
Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya
absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco,
1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar
teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman
Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan
unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa penting dalam usaha membebaskan
teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun 1967, Ketika
Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang
kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan
naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi,
pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian
mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata
(menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan
Rambate Rate Rata (1967,1968).
Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail
Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu
meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta,
tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang,
Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam
puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang
sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya
dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi
nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater
yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan
ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel
Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Melarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN
mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater
Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge
dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan
didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an
lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing,
Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto
(Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih).
Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya
pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan
verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan
menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai
gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang
menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno
(Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.
1.2.2.2.6
Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia
kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional.
Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974.
Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar
situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan
produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta
(sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di
Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan
Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama
Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.
Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok
teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti,
Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik
menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional
kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi
bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang-
kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.
Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang
menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan
rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo
ada juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Republik, dan
Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota
Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali,
Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang
muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul
Teater Potlot.
Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok
teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu
posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi
latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater
Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di
luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di
kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah
teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan
teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi
satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang
seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan
membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.
1.2.2.2.7
Teater Kontemporer Indonesia
Teater Kontemporer
Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya
eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan
dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak
tahun 80- an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun
seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus
juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni teater
dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang
lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan
kemungkinan bentuk garap semakin banyak
(2/6): Seni Sastra dalam Teater
Teater memiliki sekurang-kurangnya empat unsur
penting dalam setiap pementasan, yaitu pertama, lakon atau cerita yang
ditampilkan, bisa berwujud sebuah naskah atau skenario tertulis, skenario tak
tertulis (dalam teater kerakyatan). Kedua, pemain adalah orang yang membawakan
lakon tersebut. Ketiga, sutradara sebagai penata pertunjukan di panggung.
Keempat, penonton adalah sekelompok orang yang menyerahkan sebagian dari
kemerdekaannya untuk menjadi bagian dari tokoh yang tampil dalam suatu lakon
dan menikmatinya.
Lakon ditulis oleh seorang
penulis naskah lakon berdasarkan apa yang dilihat, apa yang dialami, dan apa
yang dibaca atau diceritakan kepadanya oleh orang lain. Penulis kemudian
menyusun rangkaian kejadian, semakin lama semakin rumit, sehingga pada
puncaknya masuk ke dalam penyelesaian cerita. Penting sekali bahwa dalam
menyusun kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa seorang penulis haruslah
bersabar untuk melangkah dari satu kejadian ke kejadian lain dalam suatu
perkembangan yang logis, tetapi semakin lama semakin gawat sehingga akhirnya ia
sampai ke puncak yang disebut klimaks. Dalam lakon akan dijumpai dua hal yang
sangat penting, yaitu pertama, konflik. Kedua, tokoh atau tokoh yang terlibat
dalam kejadiankejadian dalam lakon.
Peristiwa atau kejadian
dibuat oleh penulis naskah sebagai kerangka besar yang mendasari terjadinya
suatu lakon. Peristiwa lakon tersebut menuntun seseorang untuk mengikuti laku
kejadian mulai dari pemaparan, konlfik hingga penyelesaian. Konflik dalam lakon
merupakan inti cerita. Tidaklah menarik sebuah cerita disajikan di atas
panggung tanpa adanya konflik. Konflik dalam lakon bisa rumit bisa juga
sederhana. Gagasan utama atau pesan lakon termaktub dalam konflik yang
merupakan pertentangan antara satu pihak terhadap pihak lain mengenai sesuatu
hal. Jalinan cerita menuju konflik dan cara penyelesainnya inilah yang
menjadikan lakon menarik.
Tidak ada acuan yang pasti
terhadap konflik dalam lakon yang dapat membuat cerita menjadi menarik.
Terkadang konflik yang kecil dan sederhana jika diselesaikan secara cerdas akan
membuat penonton takjub. Sementara, konflik yang berat, berliku, dan bercabang-cabang
jika tidak disajikan secara baik justru akan membosankan dan membuat laku lakon
menjadi lamban. Jadi, kalau ada anggapan bahwa semakin rumit konflik lakon
semakin menarik adalah anggapan yang salah, karena peristiwa yang mengarahkan
cerita kepada konflik membutuhkan tokoh sebagai pelaku. Tokoh adalah orang yang
menghidupkan kejadian atau peristiwa yang dibuat oleh penulis naskah. Jadi
dalam lakon ada dua hal penting yang diciptakan oleh seorang penulis lakon,
yaitu konflik dan tokoh yang terlibat dalam kejadian.
2.1 Tema
Tema ada yang menyebutnya sebagai premis,
root idea, thought, aim, central idea, goal, driving force dan sebagainya.
Seorang penulis terkadang mengemukakan tema dengan jelas tetapi ada juga yang
secara tersirat. Akan tetapi, tema harus dirumuskan dengan jelas, karena tema
merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh seorang penulis lakon. Ketika tema
tidak terumuskan dengan jelas maka lakon tersebut akan kabur dan tidak jelas
apa yang hendak disampaikan.
Pengarang atau penulis lakon menciptakan
sebuah lakon bukan hanya sekedar mencipta, tetapi juga menyampaikan suatu pesan
tentang persoalan kehidupan manusia. Pesan itu bisa mengenai kehidupan lahiriah
maupun batiniah. Keunggulan dari seorang pengarang ialah, dia mempunyai kepekaan
terhadap lingkungan sekelilingnya, dan dari lingkungan tersebut dia menyerap
segala persoalan yang menjadi ide-ide dalam penulisan lakonnya. Pengarang
adalah seorang warga masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang
masalah-masalah politik dan sosial yang penting serta mengikuti isu-isu
zamannya (Rene Wellek dan Austin Warren, 1989). Ide-ide, pesan atau pandangan
terhadap persoalan yang ada dijadikan ide sentral atau tema dalam menulis
naskah lakonnya.
Tema adalah suatu amanat utama yang
disampaikan oleh pengarang atau penulis melalui karangannya (Gorys Keraf,
1994). Tema bisa juga disebut muatan intelektual dalam sebuah permainan, ini
mungkin bisa diuraikan sebagai keseluruhan pernyataan dalam sebuah permainan:
topik, ide utama atau pesan, mungkin juga sebuah keadaan (Robert Cohen, 1983).
Adhy Asmara (1983) menyebut tema sebagai premis yaitu rumusan intisari cerita
sebagai landasan ideal dalam menentukan arah tujuan cerita. Dengan demikian
bisa ditarik kesimpulan bahwa tema adalah ide dasar, gagasan atau pesan yang
ada dalam naskah lakon dan ini menentukan arah jalannya cerita.
Tema dalam naskah lakon ada yang secara jelas
dikemukakan dan ada yang samar-samar atau tersirat. Tema sebuah lakon bisa
tunggal dan bisa juga lebih dari satu. Tema dapat diketahui dengan dua cara :
- Apa
yang diucapkan tokoh-tokohnya melalui dialog-dialog yang disampaikan.
- Apa
yang dilakukan tokoh-tokohnya.
Dengan berpedoman dua hal tersebut analisis
tema lakon dapat dikerjakan. Misalnya, lakon Raja Lear karya William Shakespeare
terjemahan Trisno Sumardjo. Dialog yang disampaikan tokoh dapat dijadikan acuan
untuk menganalisis tema lakon. Masing-masing tokoh mengucapkan kalimat
dialognya. Dari dialog tersebut dapat diketahui perihal atau soalan yang
dibahas. Dengan merangkai setiap persoalan melalui dialog para tokohnya maka
gambaran tema akan didapatkan.
Detil tema selalu dapat ditemukan dari
baris-baris kalimat dialog tokoh cerita. Semua analisis lakon dikerjakan dengan
mencermati kalimat dialog tersebut serta hubungan antara kalimat satu dengan
yang lain. Jika hanya membaca cerita secara keseluruhan tanpa meninjau kalimat
dialog dengan teliti maka hasil akhir dari analisis yang dilakukan belum tentu
benar. Kadangkadang, dialog kecil memiliki arti yang luas dan sanggup mempengaruhi
tema cerita. Misalnya, dalam kalimat dialog Raja Lear dapat ditarik satu
simpulan bahwa meskipun sebagai raja ia disegani oleh anak-anaknya, tetapi
karena sikapnya yang keras maka ia juga dibenci. Perhatikan kutipan dialog di
bawah ini.
LEAR : ………….. kendalikan
lidahmu sedikit; nanti kuhambat untungmu….
LEAR : ………………. Sekarang
kulempar tiap kewajiban orang tua, tiap pertalian keluarga dan darah; mulai
kini sampai selamanya kaulah asing bagiku dan bagi hatiku………………….
KENT : Silakan. Bunuhlah
tabib tuan, supaya hama jahat berupah. Batalkan anugerah tuan; kalau tidak,
rangkung saya berteriak meyerukan tuanlah lalim………
RAJA TOKOHCIS : Cordelia jelita, ternyata paling
kaya meski miskin; terpillih meski, meski dibuang; tercinta meski
dihina................
CORDELIA : Andaikan bukan seorang
ayah, namun uban ini sudah menuntut belas-kasih. Ah wajah benginikah dipaksa
menempuh pergolakan badai? Dan melawan guntur bercakra garang, petir dahsyat
yang pesat,, cepat menyambar-nyabar? Bagai prajurit yang terbuang, berjaga
dengan topi tipis ini? Anjing musuhku pun, walau menggigit aku, di malam begitu
takkan kuusir untuk dari tempat berdiang……………….
Melalui laku atau aksi tokoh dalam lakon yang
biasanya diterangkan (dituliskan) dalam arahan lakon gambaran tema semakin jelas.
Laku aksi memberikan penegasan kalimat dialog. Dalam lakon Raja Lear, laku
tokoh dapat memberikan penjelasan sebagai berikut.
- Raja
Lear membagi kerajaan pada ketiga anaknya sesuai dengan pujian yang
disampaikan anaknya.
- Raja
Lear murka pada Cordelia karena tidak memujinya.
- Raja
Lear marah-marah ketika tidak dilayani hidupnya pada anak yang semula
disayangi.
- Raja
Lear marah-marah dan mengusir bawahannya ketika ada yang menentang.
- Anak-anak
Raja Lear yang disayangi berubah memusuhi orang tuanya sehingga Raja Lear
sakit.
Dari kutipan dialog dan laku serta perbuatan
tokoh dalam lakon Raja Lear di atas bisa ditarik sebuah kejelasan bahwa Raja
Lear adalah orang yang gila hormat, tidak bijaksana, lalim, dan harus dipuji.
Atas sikapnya itu Raja Lear menuai hasil, yaitu kehancuran diri dan
keluarganya.
2.2 Plot
Plot (ada yang menyebutnya sebagai alur)
dalam pertunjukan teater mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini
berhubungan dengan pola pengadeganan dalam permainan teater, dan merupakan
dasar struktur irama keseluruhan permainan. Plot dapat dibagi berdasarkan babak
dan adegan atau berlangsung terus tanpa pembagian. Plot merupakan jalannya
peristiwa dalam lakon yang terus bergulir hinga lakon tersebut selesai. Jadi
plot merupakan susunan peristiwa lakon yang terjadi di atas panggung.
Plot menurut Panuti Sudjiman dalam bukunya Kamus Istilah Sastra (1984) memberi batasan adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra (termasuk naskah drama atau lakon) untuk mencapai efek-efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat).
Plot menurut Panuti Sudjiman dalam bukunya Kamus Istilah Sastra (1984) memberi batasan adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra (termasuk naskah drama atau lakon) untuk mencapai efek-efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat).
Plot atau alur adalah rangkaian peristiwa
yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui
perumitan (penggawatan atau komplikasi) ke arah klimaks penyelesaian. Menurut
J.A. Cuddon dalam Dictionary of Literaray Terms (1977), plot atau alur adalah
kontruksi atau bagan atau skema atau pola dari peristiwa-peristiwa dalam lakon,
puisi atau prosa dan selanjutnya bentuk peristiwa dan perwatakan itu menyebabkan
pembaca atau penonton tegang dan ingin tahu. Plot atau alur menurut Hubert C.
Heffner, Samuel Selden dan Hunton D. Sellman dalam Modern Theatre Practice
(1963), ialah seluruh persiapan dalam permainan. Jadi plot berfungsi sebagi
pengatur seluruh bagian permainan, pengawas utama dimana seorang penulis naskah
dapat menentukan bagaimana cara mengatur lima bagian yang lain, yaitu karakter,
tema, diksi, musik, dan spektakel. Plot juga berfungsi sebagai bagian dasar
yang membangun dalam sebuah teater dan keseluruhan perintah dari seluruh laku
maupun semua bagian dari kenyataan teater serta bagian paling penting dan
bagian yang utama dalam drama atau teater.
Pembagian plot dalam lakon klasik atau
konvensional biasanya sudah jelas yaitu, bagian awal, bagian tengah, dan bagian
akhir. Seorang penulis seringkali meletakkan berbagai informasi penting pada
bagian awal lakon, misalnya tempat lakon tersebut terjadi, waktu kejadiannya,
pelaku-pelakunya, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Pada bagian tengah
biasanya berisi tentang kejadian-kejadian yang bersangkut paut dengan masalah
pokok yang telah disodorkan kepada penonton dan membutuhkan jawaban. Bagian
akhir berisi tentang satu persatu pertanyaan penonton terjawab atau sebuah
lakon telah mencapai klimaks besar.
Secara umum pembagian plot terkadang
menggunakan tipe sebab akibat yang dibagi dalam lima pembagian sebagai berikut.
- Eksposisi
adalah saat memperkenalkan dan membeberkan materi-materi yang relevan atau
memberi informasi pada penonton tentang masalah yang dialami atau konflik
yang terjadi dalam diri karakter-karakter yang ada di lakon.
- Aksi
Pendorong adalah saat memperkenalkan sumber konflik di antara
karakter-karakter atau di dalam diri seorang karakter.
- Krisis
adalah penjelasan yang terperinci dari perjuangan karakter-karakter atau
satu karakter untuk mengatasi konflik.
- Klimaks
adalah proses identifikasi atau proses pengusiran dari rasa tertekan
melalui perbuatan yang mungkin saja sifatnya jahat, atau argumentative
atau kejenakaan atau melalui cara-cara lain.
- Resolusi
adalah proses penempatan kembali kepada suasana baru. Bagian ini merupakan
kejadian akhir dari lakon dan terkadang memberikan jawaban atas segala
persoalan dan konflik-konflik yang terjadi.
2.2.1
Jenis Plot
Ketika menonton atau melihat atau membaca
sebuah lakon fiksi maka emosi kita akan terpengaruh dengan apa yang kita
tonton, lihat, atau baca tersebut. Emosi ini timbul karena terpengaruh oleh
jalinan peristiwa-peristiwa dan jalannya cerita yang ditulis oleh penulis.
Jalinan peristiwa dan jalannya cerita inilah yang dimaksud dengan plot.
Plot lakon banyak sekali ragamnya tergantung
dari penulis lakon mempermainkan emosi kita. Secara sederhana plot dapat dibagi
menjadi dua yaitu simple plot (plot yang sederhana) dan multi plot (plot yang
lebih dari satu)
2.2.1.1
Simple Plot
Simple plot atau plot lakon yang sederhana
adalah lakon yang memiliki satu alur cerita dan satu konflik yang bergerak dari
awal sampai akhir. Simple plot ini terdiri dari plot linear dan
linear-circular. Plot linear adalah alur cerita mulai dari awal sampai akhir
cerita bergerak lurus sedangkan linear-circular adalah alur cerita mulai dari
awal sampai akhir bergerak lurus secara melingkar sehingga awal dan akhir
cerita akan bertemu dalam satu titik. Alur linear ini masih bisa dibagi-bagi
lagi sesuai dengan sifat emosi yang terkandung dari plot linear ini, terdiri
dari alur menanjak atau rising plot, alur menurun atau falling plot, alur maju
atau progressive plot, alur mundur atau regressive plot, alur lurus atau
straight plot, dan alur melingkar atau circular plot.
Alur menanjak atau rising plot adalah alur
dengan emosi lakon mulai dari tingkat emosi yang paling rendah menuju tingkat
emosi lakon yang paling tinggi. Alur ini adalah alur cerita paling umum pada
alur lakon. Alur menurun atau falling plot adalah alur dengan emosi lakon mulai
dari tingkat emosi yang paling tinggi menuju tingkat emosi lakon yang paling
rendah. Alur ini merupakan kebalikan dari alur menanjak atau rising plot. Alur
maju atau progresive plot adalah alur cerita yang dimulai dari pemaparan
peristiwa lakon sampai menuju inti peristiwa lakon.
Jalinan jalan cerita dalam lakon bergerak
mulai dari awal sampai akhir tanpa ada kilas balik. Alur mundur atau regresive
plot adalah alur cerita yang dimulai dari inti cerita kemudian dipaparkan
bagaimana sampai terjadi peristiwa tersebut. Alur ini merupakan kebalikan dari
progressive plot. Contoh lakon dengan alur mundur adalah Opera Primadona karya
Nano Riantiarno yang dimainkan oleh Teater Koma. Alur lurus atau straight plot
hampir sama dengan alur maju.
2.2.1.2 Multi Plot
Multi plot adalah lakon yang memiliki satu
alur utama dengan beberapa sub plot yang saling bersambungan. Multi plot ini
terdiri dari dua tipe yaitu alur episode atau episodic plot dan alur terpusat
atau concentric plot. Alur episode atau episodic plot adalah plot cerita yang
terdiri dari bagian perbagian secara mandiri, di mana setiap episode memiliki
alur cerita sendiri. Setiap episode dalam lakon tersebut sebenarnya tidak ada
hubungan sebab akibat dalam rangkaian cerita, tema, tokoh. Tetapi pada akhir
cerita alur cerita yang terdiri dari episodeepisode ini akan bertemu. Contoh
lakon dengan alur episode atau episodic plot adalah lakon Panembahan Reso karya
W.S. Rendra, Raja Lear karya William Shakespeare dan lain-lain.
Concentric plot adalah cerita lakon yang
memiliki beberapa plot yang berdiri sendiri, dimana pada akhir cerita semua
tokoh yang terlibat dalam cerita yang terpisah tadi akhirnya menyatu guna
menyelesaikan cerita. Plot-plot yang ada dalam cerita tersebut memiliki
permasalah yang harus diselesaikan.
2.2.2
Anatomi Plot
Menurut Rikrik El Saptaria (2006), plot atau
alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang satu dengan yang lain
dihubungkan dengan hukum sebab akibat. Plot disusun oleh pengarang dengan
tujuan untuk mengungkapkan buah pikirannya yang secara khas. Pengungkapan ini
lewat jalinan peristiwa yang baik sehingga menciptakan dan mampu menggerakkan
alur cerita itu sendiri. Dengan demikian plot memiliki anatomi atau
bagian-bagian yang menyusun plot tersebut yang disebut dengan anatomi plot
sebagai berikut.
- Gimmick,
bagian 5 menit pertama yang sengaja dibuat menarik untuk memikat penikmat
- Fore
Shadowing, pembayangan ke depan yang terjadi ketika tokoh meramalkan atau
membayangkan keadaan yang akan datang.
- Dramatic
Irony, aksi seorang tokoh yang berkata atau bertindak sesuatu, dan tanpa
disadari akan menimpa dirinya sendiri. Dalam lakon banyak dijumpai
tokoh-tokoh ini, dan biasanya tidak disadari oleh tokoh tersebut.
- Flashback,
kilas balik peristiwa lampau yang dikisahkan kembali pada saat ini. Kilas
balik ini berfungsi untuk mengingatkan kembali ingatan penonton pada
peristiwa yang telah lampau tetapi masih dalam satu rangkaian peristiwa
lakon. Kilas balik biasanya diceritakan melalui dialog tokoh, tetapi kilas
balik pada film biasanya berupa nukilannukilan gambar.
- Suspen,
berisi dugaan dan prasangka yang dibangun dari rangkaian ketegangan yang
mengundang pertanyaan dan keingintahuan penonton. Suspen akan menumbuhkan
dan memelihara keingintahuan penonton dari awal sampai akhir cerita.
Suspen ini biasanya diciptakan dan dijaga oleh penulis lakon dari awal
sampai akhir cerita, supaya penonton bertanya-tanya apa akibat yang
ditimbulkan dari peristiwa sebelumnya ke peristiwa selanjutnya. Dengan menimbulkan
pertanyaanpertanyaan ini penonton akan betah mengikuti cerita sampai
selesai. Suspen ini biasanya dibangun melalui dialog-dialog serta laku
para tokoh yang ada dalam naskah lakon. Kalau pemeran atau sutradara tidak
cermat dalam menganalisisnya maka kemungkinan suspen terlewati dan tidak
tergarap dengan baik. Hal ini akan menyebabkan kualitas pertunjukan
dinilai tidak terlalu bagus, karena semuanya sudah bisa ditebak oleh
penonton. Kalau cerita itu bisa ditebak oleh penonton maka perhatian penonton
akan berkurang dan menganggap pertunjukan tersebut tidak menyuguhkan
sesuatu untuk dipikirkan.
- Surprise,
suatu peristiwa yang terjadi diluar dugaan penonton sebelumnya dan
memancing perasaan dan pikiran penonton agar menimbulkan dugaan-dugaan
yang tidak pasti. Namun peristiwa yang diharapkan tersebut, pada akhirnya
mengarah ke sesuatu yang tidak disangka-sangka sebelumnya.
- Gestus,
aksi atau ucapan tokoh utama yang beritikad tentang sesuatu persoalan yang
menimbulkan pertentangan atau konflik antartokoh. Dalam sebuah lakon
terkadang dijumpai aksi-aksi yang seperti ini dan akan menimbulkan suatu
rasa simpati penonton kepada korbannya.
2.2.3
Setting
Membicarakan tentang setting dalam mengkaji
lakon tidak ada kaitan langsung dengan tata teknik pentas, karena memang bukan
persoalan scenery yang hendak dibahas. Pertanyaan untuk setting atau latar
cerita adalah kapan dan dimana persitiwa terjadi. Pertanyaan tidak serta merta
dijawab secara global tetapi harus lebih mendetil untuk mengetahui secara pasti
waktu dan tempat kejadiannya.
Analisis setting lakon ini merupakan suatu
usaha untuk menjawab sebuah pertanyaan apakah peristiwa terjadi di luar ruang
atau di dalam ruang? Apakah terjadi pada waktu malam, pagi hari, atau sore
hari? Jika terjadi dalam ruang lalu di mana letak ruang itu, di dalam gedung
atau di dalam rumah? Jam berapa kira-kira terjadi? Tanggal, bulan, dan tahun
berapa? Apakah waktu kejadiannya berkaitan dengan waktu kejadian peristiwa di
adegan lain, atau sudah lain hari? Pertanyaan-pertanyaan seputar waktu dan
tempat kejadian ini akan memberikan gambaran peristiwa lakon yang komplit
(David Groote, 1997).
2.2.3.1
Latar Tempat
Latar tempat adalah tempat yang menjadi latar
peristiwa lakon itu terjadi. Peristiwa dalam lakon adalah peristiwa fiktif yang
menjadi hasil rekaan penulis lakon. Menurut Aristoteles peristiwa dalam lakon
adalah mimesis atau tiruan dari kehidupan manusia keseharian. Seperti diketahui
bahwa sifat dari naskah lakon bisa berdiri sendiri sebagai bahan bacaan sastra,
tetapi bisa sebagai bahan dasar dari pertunjukan. Sebagai bahan bacaan sastra,
interpretasi tempat kejadian peristiwa ini terletak pada keterangan yang
diberikan oleh penulis naskah lakon dan dalam imajinasi pembaca. Sedangkan
sebagai bahan dasar pertunjukan, tempat peristiwa ini harus dikomunikasikan
atau diceritakan oleh para pemeran sebagai komunikator kepada penonton.
Analisis ini perlu dilakukan guna memberi
suatu gambaran pada penonton tentang tempat peristiwa itu terjadi. Analisis ini
juga sangat penting dilakukan karena berhubungan dengan tata teknik pentas.
Gambaran tempat peristiwa dalam lakon kadang sudah diberikan oleh penulis
lakon, tetapi kadang tidak diberikan oleh penulis lakon. Analisis latar tempat
dapat dilakukan dengan mencermati dialog-dialog tokoh yang sedang berlangsung
dalam satu adegan, babak atau dalam keseluruhan lakon tersebut.
2.2.3.2
Latar Waktu
Latar waktu adalah waktu yang menjadi latar
belakang peristiwa,`adegan, dan babak itu terjadi. Latar waktu terkadang sudah
diberikan`atau sudah diberi rambu-rambu oleh penulis lakon, tetapi banyak
latar`waktu ini tidak diberikan oleh penulis lakon. Tugas seorang sutradara
dan`pemeran ketika menghadapi sebuah naskah lakon adalah menginterprestasi
latar waktu dalam lakon tersebut. Dengan menggetahui latar waktu yang terjadi
pada maka semua pihak akan bisa mengerjakan lakon tersebut. Misalnya, penata
artistik akan menata perabot dan mendekorasi pementasan sesuai dengan latar
waktu.
Analisis latar waktu perlu dilakukan baik
oleh seorang sutradara maupun oleh pemeran. Analisis latar waktu yang dilakukan
oleh sutradara biasanya berhubungan dengan tata teknik pentas, sedangkan yang
dilakukan oleh pemeran biasanya berhubungan dengan akting dan bisnis akting.
Latar waktu dalam naskah lakon bisa
menunjukkan waktu dalam arti yang sebenarnya (siang, malam, pagi, sore), waktu
yang menunjukkan sebuah musim (musim hujan, musim kemarau, musim dingin dan
lain-lain), dan waktu yang menunjukkan suatu zaman atau abad (Zaman Klasik,
Zaman Romantik, zaman tokohg dan lain-lain).
Analisis latar waktu bisa dilakukan dengan
mencermati dialog-dialog yang disampaikan oleh tokoh dalam adegan atau babak
yang sedang berlangsung.
2.2.3.3
Latar Peristiwa
Latar peristiwa adalah peristiwa yang
melatari adegan itu terjadi dan bisa juga yang melatari lakon itu terjadi.
Latar peristiwa ini bisa sebagai realita bisa juga fiktif yang menjadi
imajinasi penulis lakon. Latar peristiwa yang nyata digunakan oleh penulis
lakon untuk menggambar peristiwa yang terjadi secara nyata pada waktu itu sebagai
dasar dari lakonnya.
Misalnya, lakon Raja Lear, mungkin saja
William Shakespeare terinspirasi oleh bencana yang melanda Inggris pada waktu
itu, yaitu seolah-olah terjadi kiamat karena lakon ini dialegorikan sebagai
kiamat kecil. Lakon-lakon dengan latar peristiwa yang riil juga terjadi pada
lakonlakon di Indonesia pada tahun 1950 sampai tahun 1970. Lakon pada waktu itu
mengambil latar peristiwa pada Zaman Tokohg Revolusi di Indonesia. Latar
peristiwa pada adegan atau lakon adalah peristiwa yang mendahului adegan atau
lakon tersebut, atau yang mengakibatkan adegan atau lakon itu terjadi.
Misalnya, adegan awal pada lakon.
2.2.4
Karakterisasi
Karakterisasi merupakan usaha untuk
membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lain. Perbedaan-perbedaan tokoh ini
diharapkan akan diidentifikasi oleh penonton. Jika proses identifikasi ini
berhasil, maka perasaan penonton akan merasa terwakili oleh perasaan tokoh yang
diidentifikasi tersebut. Suatu misal kita mengidentifisasi satu tokoh, berbarti
kita telah mengadopsi pikiran-pikiran dan perasaan tokoh tersebut menjadi
perasaan dan pikiran kita.
Karakterisasi atau perwatakan dalam sebuah
lakon memegang tokohan yang sangat penting. Bahkan Lajos Egri berpendapat bahwa
berperwatakanlah yang paling utama dalam lakon. Tanpa perwatakan tidak akan ada
cerita, tanpa perwatakan tidak bakal ada plot. Padahal ketidaksamaan watak akan
melahirkan pergeseran, tabrakan kepentingan, konflik yang akhirnya melahirkan
cerita (A. Adjib Hamzah, 1985).
2.2.4.1
Jenis-jenis Tokoh
Tokoh merupakan sarana utama dalam sebuah
lakon, sebab dengan adanya tokoh maka timbul konflik. Konflik dapat
dikembangkan oleh penulis lakon melalui ucapan dan tingkah laku tokoh. Dalam
teater, tokoh dapat dibagi-bagi sesuai dengan motivasi-motivasi yang diberikan
oleh penulis lakon. Motivasi-motivasi tokoh inilah yang dapat melahirkan suatu
perbuatan tokoh. Tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai berikut.
- Protagonis
Protagonis adalah tokoh utama yang merupakan pusat atau sentral dari cerita. Keberadaan tokoh adalah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika mencapai suatu citacita. Persoalan ini bisa dari tokoh lain, bisa dari alam, bisa juga karena kekurangan dirinya sendiri. Tokoh ini juga menentukan jalannya cerita. Contoh tokoh protagonis pada lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo adalah tokoh Raja Lear itu sendiri. - Antagonis
Antagonis adalah tokoh lawan, karena dia seringkali menjadi musuh yang menyebabkan konflik itu terjadi. Tokoh protagonis dan antagonis harus memungkinkan menjalin pertikaian, dan pertikaian itu harus berkembang mencapai klimaks. Tokoh antagonis harus memiliki watak yang kuat dan kontradiktif terhadap tokoh protagonis. Contoh tokoh antagonis pada lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo adalah tokoh Gonerill dan tokoh Regan. Kedua tokoh inilah yang menentang perkembangan, keinginan, dan cita-cita Raja Lear. - Deutragonis
Deutragonis adalah tokoh lain yang berada di pihak tokoh protagonis. Tokoh ini ikut mendukung menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh protaganis. Contoh, tokoh Tumenggung Kent, Edgar, Cordelia dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare. - Tritagonis
Tritagonis adalah tokoh penengah yang bertugas menjadi pendamai atau pengantara protagonis dan antagonis. Contoh, tokoh Bangsawan pada lakon Raja Lear karya Willliam Sahkespeare. Dia adalah pengawal dari Cordelia. - Foil
Foil adalah tokoh yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik yang terjadi tetapi ia diperlukan guna menyelesaikan cerita. Biasanya dia berpihak pada tokoh antagonis. Contoh, tokoh Perwira, Oswald, Curan dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare. - Utility
Utility adalah tokoh pembantu atau sebagai tokoh pelengkap untuk mendukung rangkaian cerita dan kesinambungan dramatik. Biasanya tokoh ini mewakili jiwa penulis. Contoh:tokoh Badut dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare.
2.2.4.2
Jenis Karakter
Karakter adalah jenis tokoh yang akan
dimainkan, sedangkan penokohan adalah proses kerja untuk memainkan tokoh yang
ada dalam naskah lakon. Penokohan ini biasanya didahului dengan menganalisis
tokoh tersebut sehingga bisa dimainkan. Menurut Rikrik El Saptaria (2006),
jenis karakter dalam teater ada empat macam, yaitu flat character, round
charakter, teatrikal, dan karikatural.
- Flat
Character (perwatakan dasar) Flat character atau karakter datar adalah
karakter tokoh yang ditulis oleh penulis lakon secara datar dan biasanya
bersifat hitam putih. Karakter tokoh dalam lakon mengacu pada pribadi
manusia yang berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Ketika
masih kecil dia bereksplorasi dengan dirinya sendiri untuk mengetahui
perkembangan dirinya, dan ketika sudah dewasa maka pribadinya berkembang
melalui hubungan dengan lingkungan sosial. Jadi perkembangan karakter
seharusnya mengacu pada pribadi manusia, yang merupakan akumulasi dari
pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi yang dilakukannya dan terus
berkembang. Penulis lakon adalah orang yang memiliki dunia sendiri yaitu
dunia fiktif, sehingga ketika mencipta sebuah karakter dia bebas
menentukan suatu perkembangan karakter. Flat character ini ditulis dengan
tidak mengalami perkembangan emosi maupun derajat status sosial dalam
sebuah lakon. Flat character biasanya ada pada karakter tokoh yang tidak
terlalu penting atau karakter tokoh pembantu, tetapi diperlukan dalam
sebuah lakon.
- Round
Character (perwatakan bulat) Karakter tokoh yang ditulis oleh penulis
secara sempurna, karakteristiknya kaya dengan pesan-pesan dramatik. Round
karakter adalah karakter tokoh dalam lakon yang mengalami perubahan dan
perkembangan baik secara kepribadian maupun status sosialnya. Perkembangan
dan perubahan ini mengacu pada perkembangan pribadi orang dalam kehidupan
sehari-hari. Perkembangan inilah yang menjadikan karakter ini menarik dan
mampu untuk mengerakkan jalan cerita. Karakter ini biasanya terdapat
karakter tokoh utama baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis.
- Teatrikal
adalah karakter tokoh yang tidak wajar, unik, dan lebih bersifat simbolis.
Karakter-karakter teatrikal jarang dijumpai pada lakon-lakon realis,
tetapi sangat banyak dijumpai pada lakon-lakon klasik dan non realis.
Karakter ini hanya simbol dari psikologi masyarakat, suasana, keadaan
jaman dan lain-lain yang tidak bersifat manusiawi tetapi dilakukan oleh
manusia. Misalnya karakter yang diciptakan oleh Putu Wijaya pada
lakon-lakonnya yang bergaya post-realistic, seperti tokoh A, D, C, Si
Gembrot, Si Tua, Kawan, Pemimpin (lakon LOS) dan lain-lain.
- Karikatural
adalah karakter tokoh yang tidak wajar, satiris, dan cenderung menyindir..
Karakter ini segaja diciptakan oleh penulis lakon sebagai penyeimbang
antara kesedihan dan kelucuan, antara ketegangan dengan keriangan suasana.
Sifat karikatural ini bisa berupa dialog-dialog yang diucapkan oleh
karakter tokoh, bisa juga dengan tingkah laku, bahkan perpaduan antara
ucapan dengan tingkah laku.
(3/6): Dasar Seni Penyutradaraan dalam Teater
Pada mulanya pementasan
teater tidak mengenal sutradara. Pementasan teater muncul dari sekumpulan
pemain yang memiliki gagasan untuk mementaskan sebuah cerita. Kemudian mereka
berlatih dan memainkkannya di hadapan penonton. Sejalan dengan kebutuhan akan
pementasan teater yang semakin meningkat, maka para aktor memerlukan peremajaan
pemain. Para aktor yang telah memiliki banyak pengalaman mengajarkan pengetahuannya
kepada aktor muda. Proses mengajar dijadikan tonggak awal lahirnya “sutradara”.
Dalam terminologi Yunani sutradara (director) disebut didaskalos yang berarti
guru dan pada abad pertengahan di seluruh Eropa istilah yang digunakan untuk
seorang sutradara dapat diartikan sebagai master.
Istilah sutradara seperti
yang dipahami dewasa ini baru muncul pada jaman Geroge II. Seorang bangsawan
(duke) dari Saxe-Meiningen yang memimpin sebuah grup teater dan
menyelenggarakan pementasan keliling Eropa pada akhir tahun 1870-1880. Dengan
banyaknya jumlah pentas yang harus dilakukan, maka kehadiran seorang sutradara
yang mampu mengatur dan mengharmonisasikan keseluruhan unsur artistik
pementasan dibutuhkan. Meskipun demikian, produksi pementasan teater
Saxe-Meiningen masih mengutamakan kerja bersama antarpemain yang dengan giat
berlatih untuk meningkatkan kemampuan berakting mereka (Robert Cohen, 1994).
Model penyutradaraan
seperti yang dilakukan oleh George II diteruskan pada masa lahir dan
berkembangnya gaya realisme. Andre Antoine di Tokohcis dengan Teater Libre
serta Stansilavsky di Rusia adalah dua sutradara berbakat yang mulai menekankan
idealisme dalam setiap produksinya. Max Reinhart mengembangkan penyutradaraan
dengan mengorganisasi proses latihan para aktor dalam waktu yang panjang.
Gordon Craig merupakan seorang sutradara yang menanamkan gagasannya untuk para
aktor sehingga ia menjadikan sutradara sebagai pemegang kendali penuh sebuah
pertunjukan teater (Herman J. Waluyo, 2001). Berhasil tidaknya sebuah pertunjukan
teater mencapai takaran artistik yang diinginkan sangat tergantung kepiawaian
sutradara. Dengan demikian sutradara menjadi salah satu elemen pokok dalam
teater modern.
Oleh karena kedudukannya
yang tinggi, maka seorang sutradara harus mengerti dengan baik hal-hal yang
berhubungan dengan pementasan. Oleh karena itu, kerja sutradara dimulai sejak
merencanakan sebuah pementasan, yaitu menentukan lakon. Setelah itu tugas
berikutnya adalah menganalisis lakon, menentukan pemain, menentukan bentuk dan
gaya pementasan, memahami dan mengatur blocking serta melakukan serangkaian
latihan dengan para pemain dan seluruh pekerja artistik hingga karya teater
benar-benar siap untuk dipentaskan.
3.1 Pemilihan Naskah
Proses atau tahap pertama yang harus
dilakukan oleh sutradara adalah menentukan lakon yang akan dimainkan. Sutradara
bisa memilih lakon yang sudah tersedia (naskah jadi) karya orang lain atau
membuat naskah lakon sendiri.
3.1.1 Naskah Jadi
Mementaskan teater dengan naskah yang sudah
tersedia memiliki kerumitan tersendiri terutama pada saat hendak memilih naskah
yang akan dipentaskan. Nskah tersebut harus memenuhi kreteria yang diinginkan
serta sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Ada beberapa pertimbangan
yang dapat dilakukan oleh sutradara dalam memilih naskah, seperti tertulis di
bawah ini.
- Sutradara
menyukai naskah yang dipilih. Jika sutradara memilih naskah yang akan
ditampilkan dalam keadaan terpaksa maka bisa dipastikan hasil pementasan
menjadi kurang baik. Naskah yang tidak dikehendaki akan membawa pengaruh
dan masalah tersendiri bagi sutradara dalam mengerjakannya, seperti
analisis yang kurang detil, pemilihan pemain yang asal-asalan, keseluruhan
kerja menjadi tidak optimal.
- Sutradara
merasa mampu mementaskan naskah yang telah dipilih. Mampu mementaskan
sebuah naskah tentunya tidak hanya berkaitan dengan kecakapan sutradara,
tetapi juga dengan unsur pendukung yang lain. Semua sumber daya dimiliki
seperti pemain, penata artsitik, dan pendanaan menjadi pertimbangan dalam
memilih naskah yang akan dipentaskan.
- Sutradara
wajib mempertimbangkan sisi pendanaan secara khusus. Beberapa naskah yang
baik terkadang memiliki konsekuensi logis dengan pendanaan. Misalnya,
naskah yang dipilih memoiliki latar cerita di rumah mewah dengan segala
perabot yang indah. Hal ini membawa dampak tersendiri dalam bidang
pendanaan. Jika sutradara merasa mampu mengusahakan pendanaan secara
optimal untuk mewujudkan tuntutan artistik lakon, maka naskah tersebut
bisa dipilih. Jika tidak, sutradara harus mampu melakukan adaptasi sehingga
pendanaan bisa dikurangi tanpa mengurangi nilai artistik lakon.
- Sutradara
mampu menemukan pemain yang tepat. Naskah lakon yang baik tidak ada
gunanya jika dimainkan oleh aktor yang kurang baik. Oleh karena itu,
sutradara harus mampu mengukur kualitas sumber daya pemain yang dimiliki
dalam menentukan naskah yang akan dipentaskan.
- Sutradara
mampu tetap mementaskan naskah yang dipilih.Tidak ada gunanya berlatih
naskah lakon tertentu dalam waktu lama jika di tengah proses tiba-tiba hal
itu terhenti karena alasan tertentu. Sutradara dengan segenap kemampuannya
harus mampu meyakinkan pemain dan mengusahakan pertunjukan agar tetap
digelar sehingga proses yang telah dilakukan tidak menjadi sia-sia.
3.1.2 Membuat Naskah Sendiri
Membuat naskah lakon sendiri tidak
menguntungkan karena akan memperpanjang proses pengerjaan. Akan tetapi
berkenaan dengan sumber daya yang dimiliki, membuat naskah sendiri dapat
menjadi pilihan yang tepat. Untuk itu, sutradara harus mampu membuat naskah
yang sesuai dengan kualitas sumber daya yang ada. Naskah semacam ini bersifat
situasional, tetapi semua orang yang terlibat menjadi senang karena dapat
mengerjakannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Beberapa langkah di bawah
ini dapat dijadikan acuan untuk menulis naskah lakon.
- Menentukan
tema. Tema adalah gagasan dasar cerita atau pesan yang akan disampaikan
oleh pengarang kepada penonton. Tema, akan menuntun laku cerita dari awal
sampai akhir. Misalnya tema yang dipilih adalah “kebaikan akan mengalahkan
kejahatan”, maka dalam cerita hal tersebut harus dimunculkan melalui aksi
tokoh-tokohnya sehingga penonton dapat menangkap maksud dari cerita bahwa
sehebat apapun kejahatan pasti akan dikalahkan oleh kebaikan.
- Menentukan
persoalan. Persoalan atau konflik adalah inti daricerita teater. Tidak ada
cerita teater tanpa konflik. Oleh karena itupangkal persoalan atau titik
awal konflik perlu dibuat dan disesuaikan dengan tema yang dikehendaki.
Misalnya dengan tema “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”, pangkal
persoalan yang dibicarakan adalah sikap licik seseorang yang selalu
memfitnah orang lain demi kepentingannya sendiri. Persoalan ini kemudian
diikembangkan dalam cerita yang hendak dituliskan.
- Membuat
sinopsis (ringkasan cerita). Gambaran cerita secara global dari awal
sampai akhir hendaknya dituliskan. Sinopsis digunakan pemandu proses
penulisan naskah sehingga alur dan persoalan tidak melebar. Dengan adanya
sinopsis maka penulisan lakon menjadi terarah dan tidak mengada-ada.
- Menentukan
kerangka cerita. Kerangka cerita akan membingkai jalannya cerita dari awal
sampai akhir. Kerangka ini membagi jalannya cerita mulai dari pemaparan,
konflik, klimaks sampai penyelesaian. Dengan membuat kerangka cerita maka
penulis akan memiliki batasan yang jelas sehingga cerita tidak
berteletele. William Froug (1993) misalnya, membuat kerangka cerita
(skenario) dengan empat bagian, yaitu pembukaan, bagian awal, tengah, dan
akhir. Pada bagian pembukaan memaparkan sketsa singkat tokoh-tokoh cerita.
Bagian awal adalah bagian pengenalan secara lebih rinci masing-masing
tokoh dan titik konflik awal muncul. Bagian tengah adalah konflik yang
meruncing hingga sampai klimaks. Pada bagian akhir, titik balik cerita
dimulai dan konflik diselesaikan. Riantiarno (2003), sutradara sekaligus
penulis naskah Teater Koma, menentukan kerangka lakon dalam tiga bagian,
yaitu pembuka yang berisi pengantar cerita atau sebab awal, isi yang
berisi pemaparan, konflik hingga klimaks, dan penutup yang merupakan
simpulan cerita atau akibat.
- Menentukan
protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawa laku keseluruhan
cerita. Dengan menentukan tokoh protagonis secara mendetil, maka tokoh
lainnya mudah ditemukan. Misalnya, dalam persoalan tentang kelicikan, maka
tokoh protagonis dapat diwujudkan sebagi orang yang rajin, semangat dalam
bekerja, senang membantu orang lain, berkecukupan, dermawan, serta jujur.
Semakin detil sifat atau karakter protagonis, maka semakin jelas pula
karakter tokoh antagonis. Dengan menulis lawan dari sifat protagonis maka
karakter antagonis dengan sendirinya terbentuk. Jika tokoh protagonis dan
antagonis sudah ditemukan, maka tokoh lain baik yang berada di pihak
protagonis atau antagonis akan mudah diciptakan.
- Menentukan
cara penyelesaian. Mengakhiri sebuah persoalan yang dimunculkan tidaklah
mudah. Dalam beberapa lakon ada cerita yang diakhiri dengan baik tetapi
ada yang diakhiri secara tergesa-gesa, bahkan ada yang bingung
mengakhirinya. Akhir cerita yang mengesankan selalu akan dinanti oleh
penonton. Oleh karena itu tentukan akhir cerita dengan baik, logis, dan
tidak tergesa-gesa.
- Menulis.
Setelah semua hal disiapkan maka proses berikutnya adalah menulis. Mencari
dan mengembangkan gagasan memang tidak mudah, tetapi lebih tidak mudah
lagi memindahkan gagasan dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, gunakan dan
manfaatkan waktu sebaik mungkin.
3.2 Analisis Lakon
Menganalisis lakon adalah salah satu tugas
utama sutradara. Lakon yang telah ditentukan harus segera dipelajari sehingga
gambaran 100% lengkap cerita didapatkan. Dengan analisis yang baik, sutradara akan
lebih mudah menerjemahkan kehendak pengarang dalam pertunjukan.
3.2.1 Analisis Dasar
Analisis dasar adalah telaah unsur-unsur
pokok yang membentuk lakon. Dalam proses analisis ini, sutradara memepelajari
seluruh isi lakon dan menangkap gambaran lengkap lakon seperti apa yang
tertulis. Jadi, dalam tahap ini sutradara hanya membaca kehendak pengarang
melalui lakonnya. Unsur-unsur pokok yang harus dianalisis oleh sutradara adalah
senagai berikut.
- Pesan
Lakon. Merupakan bahan komunikasi utama yang hendak disampaikan kepada
penonton. Berhasil atau tidaknya sebuah pertunjukan teater diukur dari
sampai tidaknya pesan lakon kepada penonton. Oleh karena itu, sutradara
wajib menemukan pesan utama dari lakon yang telah ditentukan. Apa yang
hendak disampaikan oleh pengarang melalui naskah lakon disebut pesan.
Romeo and Juliet karya Shakespeare mengandung pesan bahwa seseorang yang
telah menemukan cinta sejati tidak takut terhadap risiko apapun termasuk
mati. Pesan ini ingin disampaikan oleh pengarang dengan akhir yang tragis
dimana tokoh Romeo dan Juliet akhirnya mati bersama. Dinamika percintaan
Romeo dan Juliet yang berakhir dengan kematian inilah yang harus
ditekankan oleh sutradara kepada penonton.
- Konflik
dan Penyelesaian. Penting mengetahui dasar persoalan (konflik) dalam
sebuah lakon karena hal tersebut akan membawa laku aksi para tokohnya. Di
bagian mana konflik itu muncul dan bagaimana aksi dan reaksi para
tokohnya, pada bagian mana konflik itu memuncak, dan pada akhirnya
bagaimana konflik itu diselesaikan. Semua ini akan memberi sudut pandang
bagi sutradara dalam melihat, menilai, dan memahami konflik lakon. Selain
itu sudut pandang pengarang dalam menyelesaikan konflik dapat menegaskan
pesan yang hendak disampaikan.
- Karakter
Tokoh. Analisis karakter tokoh sangat penting dan harus dilakukan secara
mendetil agar sutradara mendapatkan gambaran watak sejelas-jelasnya.
Karena tidak banyak arahan dan keterangan yang dituliskan mengenai
karakter tokoh dalam sebuah lakon, maka sutradara harus menggalinya
melalui kalimat-kalimat dialog. Perjalanan sebuah karakter terkadang tidak
mengalami perubahan yang berarti tetapi beberapa tokoh dalam lakon
(biasanya protagonis dan antagonis) bisa saja mengalami perubahan. Oleh
karena itu analisis karakter ini harus dilakukan dengan teliti dan
hati-hati sehingga setiap perubahan karakter yang dialami oleh tokoh tidak
lepas dari pengamatan sutradara.
- Latar
Cerita. Gambaran tempat kejadian, peristiwa, dan waktu kejadian harus
diungkapkan dengan jelas karena hal ini berkaitan dengan tata artistik.
Untuk mewujudkan keadaan peristiwa seperti dikehendaki lakon di atas
panggung maka informasi yang jelas mengenai latar cerita harus didapatkan.
Misalnya, gambaran tempat kejadian persitiwa adalah di sebuah gedung maka
harus dijelaskan apakah terjadi di sebuah gedung megah, sederhana atau
mewah. Apakah gedung tersebut merupakan gedung pertemuan, dewan kota,
museum, atau gedung pertunjukan. Di gedung tersebut cerita terjadi di
ruang aula, teras gedung, dapur umum, atau di salah satu ruang khusus.
Arsitektur gedung itu apakah menggunakan arsitektur kolonial, gaya
spanyol, atau ciri khas daerah tertentu. Intinya informasi sekecil apapun
harus didapatkan. Hal ini berlaku juga untuk latar peristiwa dan waktu.
Semua informasi dikumpulkan dan diseleksi untuk kemudian diwujudkan dalam
pementasan. Dengan demikian penonton akan mendapatkan gambaran yang jelas
latar cerita yang dimainkan.
3.2.2 Interpretasi
Setelah menganalisis lakon dan mendapatkan
informasi lengkap mengenai lakon, maka sutradara perlu melakukan tafsir atau
interpretasi.Berdasarkan hasil analisis, sutradara memberi sentuhan dan atau
penyesuaian artistik terhadap lakon yang akan dipentaskan. Proses ini bisa
disebut sebagai proses asimilasi (perpaduan) antara gagasan sutradara dan
pengarang. Seorang sutradara sebetulnya boleh tidak melakukan interpretasi
terhadap lakon, artinya, ia hanya sekedar melakukan apa yang dikehendaki oleh
lakon apa adanya sesuai dengan hasil analisis. Akan tetapi sangat mungkin
seorang sutradara memiliki gagasan astistik tertentu yang akan ditampilkandalam
pementasan setelah menganalisa sebuah lakon. Proses interpretasi biasanya
menyangkut unsur latar, pesan, dan karakterisasi.
- Latar.
Adaptasi terhadap tempat kejadian peristiwa sering dilakukan oleh
sutradara. Secara teknis hal ini berkaitan dengan sumber daya yang
dimiliki. Misalnya, dalam lakon mengehendaki tempat kejadian di sebuah
apartemen yang mewah, tetapi karena ketersediaan sumber daya yang kurang
memadahi maka bentuk penampilan apartemen mewah disesuaikan. Secara
artistik, sutradara dapat menafsirkan tempat kejadian secara simbolis.
Misalnya, apartemen mewah disimbolkan sebagai pusat kekuasaan maka tata
panggungnya disesuaikan dengan simbolisasi tersebut. Ketika adaptasi ini
dilakukan maka unsur-unsur lain pun seperti tata rias dan busana akan ikut
terkait dan mengalami penyesuaian. Penyesuaian inipun berkaitan langsung
dengan latar waktu dan peristiwa. Jika apartemen disimbolkan sebagai pusat
kekuasaan maka peristiwa yang terjadi di dalamnya juga harus mengikuti
simbolisasi ini sedangkan latar waktunya bisa ditarik ke masa lalu atau
masa kini seperti yang dikehendaki oleh sutradara. Oleh karena itulah
pentas teater dengan lakonlakon yang sudah berusia lama seperti Oedipus,
Antigone, Romeo and Juliet masih aktual dipentaskan sekarang ini.
- Pesan.
Hal yang paling menarik mengenai penyampaian pesan kepada penonton adalah
caranya. Cara menyampaikan pesan antara sutradara satu dengan yang lain
bisa berbeda meskipun lakon yang dipentaskan sama. Cara menyampaikan pesan
ini menjadi titik tafsir lakon yang penting karena pesan inilah inti dari
keseluruhan lakon. Untuk menekankan pesan yang dimaksud ada sutradara yang
memberi penonjolan pada tata artistik, misalnya warna-warna yang digunakan
di atas panggung. Ada juga sutradara yang menonjolkan laku aksi aktor di
atas pentas sehingga adegan dibuat dan dikerjakan secara detil.
Masing-masing cara penonjolan pesan ini mempengaruhi unsur-unsur lain
dalam pementasan. Dengan demikian sutradara harus benar-benar memikirkan
cara menyampaikan pesan lakon dengan mempertimbangkan unsur-unsur lakon
dan sumber daya yang dimiliki.
- Karakterisasi.
Tafsir ulang terhadap tokoh lakon paling sering dilakukan. Hal ini
biasanya berkaitan dengan isu atau topik yang sedang hangat terjadi di
masyarakat. Tafsir ulang tokoh tidak hanya sekedar mengubah nama dan
menyesuaikan bentuk penampilan fisik, tetapi juga mental, emosi, dan
keseluruhan watak tokoh. Misalnya, sebuah lakon yang tokohtokohnya
memiliki latar belakang budaya Eropa hendak diadaptasi ke dalam budaya
Indonesia. Banyak hal yang harus dilakukan selain mengganti nama dan
penampilan fisik, yaitu cara berbicara, gaya berjalan, tata krama,
pandangan hidup, takaran emosi dan cara berpikir. Semuanya memliki
keterkaitan. Misalnya, dalam budaya Eropa orang bepikir secara bebas
sementara orang Indonesia cenderung mempertimbangkan hal-hali lain (tata
krama, pranata sosial) di luar hal utama yang dipikirkan. Hal ini
mempengaruhi hasil pemikiran dan cara mengungkapkan hasil pikiran
tersebut.Dengan demikian cara pandang sutradara terhadap keseluruhan lakon
pun harus diubah atau mengalami penyesuaian.
3.3 Konsep Pementasan
Hasil akhir dari analisis naskah adalah
konsep pementasan.Dalam konsep ini sutradara menjelaskan secara lengkap
mengenai cara menyampaikan pesan yang berkaitan dengan pendekatan gaya
pementasan dan pendekatan pemeranan serta memberikan gambaran global tata
artistik.
- Pendekatan
gaya pementasan. Seniman teater dunia telah banyak berusaha melahirkan
gaya pementasan. Dewasa ini hampir tidak bisa ditemukan gaya pementasan
murni yang dihasilkan seorang sutradara atau pemikir teater. Setiap
kelahiran gaya baru memiliki keterkaitan atau perlawanan terhadap gaya
tertentu (baca bagian sejarah teater). Oleh karena itu, hal yang paling
bisa adalah mendekatkan gaya pementasan dengan gaya tertentu yang sudah
ada. Istilah pendekatan di sini digunakan dalam arti sutradara tidak hanya
sekedar melaksanakan sebuah gaya secara wantah (utuh) tetapi ada
pengembangan atau penyesuaian di dalamnya. Untuk itu, sutradara harus
memahami gaya-gaya pementasan. Dengan demikian pendekatan yang dilakukan
tidak salah sasaran. Konvensi atau aturan main sebuah pertunjukan
diungkapkan dalam poin ini, misalnya, karena menggunakan pendekatan gaya
presentasional, maka bahasa dialog antaraktor menggunakan bahasa yang
puitis. Gerak laku aktor distilisasi atau diperindah. Aktor boleh
berbicara secara langsung kepada penonton.
- Pendekatan
pemeranan. Setelah menetapkan pendekatan gaya, maka metode pemeranan yang
dilakukan perlu dituliskan. Hal ini sangat berguna bagi aktor. Metode
akting berkaitan dengan pencapaian aktor (standar) sesuai dengan
pendekatan gaya pementasannya. Misalnya, penggunaan bahasa puitis dengan
sendirinya membuat aktor harus mau memahami dan melakukan latihan teknik-teknik
membaca puisi agar dalam pengucapan dialog tidak seperti percakapan
sehari-hari. Hal ini mempengaruhi bentuk dan gaya penampilan aktor dalam
beraksi. Sutradara harus membuat metode tertentu dalam sesi latihan
pemeranan untuk mencapai apa yang dinginkan.
- Gambaran
tata artistik. Secara umum, sutradara harus menuliskan gambaran
(pandangan) tata artistiknya. Meski tidak secara mendetil, tetapi gambaran
tata artisitk berguna bagi para desainer untuk mewujudkannya dalam desain.
Jika sutradara mampu, maka ia bisa memberikan gambaran tata artistik
melalui sketsa. Jika tidak, maka ia cukup menuliskannya..
3.4 Memilih Pemain
Menentukan pemain yang tepat tidaklah mudah.
Dalam sebuah grup atau sanggar, sutradara sudah mengetahui karakter
pemainpemainnya (anggota). Akan tetapi, dalam sebuah grup teater sekolah yang
pemainnya selalu berganti atau kelompok teater kecil yang membutuhkan banyak
pemain lain sutradara harus jeli memilih sesuai kualifikasi yang dinginkan.
Grup teater tradisional biasanya memilih pemain sesuai dengan penampilan fisik
dengan ciri fisik tokoh lakon, misalnya dalam wayang orang atau ketoprak. Akan
tetapi, dalam teater modern, memilih pemain biasanya berdasar kecapakan pemain
tersebut.
3.4.1 Fisik
Penampilan fisik seorang pemain dapat dijadikan
dasar menentukan tokoh. Biasanya, dalam lakon yang gambaran tokohnya sudah
melekat di masyarakat, misalnya tokoh-tokoh dalam lakon pewayangan, penentuan
pemain berdasar ciri fisik ini menjadi acuan utama.
- Ciri
Wajah. Berkaitan langsung dengan penampilan mimik aktor. Meskipun
kekurangan wajah bisa ditutupi dengan tata rias, tetapi ciri wajah pemain
harus diusahakan semirip mungkin dengan ciri wajah tokoh dalam lakon. Hal
ini dianggap dapat mampu melahirkan ekspresi wajah yang natural. Misalnya,
dalam cerita Kabayan, maka pemain harus memiliki ciri wajah yang tampak
tolol.
- Ukuran
Tubuh. Dalam kasus tertentu, ukuran tubuh merupakan harga mati bagi sebuah
tokoh. Misalnya, dalam wayang wong, tokoh Bagong memiliki ukuran tubuh
tambun (gemuk), maka pemain yang dipilih pun harus memiliki tubuh gemuk.
Tidak masuk akal jika Bagong tampil dengan tubuh kurus.
- Tinggi
Tubuh. Hal ini juga sama dengan ukuran tubuh. Tokoh Werkudara (Bima) harus
ditokohkan oleh orang yang bertubuh tinggi besar. Sutradara akan diprotes
oleh penonton jika menampilkan Bima bertubuh kurus dan pendek, karena
tidak sesuai dengan karakter dan akan menyalahi laku lakon secara
keseluruhan.
- Ciri
Tertentu. Ciri fisik dapat pula dijadikan acuan untuk menentukan pemain.
Misalnya, dalam ketoprak, seorang yang tinggi tapi bungkuk dianggap tepat
memainkan tokoh pendeta. Seorang yang memiliki kumis, janggut, dan brewok
tebal cocok diberi tokoh sebagai warok atau jagoan.
3.4.2 Kecakapan
Menentukan pemain berdasar kecapakan biasanya
dilakukan melalui audisi. Meskipun dalam khasanah teater modern, sutradara
dapat menilai kecakapan pemain melalui portofolio tetapi proses audisi tetap
penting untuk menilai kecakapan aktor secara langsung.
- Tubuh.
Kesiapan tubuh seorang pemain merupakan faktor utama. Tidak ada gunanya
seorang aktor bermain dengan baik jika fisiknya lemah. Dalam sebuah
produksi yang membutuhkan latihan rutin dan intens dalam kurun waktu yang
lama ketahanan tubuh yang lemah sangatlah tidak menguntungkan. Untuk
menilai kesiapan tubuh pemain, maka latihan katahanan tubuh dapat
diujikan.
- Wicara.
Kemampuan dasar wicara merupakan syarat utama yang lain. Dalam teater yang
menggunakan ekspresi bahasa verbal kejelasan ucapan adalah kunci
ketersampaian pesan dialog. Oleh karena itu pemain harus memiliki kemampuan
wicara yang baik. Penilaian yang dapat dilakukan adalah penguasan, diksi,
intonasi, dan pelafalan yang baik. Dengan memberikan teks bacaan tertentu,
calon aktor dapat dinilai kemampuan dasar wicaranya.
- Penghayatan.
Menghayati sebuah tokoh berarti mampu menerjemahkan laku aksi karakter
tokoh dalam bahasa verbal dan ekspresi tubuh secara bersamaan. Untuk
menilai hal ini, sutradara dapat memberikan penggalan adegan atau dialog
karakter untuk diujikan. Calon aktor, harus mampu menyajikannya dengan
penuh penghayatan. Untuk menguji lebih mendalam sutrdara juga dapat
memberikan penggalan dialog karakter lain dengan muatan emosi yang
berbeda.
- Kecakapan
lain. Kemampuan lain selain bermain tokoh terkadang dibutuhkan. Misalnya,
seorang calon aktor yang memiliki kemampuan menari, menyanyi atau bermain
musik memiliki nilai lebih. Mungkin dalam sebuah produksi ia tidak
memenuhi kriteria sebagai pemain utama, tetapi bisa dipilih sebagai
seorang penari latar dalam adegan tertentu. Untuk itu, portofolio sangat
penting bagi seorang aktor profesional. Catatan prestasi dan kemampuan
yang dimiliki hendaknya ditulis dalam portofolio sehingga bisa menjadi
pertimbangan sutradara.
3.5 Menentukan Bentuk dan Gaya Pementasan
Bentuk dan gaya pementasan membingkai
keseluruhan penampilan pementasan. Penting bagi sutradara untuk menentukan
dengan tepat bentuk dan gaya pementasan. Bentuk dan gaya yang dipilih secara
serampangan akan mempengaruhi kualitas penampilan. Kehatihatian dalam memilih
bentuk dan gaya bukan saja karena tingkat kesulitan tertentu, tetapi latar
belakang pengetahuan dan kemampuan sutradara sangat menentukan. Di bawah ini
akan dibahas bentuk dan gaya pementasan menurut penuturan cerita, bentuk
penyajian, dan gaya penyajian. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
serta membutuhkan kecakapan sutradara dalam bidang tertentu untuk
melaksanakannya.
3.5.1 Menurut Penuturan Cerita
Ada dua jenis pertunjukan teater menurut
penuturan ceritanya, yaitu berdasar naskah lakon dan improvisasi. Teater
tradisional biasanya memilih imporivisasi karena semua pemain telah memahami
dengan baik cerita yang akan dilakonkan dan karakter tokoh yang akan
ditokohkan. Sebaliknya, teater modern menggunakan naskah lakon sebagai sumber
penuturan. Meskipun beberapa kelompok teater modern tertentu memperbolehkan
improvisasi (biasanya lakon komedi situasi) tetapi sumber utama dialognya
diambil dari naskah lakon.
3.5.1.1 Berdasar Naskah Lakon
Mementaskan teater berdasarkan naskah lakon
menjadi ciri umum teater modern. Hal ini memiliki kelebihan tersendiri, di
antaranya adalah sebagai berikut.
- Durasi
waktu dapat ditentukan dengan pasti. Karena dialog tokoh sudah ditentukan
dan tidak boleh ditambah atau dikurangi maka durasi pementasan dapat
ditentukan. Dari serangkaian latihan yang dikerjakan secara rutin dan
kontinyu ditambah dengan unsur artistik dan teknis maka lamanya
pertunjukan teater berdasar naskah dapat ditetapkan. Bahkan dalam produksi
teater profesional yang semuanya dirancang dengan baik, lamanya adegan,
perpindahan antaradegan, dan tanda keluar-masuk ilustrasi musik atau
pencahayaan ditentukan waktunya sehingga setiap detik sangat berharga dan
menentukan berhasil tidaknya pertunjukan tersebut.
- Arahan
dialog sudah ada. Sutradara tidak perlu menambah atau mengurangi dialog
yang sudah tertulis dalam lakon kecuali punya keinginan mengadaptasinya.
Tugas aktor adalah menghapalkan dialog tersebut dan mengucapkannya dalam
pementasan. Dalam lakon terkadang arahan emosi berkaitan dengan dialog
juga dituliskan sehingga sutrdara lebih mudah dalam memantau emosi tokoh
yang ditokohkan aktor.
- Arahan
laku permainan dapat ditemukan dalam naskah.Dengan mempelajari naskah,
arahan laku permainan dari awal sampai akhir dapat ditemukan. Dengan
demikian, sutradara mudah dalam membuat perencanaan blocking.
- Konflik
dan penyelesaian tidak bekembang. Karena tidak ada impovisasi, maka
konflik dan penyelesaian lakon pasti.
- Fokus
permasalahan telah ditentukan. Sutradara menjadi mudah menentukan
penekanan permasalahan lakon. Pengembangan yang dilakukan hanyalah persoalan
sudut pandang.
- Gambaran
bentuk latar kejadian dapat ditemukan dalam naskah. Lakon telah
menyediakan gambaran lengkap laku perisitiwa melalui dialog
tokoh-tokohnya. Gambaran ini sangat penting bagi sutradara untuk
mewujudkannya di atas pentas. Kalaupun hendak melakukan adaptasi atau
penyesuaian, sutradara telah mendapatkan gambarannya. Di samping kelebihan
tersebut di atas, pementasan teater berdasar naskah lakon juga memiliki
kekurangan dan problem tersendiri.
- Jika
sumber daya yang dimiliki tidak sesuai dengan kehendak lakon harus
dilakukan adaptasi. Hal ini perlu dilakukan. Jika memaksakan kehendak
harus sesuai dengan gagasan lakon, maka kerja sutradara akan semakin
keras. Tergantung dari kekurangan sumber daya yang dimiliki. Jika sumber
daya manusia (aktor) yang kurang, maka sutradara memerlukan waktu ekstra
untuk membimbing para aktornya. Jika sumber dana yang kurang maka tim
poruduksi harus berusaha keras untuk memenuhi tuntutan tersebut. Jika
hendak menyesuaikan dengan ketersediaan sumber daya, maka adaptasi lakon
harus dilakukan. Sutradara perlu meluangkan waktu untuk melakukannya.
- Kreativitas
aktor terbatas. Dengan ditentukannya arah laku maka kreativitas aktor di
atas panggung menjadi terbatas. Meskipun secara artistik tidak masalah,
tetapi karya teater menjadi karya sutradara. Aktor tidak memiliki
kebebasan penuh selain menerjemahkan konsep artistik sutradara.
- Tidak
memungkinkan pengembangan cerita. Cerita yang telah dituliskan oleh
pengarang harus ditaati. Setuju atau tidak setuju terhadap cerita,
konflik, dan penyelesaian konflik, sutradara harus mengikutinya. Jika
sutradara hendak mengembangkan cerita, konflik dan mengubah cara
penyelesaian, ia harus mendapatkan ijin dari penulis naskah lakon. Jika ia
tetap melakukannya, maka sutradara telah melanggar kode etik dan hak karya
artistik. Jika naskah lakon tersebut telah dipublikasikan dalam bentuk
buku dan memiliki hak cipta maka sutradara bisa dituntut di muka hukum.
3.5.1.2 Improvisasi
Mementaskan teater secara improvisasi
memiliki keunikan tersendiri. Sutradara hanya menyediakan gambaran cerita
selanjutnya aktor yang mengembangkannya dalam permainan. Beberapa kelebihan
pentas teater improvisasi adalah:
- Kreativitas
sutradara dan aktor dapat dikembangkan seoptimal mungkin. Sutradara dapat
mengembangkan cerita dengan bebas dan aktor dapat mengembangkan
kemungkinan gayapermainan dengan bebas pula. Dalam proses latihan
terkadang sutradara mendapat inspirasi dari laku aksi pemain demikian pula
sebaliknya. Dengan berkembangnya cerita maka aktor mendapatkan arahan laku
lain yang bisa dicobakan.
- Arahan
laku terbuka. Oleh karena tidak ada petunjuk arah laku yang jelas, maka
aktor dapat mengembangkannya. Terkadang hal ini dapat menimbulkan efek
artistik yang alami dan menarik.
- Konflik
dan sudut pandang penyelesaian bisa dikembangkan. Sifat teater improvisasi
yang terbuka memungkinkan pengembangan konflik dan penyelesaian. Dalam
teater tradisional, mereka biasanya menerima pesan tertentu dari
penyelenggara. Pesan ini dengan luwes dapat diselipkan dalam lakon. Terkadang
untuk menyampaikan pesan titipan tersebut konflik minor baru dimunculkan.
Setelah konflik ini diselesaikan dengan cara yang khas dan lucu maka
cerita kembali ke konflik semula.
- Memungkinkan
percampuran bentuk gaya. Dalam teater improvisasi gaya pementasan juga
terbuka. Misalnya, dalam pertunjukan ketoprak sebuah adegan dilakukan
mengikuti kaidah gaya presentasional (adegan Istana), tetapi di adegan
lain menggunakan gaya realis (adegan dagelan). Pencampuran gaya ini
dimaksudkan untuk memenuhi selera penonton.
- Cerita
bisa disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki. Salah satu kelebihan
utama teater improvisasi adalah cerita dan pemeran dapat dibuat
berdasarkan sumber daya yang dimiliki. Jika banyak pemain yang bisa melucu
maka cerita komedi akan efektif, tetapi jika jumlah pemain yang memiliki
kemampuan laga banyak, maka cerita penuh aksi dapat dijadikan pilihan.
Kemampuan sumber daya ini bisa dijadikan strategi untuk membuat
pertunjukan menarik dan memiliki ciri khas tertentu.
Di balik semua kelebihan di atas, teater
improvisasi juga memiliki kekurangan yang patut diperhatikan oleh sutradara.
- Durasi
waktu tidak tertentu. Oleh karena cerita bisa dikembangkan, maka durasi
pementasan bisa berubah-ubah.Semua tergantung dari improvisasi aktor di
atas pentas. Sutradara bisa memotong sebuah adegan yang berjalan cukup
lama dengan membunyikan tanda agar musik dimainkan dan adegan segera
diselesaikan. Kekurangan dari pemotongan adegan ini adalah jika inti
dialog (persoalan) belum sempat terucapkan maka inti dialog harus
diucapkan pada adegan berikutnya.
- Improvisasi
dialog tidak berimbang. Dalam sebuah grup teater, kemampuan setiap aktor
pasti tidak sama. Oleh karena itu, jika sutradara tidak jeli memahami hal
ini, bisa jadi ia memasangkan aktor yang memilliki kemampuan tak berimbang
dalam improvisasi. Akibatnya, dalam adegan tersebut aktor yang satu
terlalu aktif dan yang lain pasif. Jika hal ini terjadi cukup lama, maka
akan membosankan.
- Kualitas
dialog tidak dapat distandarkan. Karena tidak ada arahan dialog yang baku,
maka kualitas dialog tidak bisa distandarkan. Bagi aktor yang memiliki
kemampuan sastra memadai tidak jadi masalah, tetapi bagi aktor yang
kualitas sastranya pas-pasan hal ini menjadi masalah besar. Untuk itu,
meskipun improvisasi, latihan adegan tetap harus sering dilakukan.
- Kemungkinan
aktor melakukan kesalahan lebih besar. Sifat akting adalah aksi dan
reaksi. Jika seorang aktor beraksi, maka aktor lawan mainnya harus
bereaksi. Karena arahan laku yang terbuka maka reaksi ucapan sering
dilakukan spontan dan belum tentu benar. Di samping itu, kesalahan ucap
atau penyampaian informasi tertentu bisa saja salah karena memang tidak
dicatat dan hanya diingat garis besarnya saja.
- Sutradara
tidak bisa sepenuhnya mengendalikan jalannya pementasan. Jika pementasan
sudah berjalan, maka panggung sepenuhnya adalah milik aktor. Sutradara
tidak bisa lagi mengendalikan jalannya pertunjukan. Aktor mengambil tokoh
penuh. Karena sifatnya yang serba terbuka, aktor bisa mengembangkan cerita
dan gaya permainan di atas pentas dan sutradara tidak bisa lagi
mengarahkan secara langung. Jika dalam teater berbasis naskah, lakon
sebagai pengendali cerita maka dalam teater imrpovisasi aktor harus mampu
mengendalikan jalannya cerita.
3.5.2 Menurut Bentuk Penyajian
Banyaknya pilihan bentuk penyajian pementasan
teater membuat sutradara harus jeli dalam menentukannya. Jika tidak, sutradara
akan kerepotan sendiri. Oleh karena setiap bentuk penyajian memiliki kekhasan
dan membutuhkan prasyarat tertentu yang harus dipenuhi, maka sutradara wajib
mempelajari dan memahami langkah-langkah dalam melaksanakannya.
3.5.2.1 Teater Gerak
Teater gerak lebih banyak membutuhkan
ekspresi gerak tubuh dan mimik muka daripada wicara. Pesan yang tidak
disampaikan secara verbal membutuhkan keahlian tersendiri untuk mengelolanya.
Di bawah ini beberapa langkah yang bisa diambil oleh sutradara dalam menggarap
teater gerak
- Sutradara
mampu mengeksplorasi dan menciptakan gerak. Simbol dan makna yang
disampaikan melalui gerak harus dikerjakan dengan teliti. Jika tidak, maka
maknanya akan kabur. Sutrdara harus mampu mengeksplorasi dan menciptakan
gerak sesuai dengan makna pesan yang hendak disampaikan.
- Memahami
komposisi dan koreografi. Karena bekerja dengan gerak, maka teori
komposisi dan koreografi dasar wajib dimiliki oleh sutradara. Penataan
gerak tidak bisa dikerjakan dengan serampangan, harus mempertimbangkan
makna pesan, suasana, dan terutama musik ilustrasinya. Untuk mendukung
rangkaian gerak yang telah diciptakan, pengaturan pemain perlu dilakukan.
Meskipun rangkaian gerak yang dihasilkan sangat indah, tetapi jika
komposisi (tata letak) pemainnya tidak berubah akan melahirkan kejenuhan.
- Mewujudkan
bahasa dalam simbol gerak. Mengubah bahasa dalam simbol gerak tidaklah
mudah. Apalagi jika sudah menyangkut makna. Oleh karena itu, sutradara
harus bisa mewujudkan bahasa verbal dalam simbol gerak.
- Mewujudkan
ekspresi melalui mimik para aktor. Ekspresi emosi atau karakter tokoh
harus bisa diwujudkan melalui mimik para aktor. Oleh karena keterbatasan
bahasa verbal dalam pertunjukan teater gerak, maka ekspresi mimik menjadi
sangat penting.
- Mengerti
musik ilustrasi. Meskipun tidak bisa memainkan musik, sutradara teater
gerak harus mengerti kaidah musik ilustrasi. Kapan musik mengikuti gerak
pemain, kapan pemain harus menyesuaikan dengan alunan musik, kapan musik
hadir sebagai latar suasana, dan perbedaannya harus dimengerti oleh
sutradara.
- Jika
pemain dalam jumlah banyak, maka pengaturan blocking harus lebih teliti.
Jumlah pemain yang banyak menimbulkan persoalan tersendiri, terutama
menyangkut komposisi. Jika tidak pintar mengelola, maka banyaknya jumlah
pemain justru akan memenuhi panggung dan membuat suasana menjadi sesak.
Menempatkan pemain dalam posisi dan gerak yang tepat akan membuat
pertunjukan semakin menarik. Jika jumlah pemain banyak dan harus bergerak
secara serempak, maka dianjurkan untuk mengkreasi gerak sederhana yang
mudah dilakukan. Jika gerak terlalu sulit, maka irama rampak gerak yang
diharapkan bisa kacau.
- Jika
pemain sedikit maka motif gerak harus lebih variatif. Jumlah pemain bisa
disiasati dengan menambah perbendaharaan gerak. Motif gerak yang kaya akan
membuat tampilan menjadi variatif dan menyegarkan.
3.5.2.2 Teater Boneka
Teater boneka memiliki karakter yang khas
tergantung jenis boneka yang dimainkan. Kewajiban sutradara tidak hanya
mengatur pemain manusia, tetapi juga mengatur permainan boneka. Di bawah ini
beberapa langkah yang bisa dikerjakan oleh sutradara yang hendak mementaskan
teater boneka.
- Mampu
memainkan boneka dengan baik. Banyak jenis boneka dan masing-masing
membutuhkan teknik khusus dalam memperagakannya. Boneka dua dimensi
seperti wayang kulit memiliki teknik memainkan berbeda dengan boneka tiga
dimensi seperti wayang golek. Boneka wayang golek memiliki teknik
permainan yang berbeda dengan boneka marionette yang dimainkan dengan
tali. Sutradara harus bisa memainkan boneka tersebut.
- Mampu
mengisi suara sesuai dengan karakter boneka. Mengisi suara sesuai karakter
boneka menjadi prasyarat utama. Karakter suara harus bisa tampil secara
konsisten dari awal hingga akhir pertunjukan. Biasanya seorang pemain
boneka bisa membuat beberapa karakter suara yang berbeda.
- Mampu
menghidupkan ekspresi boneka yang dimainkan. Memainkan boneka bisa saja
dipelajari, tetapi memberikan ekspresi hidup adalah hal yang lain.
Ekspresi selalu menyangkut penghayatan dan konsentrasi. Karena tokoh
diperagakan oleh boneka, maka karakter boneka harus benarbenar melekat
sehingga pengendali boneka seolah-olah bisa memberikan nafas hidup di
dalamnya. Boneka yang dimainkan dengan hidup akan menarik dan tampak
nyata.
- Jika
pemain boneka banyak maka harus mampu mengatur adegan agar pergerakan
boneka tidak saling mengganggu. Jika lakon yang dimainkan membutuhkan
banyak tokoh, maka pengaturan adegan harus dikerjakan dengan teliti.
Tempat pertunjukan teater boneka yang terbatas harus disesuaikan dengan
jumlah boneka yang tampil. Selain itu, seorang pengendali biasanya hanya
bisa mengendalikan maksimal dua boneka, maka penampilan boneka yang
terlalu banyak juga akan merepotkan para pengendalinya.
- Jika
pemain sedikit harus memiliki kemampuan mengisi suara dengan karakter yang
berbeda. Jumlah pengendali boneka yang sedikit tidak masalah asal setiap
orang mampu menciptakan beberapa karakter suara. Yang terpenting dan perlu
dicatat adalah setiap boneka mempunyai karakter suaranya sendiri.
- Mampu
membangun kerjasama antarpemain boneka. Dalam teater boneka kerjasama
antarpemain tidak hanya menyangkut emosi, tetapi juga menyangkut hal-hal
teknis. Keluar masuknya boneka di atas pentas berkaitan langsung dengan
pengendali bonekanya. Oleh karena itu, pengaturan adegan boneka
disesuaikan dengan kemampuan pengendali. Jika tidak ada kerjasama yang
baik antarpemain (pengendali boneka), maka pergantian adegan bisa semrawut
sehingga para pemain kewalahan.
3.5.2.3 Teater Dramatik
Mementaskan teater dramatik membutuhkan kerja
keras sutradara terutama terkait dengan akting pemeran. Oleh karena tuntutan
pertunjukan teater dramatik yang mensyaratkan laku aksi seperti kisah nyata,
maka sutradara harus benar-benar jeli dalam menilai setiap aksi para aktor.
Demikian juga dengan suasana kejadian, semua harus tampak natural, tidak
dibuat-buat. Beberapa langkah yang dapat dikerjakan oleh sutradara dalam
menggarap teater dramatik adalah sebagai berikut.
- Memahami
tensi dramatik (dinamika lakon). Laku lakon dari awal sampai akhir
mengalami dinamika atau ketegangan yang turun naik. Sutradara harus
memahami bobot tegangan (tensi) dramatik dalam setiap adegan yang ada pada
lakon. Jika pada bagian awal konflik tegangan terlalu tinggi, maka aktor
akan kesulitan meninggikan tegangan pada saat klimaks. Hasil akhirnya
adalah anti klimaks di mana pada adegan yang seharusnya memiliki tensi
tinggi justru melemah karena energi para aktornya telah habis. Untuk
menghindari hal tersebut sutradara harus benar-benar teliti dalam mengukur
tegangan dramatik adegan per adegan dalam lakon. Jika dianalogikan dengan
nilai 1 sampai dengan 10, maka sutradara harus menetapkan tegangan optimal
dan minimal. Angka tertinggi dari deret tegangan yang harus dicapai oleh
aktor adalah 8 atau 9, sehingga ketika dalam adegan tertentu membutuhkan
tegangan yang lebih aktor masih bisa mengejarnya. Intinya, bijaksanalah
dalam menentukan tegangan dramatik adegan dan buatlah klimaks yang
mengesankan dan penyelesaian yang dramatis.
- Memahami
sisi kejiwaan karakter tokoh. Hal yang paling sulit dilakukan oleh
sutradara adalah membongkar kejiwaan karakter tokoh dan mewujudkannya
dalam laku aktor di ataspentas. Sisi kejiwaan yang menyangkut perasaan
karakter tokoh harus dapat ditampilkan senatural mungkin sehingga penonton
menganggap hal itu benar-benar nyata terjadi. Di sinilah letak
kesulitannya, aktor diharuskan berakting tetapi seolah-olah ia tidak
berakting melainkan melakukan kenyataan hidup. Jika sutradara tidak
memahami kejiwaan
- karakter
tokoh dengan baik maka penilaiannya terhadap kualitas penghayatan aktor
pun kurang baik. Jika demikian, maka efek dramatik yang diharapkan dari
aksi aktor menjadi gagal.
- Mampu
meningkatkan kualitas pemeranan aktor untuk menghayati tokoh secara
optimal. Berkaitan dengan karakter tokoh, sutradara harus dapat menentukan
metode yang tepat agar para aktornya dapat memahami, menghayati dan
memerankan karakter dengan baik. Banyak sutradara yang mengadakan semacam
pemusatan latihan dalam kurun waktu yang cukup lama dengan tujuan agar
para aktornya berada dalam suasana lakon yang akan dipentaskan.
- Mampu
menghadirkan laku cerita seperti sebuah kenyataan hidup. Langkah pamungkas
yang dapat dijadikan patokan adalah menghadirkan pentas seperti sebuah
kenyataan hidup.
- Membuat
penonton terkesima dengan pertunjukan tidaklah mudah. Dalam teater
dramatik, jika melakonkan cerita yang sedih ukuran keberhasilannya adalah
membuat penonton ikut terhanyut sedih. Demikian pula dengan cerita
suka-ria, maka penonton harus dibawa dalam suasana yang suka-ria. Untuk
mencapai hasil maksimal maka kejelian sutradara dalam mengamati dan
menangani keseluruhan unsur pertunjukan sangat dibutuhkan.
Kejanggalan-kejanggalan kecil yang dirasa kurang masuk akal oleh penonton
akan mengurangi kualitas dramatika lakon yang dihadirkan. Teater dramatik
adalah teater yang mencoba meniru peristiwa kehidupan secara total dan
sempurna. Jadi, hindarilah kesalahan atau hal yang tidak lumrah dan berada
di luar jangkauan nalar penonton.
3.5.2.4 Drama Musikal
Kemampuan multi harus dimiliki oleh seorang
sutradara jika hendak mementaskan drama musikal. Bahasa ungkap yang beragam
antara bahasa verbal, lagu, gerak, dan musikal harus dirangkai secara harmonis
untuk mencapai hasil maksimal. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sutradara
dalam drama musikal adalah sebagai berikut.
- Mengerti
karya musik dramatik. Sutradara tidak harus bisa memainkan musik, tetapi
memahami karya musik merupakan keharusan dalam drama musikal. Tokohan
musik sangat doniman dalam drama musikal bahkan musik bisa hadir secara
mandiri untuk menceritakan sesuatu. Artinya, musik itu sendiri sudah
bercerita sehingga pemain atau penari yang berada di atas panggung
hanyalah pelengkap gambaran peristiwa. Pada adegan lain, tokoh musik bisa
menjadi pengiring lagu yang bercerita, pengiring gerak, dan ilustrasi
suasana kejadian. Kepiawaian sutradara dalam menentukan kegunaan karya
musik yang satu dengan yang lain benarbenar dibutuhkan. Jika karya drama
musikal tersebut berawal dari karya musik murni (musik yang bercerita)
seperti The Cats karya Andrew Lloyd Webber, maka sutradara harus
benar-benar piawai dalam mengolah visualisasinya di atas pentas.
- Mengerti
lagu dan nyanyian. Tokohan dialog verbal yang digubah dalam bentuk lagu
dan diucapkan melalui nyanyian adalah satu hal yang membutuhkan perhatian
tersendiri. Ketepatan nada dalam nyanyian serta ekspresi wajah ketika
menyanyi juga tidak boleh luput dari pengamatan. Banyak penyanyi yang
memiliki suara baik tetapi ekspresinya datar, demikian pula sebaliknya.
Sutradara harus mampu memecahkan masalah dasar tersebut. Lagu dan nyanyian
harus bisa ditampilkan secara baik dan harmonis.
- Mampu
membuat gerak dan ekspresi berdasar karya musik. Pada adegan dimana musik
bercerita secara mandiri maka sutradara harus mampu memvisualisasikan
cerita tersebut di atas pentas. Memilih pelaku yang tepat dan membuat
komposisi atau koreografi berdasar karya musik yang ada. Ekspresi cerita
melalui nada-nada musik harus benar-benar bisa divisualisasikan dengan
tepat.
- Mampu
membuat gerak, komposisi, dan koreografi. Dalam satu adegan saat cerita
diungkapkan melalui gerak, maka sutradara harus mampu menciptkan
koreografinya. Dalam hal ini musik bertindak sebagai pengiring. Makna
cerita sepenuhnya dituangkan dalam wujud gerak. Dituntut kepiawaian
sutradara dalam memilih dan merangkai motif gerak. Meskipun sutradara
bekerja dengan seorang koreografer, tetapi makna dan atau simbolisasi
cerita harus benar-benar bisa diwujudkan dalam gerak tarian yang
dilakukan. Koreografer bisa saja mencipta gerak, tetapi pada akhirnya
sutradara yang memutuskan.
3.6 Blocking
Sutradara diwajibkan memahami cara mengatur
pemain di atas pentas. Bukan hanya akting tetapi juga blocking. Secara mendasar
blocking adalah gerakan fisik atau proses penataan (pembentukan) sikap tubuh
seluruh aktor di atas panggung. Blocking dapat diartikan sebagai aturan
berpindah tempat dari titik (area) satu ke titik (area) yang lainnya bagi aktor
di atas panggung. Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka perlu diperhatikan
agar blocking yang dibuat tidak terlalu rumit, sehingga lalulintas aktor di
atas panggung berjalan dengan lancar. Jika blocking dibuat terlalu rumit, maka
perpindahan dari satu aksi menuju aksi yang lain menjadi kabur. Yang terpenting
dalam hal ini adalah fokus atau penekanan bagian yang akan ditampilkan. Fungsi
blocking secara mendasar adalah sebagai berikut.
- Menerjemahkan
naskah lakon ke dalam sikap tubuh aktor sehingga penonton dapat melihat
dan mengerti.
- Memberikan
pondasi yang praktis bagi aktor untuk membangun karakter dalam
pertunjukan.
- Menciptakan
lukisan panggung yang baik.
Dengan blocking yang tepat, kalimat yang
diucapkan oleh aktor menjadi lebih mudah dipahami oleh penonton. Di samping
itu, blocking dapat mempertegas isi kalimat tersebut. Jika blocking dikerjakan
dengan baik, maka karakter tokoh yang dimainkan oleh para aktor akan tampak
lebih hidup.
3.6.1 Pembagian Area Panggung
Gambar Pembagian sembilan area panggung
UL
|
UC
|
UR
|
CL
|
C
|
CR
|
DL
|
DC
|
D
|
UR = Atas Kanan, UC = Atas Tengah, UL = Atas
Kiri, RC = Tengah Kanan,
C = Tengah, LC = Tengah Kiri, DR = Bawah Kanan, DC = Bawah Tengah,
DL = Bawah Kiri
C = Tengah, LC = Tengah Kiri, DR = Bawah Kanan, DC = Bawah Tengah,
DL = Bawah Kiri
Untuk membuat atau merencanakan blocking bagi
para pemain, perlu diketahui terlebih dahulu pembagian area panggung. Panggung
pertunjukan secara kompleks dibagi dalam lima belas area, yaitu tengah, tengah
kanan, tengah kiri, kanan, kiri, bawah tengah, bawah kanan tengah, bawah kiri
tengah, bawah kanan, bawah kiri, atas tengah, atas kanan tengah, atas kiri
tengah, atas kanan, dan atas kiri. Pembagian panggung dalam lima belas area ini
biasanya digunakan untuk panggung yang berukuran besar.
Letak kanan dan kiri atau atas dan bawah
ditentukan berdasar pada arah hadap aktor ke penonton. Kanan adalah kanan
pemain dan bukan kanan penonton dan kiri adalah kiri pemain. Atas adalah jarak
terjauh dari penonton, sedangkan bawah adalah jarak terdekat dengan penonton,
sedangkan kanan adalah posisi kanan arah hadap aktor atau sisi kiri penonton.
Secara sederhana dan umum panggung dibagi
sembilan area, yaitu tengah, tengah kanan, tengah kiri, bawah tengah, bawah
kanan, bawah kiri, atas tengah, atas kanan, dan atas kiri. Panggung yang tidak
terlalu luas jika dibagi menjadi lima belas area, maka luas masing-masing area
akan terlalu sempit sehingga tidak memungkinkan sebuah pergerakan yang leluasa
baik untuk pemain maupun perabot. Pembagian sembilan area juga memudahkan
sutradara dalam memberikan arah gerak kepada para aktornya.
3.6.2 Komposisi
Komposisi dapat diartikan sebagai pengaturan
atau penyusunan pemain di atas pentas. Sekilas komposisi mirip dengan blocking.
Bedanya, blocking memiliki arti yang lebih luas karena setiap gerak, arah laku,
perpindahan pemain serta perubahan posisi pemain dapat disebut blocking.
Sedangkan komposisi, lebih mengatur posisi, pose, dan tinggirendah pemain dalam
keadaan diam (statis). Pengaturan posisi pemain seperti ini dilakukan agar
semua pemain di atas pentas dapat dilihat dengan jelas oleh penonton. Ada dua
ragam komposisi pemain, yaitu komposisi simetris dan komposisi asimetris yang
ditata dengan mempertimbangkan keseimbangan.
3.6.2.1 Simetris
Komposisi simetris adalah komposisi yang
membagi pemain dalam dua bagian dan menempatkan bagian-bagian tersebut dalam
posisi yang benar-benar sama dan seimbang. Jika digambarkan komposisi ini mirip
cermin. Bagian yang satu merupakan cerminan bagian yang lain. Di bawah ini
adalah contoh komposisi simetris.
3.6.2.2 Asimetris
Komposisi asimetris tidak membagi pemain
dalam dua bagian yang sama persis, tetapi membagi pemain dalam dua bagian atau
lebih dengan tujuan memberi penonjolan (penekanan) bagian tertentu.
3.6.2.3 Keseimbangan
Dalam menata komposisi pemain di atas pentas
hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah keseimbangan. Keseimbangan
adalah pengaturan atau pengelompokan aktor di atas pentas yang ditata
sedemikian rupa sehingga tidak menghasilkan ketimpangan. Hal ini diperlukan
untuk memenuhi ruang dan menghindari komposisi aktor yang berat sebelah. Jika
salah satu ruang dibiarkan kosong sementara ruang yang lain terisi penuh, maka
hal ini akan menimbulkan pemandangan yang kurang menarik dan jika hal ini
berlangsung lama, maka penonton akan menjadi jenuh.
3.6.3 Fokus
Dalam mengatur blocking, hal yang paling
utama untuk diperhatikan sutradara adalah perhatian penonton. Setiap aktivitas,
karakter, perubahan ekspresi dan aksi di atas pentas harus dapat ditangkap mata
penonton dengan jelas. Oleh karena itu, pengaturan blocking harus
mempertimbangkan pusat perhatian (fokus) penonton. Hal ini dapat dikerjakan
dengan menempatkan pemain dalam posisi dan situasi tertentu sehingga ia lebih
menonjol atau lebih kuat dari yang lainnya.
3.6.3.1 Prinsip Dasar
Pada dasarnya fokus adalah membuat pemain
menjadi terlihat jelas oleh mata penonton. Oleh karena itu, prinsip-prinsip
dasar di bawah ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menempatkan posisi
dan mengatur pose pemain.
- Kurangilah
menempatkan pemain dalam posisi menghadap lurus ke arah penonton atau
menyamping penuh. Usahakan pemain menghadap diagonal (kurang lebih 45
derajat) ke arah penonton. Menghadap lurus ke arah penonton akan
memberikan efek datar dan kurang memberikan dimensi kepada pemain,
sedangkan menyamping penuh akan menyembunyikan bagian tubuh yang lain.
Dengan menghadap secara diagonal, maka dimensi dan keutuhan tubuh pemain
akan dilihat dengan jelas oleh mata penonton.
- Jika
pemain hendak melangkah, maka awali dan akhiri langkah tersebut dengan
kaki panggung atas (yang jauh dari mata penonton). Jika melangkah dengan
kaki panggung bawah (yang dekat dari mata penonton), maka kaki yang jauh
akan tertutup dan wajah pemain secara otomatis akan menjauh dari mata
penonton. Hal ini menjadikan gerak pemain kurang terlihat dengan jelas.
- Gunakan
lengan atau tangan panggung atas (yang jauh dari mata penonton) untuk
menunjuk ke arah panggung atas dan gunakan lengan atau tangan panggung
bawah (yang dekat dengan mata penonton) untuk menunjuk ke panggung bawah.
Jika yang dilakukan sebaliknya, maka gerakan lengan dan tangan akan menutupi
bagian tubuh lain.
- Jangan
pernah memegang benda atau piranti tangan di depan wajah ketika sedang
berbicara, karena hal ini akan menutupi suara dan pandangan penonton. Jika
tangan yang digunakan adalah tangan yang tidak menganggu pandangan
penonton, maka gerak laku aktor dalam menggunakan telepon akan kelihatan.
Hal ini mempertegas laku aksi yang sedang dikerjakan.
- Usahakan
agar para aktor saling menatap (berkontak mata) pada saat mengawali dan
mengakhiri dialog (percakapan). Selebihnya, usahakan untuk berbicara
kepada penonton atau kepada aktor lain yang berada di atas panggung.
Membagi arah pandangan ini sangat penting untuk menegaskan dan memberi
kejelasan ekspresi karakter kepada penonton.
(4/6): Seni Berperan dalam Teater
Aktor merupakan manusia
yang mengorbankan dirinya untuk menjadi orang lain. Karena itu dia harus
mempersiapkan dirinya secara utuh penuh baik fisik maupun psikis. Untuk itu
seorang pemeran harus menjaga kelenturan peralatan tubuhnya.
4.1 Latihan Olah Tubuh
Latihan olah tubuh melatih kesadaran tubuh
dan cara mendayagunakan tubuh. Olah tubuh dilakukan dalam tiga tahap, yaitu
latihan pemanasan, latihan inti, dan latihan pendinginan. Latihan pemanasan
(warm-up), yaitu serial latihan gerakan tubuh untuk meningkatkan sirkulasi dan
meregangkan otot dengan cara bertahap. Latihan inti, yaitu serial pokok dari
inti gerakan yang akan dilatihkan. Latihan pendinginan atau peredaan
(warm-down), yaitu serial pendek gerakan tubuh untuk mengembalikan kesegaran
tubuh setelah menjalani latihan inti.
4.1.1
Persiapan
Sebelum melakukan latihan harus memperhatikan
denyut nadi. Mengetahui denyut nadi sebelum latihan fisik dianjurkan karena
berhubungan dengan kerja jantung. Cara untuk menghitung denyut nadi, yaitu
dengan menghitung denyut nadi yang ada di leher atau denyut nadi yang ada di
pergelangan tangan dalam. Penghitungan denyut nadi yang ada dipergelangan
tangan lebih dianjurkan untuk menghasilkan perhitungan yang tepat. Cara
penghitungan denyut nada yang ada di pergelangan tangan, yaitu dengan
meletakkan jari tengah di atas pergelangan tangan dalam segaris dengan ibu jari
atau jari jempol.
Selama menghitung denyut nadi mata selalu
melihat jam (jam tangan maupun jam dinding yang ada di dalam ruangan).
Penghitungan dilakukan selama enam detik dan hasilnya dikalikan sepuluh, atau
penghitungan dilakukan selama sepuluh detik dan hasilnya dikalikan enam.
Latihanlatihan olah tubuh dapat dilakukan
dengan tahap-tahap sebagai berikut.
- Pemanasan
- Latihan
ketahanan
- Latihan
Kelenturan
- Latihan
ketangkasan
- Latihan
pendinginan
- Latihan
relaksasi
4.2 OLAH SUARA
Suara adalah unsur penting dalam kegiatan
seni teater yang menyangkut segi auditif atau sesuatu yang berhubungan dengan
pendengaran. Dalam kenyataannya, suara dan bunyi itu sama, yaitu hasil getaran
udara yang datang dan menyentuh selaput gendang telinga. Akan tetapi, dalam
konvensi dunia teater kedua istilah tersebut dibedakan. Suara merupakan produk
manusia untuk membentuk katakata, sedangkan bunyi merupakan produk benda-benda.
Suara dihasilkan oleh proses mengencang dan mengendornya pita suara sehingga
udara yang lewat berubah menjadi bunyi. Dalam kegiatan teater, suara mempunyai
tokohan penting, karena digunakan sebagai bahan komunikasi yang berwujud
dialog. Dialog merupakan salah satu daya tarik dalam membina konflik-konflik
dramatik. Kegiatan mengucapkan dialog ini menjadi sifat teater yang khas. Suara
adalah lambang komunikasi yang dijadikan media untuk mengungkapkan rasa dan
buah pikiran. Unsur dasar bahasa lisan adalah suara. Prosesnya, suara dijadikan
kata dan kata-kata disusun menjadi frasa serta kalimat yang semuanya
dimanfaatkan dengan aturan tertentu yang disebut gramatika atau paramasastra.
Pemilihan kata-kata memiliki tokohan dalam
aturan yang dikenal dengan istilah diksi. Selanjutnya, suara tidak hanya
dilontarkan begitu saja tetapi dilihat dari keras lembutnya, tinggi rendahnya,
dan cepat lambatnya sesuai dengan situasi dan kondisi emosi. Itulah yang
disebut intonasi. Suara merupakan unsur yang harus diperhatikan oleh seseorang
yang akan mempelajari teater.
Kata-kata yang membawa informasi yang
bermakna. Makna katakata dipengaruhi oleh nada. Misalnya, kalimat, “Yah,
memang, kamu sekarang sudah hebat..... ”.
Maka, nada suara yang terlontarkan,
menunjukkan maksud memuji atau sebenarnya ingin mengatakan, “kamu belum bisa
apa-apa”. Banyak lagi contoh yang menunjukkan tentang makna suara. Misalnya,
dalam situasi tertentu tidak mampu mengungkapkan maksud yang sebenarnya,
sehingga secara tidak sadar mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya tidak
dikehendaki. Maksud tersembunyi seperti itu disebut subtext.Seorang pemeran
dalam pementasan teater menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa tubuh dan bahasa
verbal yang berupa dialog. Bahasa tubuh bisa berdiri sendiri, dalam arti tidak
dibarengi dengan bahasa verbal.
Akan tetapi, bisa juga bahasa tubuh sebagai
penguat bahasa verbal. Dialog yang diucapkan oleh seorang pemeran mempunyai
tokohan yang sangat penting dalam pementasan naskah drama atau teks lakon. Hal
ini disebabkan karena dalam dialog banyak terdapat nilai-nilai yang bermakna.
Jika lontaran dialog tidak sesuai sebagaimana mestinya, maka nilai yang
terkandung tidak dapat dikomunikasikan kepada penonton. Hal ini merupakan
kesalahan fatal bagi seorang pemeran.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh
seorang pemeran tentang fungsi ucapan, yaitu sebagai berikut.
- Ucapan
yang dilontarkan oleh pemeran bertujuan untuk menyalurkan kata dari teks
lakon kepada penonton.
- Memberi
arti khusus pada kata-kata tertentu melalui modulasi suara.
- Memuat
informasi tentang sifat dan perasaan tokoh, misalnya: umur. kedudukan
sosial, kekuatan, kegembiraan, putus asa, marah, dan sebagainya.
- Mengendalikan
perasaan penonton seperti yang dilakukan oleh musik.
- Melengkapi
variasi.
Ketika pemeran mengucapkan dialog harus
mempertimbangkan pikiran-pikiran penulis. Jika pemeran melontarkan dialognya
hanya sekedar hasil hafalan saja, maka dia mencabut makna yang ada dalam kata-kata.
Ekspresi yang disampaikan melalui nada suara membentuk satu pemaknaan berkaitan
dengan kalimat dialog. Proses pengucapan dialog mempengaruhi ketersampaian
pesan yang hendak dikomunikasikan kepada penonton.
Latihan-latihan untuk melenturkan peralatan suara
dapat dilakukan menggunakan tahap-tahap sebagai berikut.
- Persiapan
- Pemanasan
- Senam
Wajah
- Senam
Lidah
- Senam
Rahang Bawah
- Latihan
Tenggorokan
- Berbisik
- Bergumam
- Bersenandung
- Latihan
Pernafasan
- Latihan
Kejelasa Diksi
- Intonasi
- Jeda
- Tempo
- Nada
- Wicara
- Ditutup
dengan relaksasi
4.3 OLAH RASA
Pemeran teater membutuhkan kepekaan rasa.
Dalam menghayatai karakter tokoh, semua emosi tokoh yang ditokohkan harus mampu
diwujudkan. Oleh karena itu, latihan-latihan yang mendukung kepekaan rasa perlu
dilakukan. Terlebih dalam konteks aksi dan reaksi. Seorang pemeran tidak hanya
memikirkan ekspresi karakter tokoh yang ditokohkan saja, tetapi juga harus
memberikan respon terhadap ekspresi tokoh lain.
Banyak pemeran yang hanya mementingkan
ekspresi yang ditokohkan sehingga dalam benaknya hanya melakukan aksi. Padahal
akting adalah kerja aksi dan reaksi. Seorang pemeran yang hanya melakukan aksi
berarti baru mengerjakan separuh dari tugasnya. Tugas yang lain adalah
memberikan reaksi. Dengan demikian, latihan olah rasa tidak hanya berfungsi
untuk meningkatkan kepekaan rasa dalam diri sendiri, tetapi juga perasaan
terhadap karakter lawan main. Latihan olah rasa dimulai dari konsentrasi,
mempelajari gesture, dan imajinasi.
4.3.1 Konsentrasi
Pengertian konsentrasi secara harfiah adalah
pemusatan pikiran atau perhatian. Makin menarik pusat perhatian, makin tinggi
kesanggupan memusatkan perhatian. Pusat perhatian seorang pemeran adalah sukma
atau jiwa tokoh atau karakter yang akan dimainkan.
Segala sesuatu yang mengalihkan perhatian
seorang pemeran, cenderung dapat merusak proses pemeranan. Maka, konsentrasi
menjadi sesuatu hal yang penting untuk pemeran. Tujuan dari konsentrasi ini
adalah untuk mencapai kondisi kontrol mental maupun fisik di atas panggung. Ada
korelasi yang sangat dekat antara pikiran dan tubuh. Seorang pemeran harus
dapat mengontrol tubuhnya setiap saat. Langkah awal yang perlu diperhatikan
adalah mengasah kesadaran dan mampu menggunakan tubuhnya dengan efisien. Dengan
konsentrasi pemeran akan dapat mengubah dirinya menjadi orang lain, yaitu tokoh
yang dimainkan.
Dunia teater adalah dunia imajiner atau dunia
rekaan. Dunia tidak nyata yang diciptakan seorang penulis lakon dan diwujudkan
oleh pekerja teater. Dunia ini harus diwujudkan menjadi sesuatu yang
seolah-olah nyata dan dapat dinikmati serta menyakinkan penonton. Kekuatan
pemeran untuk mewujudkan dunia rekaan ini hanya bias dilakukan dengan kekuatan
daya konsentrasi. Misalnya seorang pemeran melihat sesuatu yang menjijikan
(meskipun sesuatu itu tidak ada di atas pentas) maka ia harus menyakinkan
kepada penonton bahwa sesuatu yang dilihat benar-benar menjijikkan. Kalau
pemeran dengan tingkat konsentrasi yang rendah maka dia tidak akan dapat
menyakinkan penonton.
4.3.2 Gesture
Gesture adalah sikap atau pose tubuh pemeran
yang mengandung makna. Latihan gesture dapat digunakan untuk mempelajari dan
melahirkan bahasa tubuh. Ada juga yang mengatakan bahwa gesture adalah bentuk
komunikasi non verbal yang diciptakan oleh bagian-bagian tubuh yang dapat
dikombinasikan dengan bahasa verbal.
Bahasa tubuh dilakukan oleh seseorang
terkadang tanpa disadari dan keluar mendahului bahasa verbal. Bahasa ini
mendukung dan berpengaruh dalam proses komunikasi. Jika berlawanan dengan
bahasa verbal akan mengurangi kekuatan komunikasi, sedangkan kalau selaras
dengan bahasa verbal akan menguatkan proses komunikasi. Seorang pemeran harus
memahami bahasa tubuh, baik bahasa tubuh budaya sendiri maupun bahasa tubuh
budaya lainnya. Pemakaian gesture ini mengajak seseorang untuk menampilkan variasi
bahasa atau bermacam-macam cara mengungkapkan perasaan dan pemikiran. Akan
tetapi, gesture tidak dapat menggantikan bahasa verbal sepenuhnya. Sedang
beberapa orang menggunakan gesture sebagai tambahan dalam kata-kata ketika
melakukan proses komunikasi.
Manfaat mempelajari dan melatih gesture
adalah mengerti apa yang tidak terkatakan dan yang ada dalam pikiran lawan
bicara. Selain itu, dengan mempelajari bahasa tubuh, akan diketahui tanda
kebohongan atau tanda-tanda kebosanan pada proses komunikasi yang sedang
berlangsung. Bahasa tubuh semacam respon atau impuls dalam batin seseorang yang
keluar tanpa disadari. Sebagai seorang pemeran, gesture harus disadari dan
diciptakan sebagai penguat komunikasi dengan bahasa verbal. Sifat bahasa tubuh
adalah tidak universal. Misalnya, orang India, mengangguk tandanya tidak setuju
sedangkan mengeleng artinya setuju. Hal ini berlawanan dengan bangsa-bangsa
lain. Tangan mengacung dengan jari telunjuk dan jempol membentuk lingkaran,
bagi orangtokohcis artinya nol, bagi orang Yunani berarti penghinaan, tetapi
bagi orang Amerika artinya bagus. Jadi bahasa tubuh harus dipahami oleh pemeran
sebagai pendukung bahasa verbal.
Macam-macam gesture yang dapat dipahami orang
lain adalah gesture dengan tangan, gesture dengan badan, gesture dengan kepala
dan wajah, dan gesture dengan kaki. Bahasa tubuh atau gesture dengan tangan
adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh posisi maupun gerak kedua tangan. Bahasa
tubuh yang tercipta oleh kedua tangan merupakan bahasa tubuh yang paling banyak
jenisnya. Bahasa tubuh dengan tubuh adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh pose
atau sikap tubuh seseorang. Bahasa tubuh dengan kepala dan wajah adalah bahasa
tubuh yang tercipta oleh posisi kepala maupun ekspresi wajah. Sedangkan bahasa
tubuh dengan kaki adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh posisi dan bagaimana
meletakkan kaki.
4.3.3 Imajinasi
Imajinasi adalah proses pembentukan
gambaran-gambaran baru dalam pikiran, dimana gambaran tersebut tidak pernah
dialami sebelumnya. Belajar imajinasi dapat menggunakan fungsi ”jika” atau
dalam istilah metode pemeranan Stanislavski disebut magic-if. Latihan imajinasi
bagi pemeran berfungsi mengidentifikasi tokoh yang akan dimainkan. Selain itu,
seorang pemeran juga harus berimajinasi tentang pengalaman hidup tokoh yang
akan dimainkan.
Hal-hal yang perlu diketahui ketika berlatih
imajinasi.
- Imajinasi
menciptakan hal-hal yang mungkin ada atau mungkin terjadi, sedangkan
fantasi membuat hal-hal yang tidak ada, tidak pernah ada, dan tidak akan
pernah ada.
- Imajinasi
tidak bisa dipaksa, tetapi harus dibujuk untuk bisa digunakan. Imajinasi
tidak akan muncul jika direnungkan tanpa suatu objek yang menarik. Objek
berfungsi untuk menstimulasi atau merangsang pikiran. Baik hal yang logis
maupun yang tidak logis. Dengan berpikir, maka akan terjadi proses
imajinasi.
- Imajinasi
tidak akan muncul dengan pikiran yang pasif, tetapi harus dengan pikiran
yang aktif. Melatih imajinasi sama dengan memperkerjakan pikiran-pikiran
untuk terus berpikir.
- Pikiran
bisa disuruh untuk mempertanyakan segala sesuatu. Dengan stimulus
pertanyaan-pertanyaan atau menggunakan stimulus ”seandainya”, maka akan
memunculkan gambaran pengandaiannya. Belajar imajinasi harus menggunakan
plot yang logis, dan jangan menggambarkan suatu objek yang tidak pasti
(perkiraan). Untuk membangkitkan imajinasi tokoh gunakan pertanyaan;
siapa, dimana, dan apa. Misalnya, “siapakah Hamlet itu?”, maka pikiran
dipaksa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Usaha menjawab pertanyaan itu
akan membawa pikiran untuk mengimajinasikan sosok Hamlet.
(5/6): Seni Rupa dalam Teater
5.1 TATA PANGGUNG
Tata panggung disebut juga dengan istilah
scenery (tata dekorasi). Gambaran tempat kejadian lakon diwujudkan oleh tata
panggung dalam pementasan. Tidak hanya sekedar dekorasi (hiasan) semata, tetapi
segala tata letak perabot atau piranti yang akan digunakan oleh aktor
disediakan oleh penata panggung. Penataan panggung disesuaikan dengan tuntutan
cerita, kehendak artistik sutradara, dan panggung tempat pementasan
dilaksanakan. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan penataan panggung seorang
penata panggung perlu mempelajari panggung pertunjukan.
5.1.1
Mempelajari Panggung
Dalam sejarah perkembangannya, seni teater
memiliki berbagai macam jenis panggung yang dijadikan tempat pementasan.
Perbedaan jenis panggung ini dipengaruhi oleh tempat dan zaman dimana teater
itu berada serta gaya pementasan yang dilakukan. Bentuk panggung yang berbeda
memiliki prinsip artistik yang berbeda. Misalnya, dalam panggung yang
penontonnya melingkar, membutuhkan tata letak perabot yang dapat enak dilihat
dari setiap sisi. Berbeda dengan panggung yang penontonnya hanya satu arah dari
depan. Untuk memperoleh hasil terbaik, penata panggung diharuskan memahami
karakter jenis panggung yang akan digunakan serta bagian-bagian panggung
tersebut.
5.1.2
Jenis-jenis Panggung
Panggung adalah tempat berlangsungnya sebuah
pertunjukan dimana interaksi antara kerja penulis lakon, sutradara, dan aktor
ditampilkan di hadapan penonton. Di atas panggung inilah semua laku lakon
disajikan dengan maksud agar penonton menangkap maksud cerita yang ditampilkan.
Untuk menyampaikan maksud tersebut pekerja teater mengolah dan menata panggung
sedemikian rupa untuk mencapai maksud yang dinginkan. Seperti telah disebutkan
di atas bahwa banyak sekali jenis panggung tetapi dewasa ini hanya tiga jenis
panggung yang sering digunakan. Ketiganya adalah panggung proscenium, panggung
thrust, dan panggung arena. Dengan memahami bentuk dari masingmasing panggung
inilah, penata panggung dapat merancangkan karyanya berdasar lakon yang akan
disajikan dengan baik.
5.1.2.1
Arena
Panggung arena adalah panggung yang
penontonnya melingkar atau duduk mengelilingi panggung. Penonton sangat dekat
sekali dengan pemain. Agar semua pemain dapat terlihat dari setiap sisi maka
penggunaan set dekor berupa bangunan tertutup vertikal tidak diperbolehkan
karena dapat menghalangi pandangan penonton. Karena bentuknya yang dikelilingi
oleh penonton, maka penata panggung dituntut kreativitasnya untuk mewujudkan
set dekor. Segala perabot yang digunakan dalam panggung arena harus benar-benar
dipertimbangkan dan dicermati secara hati-hati baik bentuk, ukuran, dan
penempatannya. Semua ditata agar enak dipandang dari berbagai sisi.
Panggung arena biasanya dibuat secara terbuka
(tanpa atap) dan tertutup. Inti dari pangung arena baik terbuka atau tertutup
adalah mendekatkan penonton dengan pemain. Kedekatan jarak ini membawa konsekuensi
artistik tersendiri baik bagi pemain dan (terutama) tata panggung. Karena
jaraknya yang dekat, detil perabot yang diletakkan di atas panggung harus
benar-benar sempurna sebab jika tidak maka cacat sedikit saja akan nampak.
Misalnya, di atas panggung diletakkan kursi dan meja berukir. Jika bentuk
ukiran yang ditampilkan tidak nampak sempurna - berbeda satu dengan yang lain -
maka penonton akan dengan mudah melihatnya. Hal ini mempengaruhi nilai artistik
pementasan.
Lepas dari kesulitan yang dihadapi, panggun
arena sering menjadi pilihan utama bagi teater tradisional. Kedekatan jarak
antara pemain dan penonton dimanfaatkan untuk melakukan komunikasi langsung di
tengah-tengah pementasan yang menjadi ciri khas teater tersebut. Aspek
kedekatan inilah yang dieksplorasi untuk menimbulkan daya tarik penonton.
Kemungkinan berkomunikasi secara langsung atau bahkan bermain di tengah-tengah
penonton ini menjadi tantangan kreatif bagi teater modern. Banyak usaha yang
dilakukan untuk mendekatkan pertunjukan dengan penonton, salah satunya adalah
penggunaan panggung arena. Beberapa pengembangan desain dari teater arena
melingkar dilakukan sehingga bentuk teater arena menjadi bermacammacam.
5.1.2.2 Proscenium
Panggung proscenium bisa juga disebut sebagai
panggung bingkai karena penonton menyaksikan aksi aktor dalam lakon melalui
sebuah bingkai atau lengkung proscenium (proscenium arch). Bingkai yang
dipasangi layar atau gorden inilah yang memisahkan wilayah akting pemain dengan
penonton yang menyaksikan pertunjukan dari satu arah. Dengan pemisahan ini maka
pergantian tata panggung dapat dilakukan tanpa sepengetahuan penonton.
Panggung proscenium sudah lama digunakan
dalam dunia teater. Jarak yang sengaja diciptakan untuk memisahkan pemain dan
penonton ini dapat digunakan untuk menyajikan cerita seperti apa adanya. Aktor
dapat bermain dengan leluasa seolah-olah tidak ada penonton yang hadir
melihatnya. Pemisahan ini dapat membantu efek artistik yang dinginkan terutama
dalam gaya realisme yang menghendaki lakon seolah-olah benar-benar terjadi
dalam kehidupan nyata.
Tata panggung pun sangat diuntungkan dengan
adanya jarak dan pandangan satu arah dari penonton. Perspektif dapat
ditampilkan dengan memanfaatkan kedalaman panggung (luas panggung ke belakang).
Gambar dekorasi dan perabot tidak begitu menuntut kejelasan detil sampai
hal-hal terkecil. Bentangan jarak dapat menciptakan bayangan arstisitk
tersendiri yang mampu menghadirkan kesan. Kesan inilah yang diolah penata
panggung untuk mewujudkan kreasinya di atas panggung proscenium. Seperti sebuah
lukisan, bingkai proscenium menjadi batas tepinya. Penonton disuguhi gambaran
melalui bingkai tersebut.
Hampir semua sekolah teater memiliki jenis
panggung proscenium. Pembelajaran tata panggung untuk menciptakan ilusi (tipuan) imajinatif sangat
dimungkinkan dalam panggung proscenium. Jarak antara penonton dan panggung
adalah jarak yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan gambaran kreatif
pemangungan. Semua yang ada di atas panggung dapat disajikan secara sempurna
seolah-olah gambar nyata. Tata cahaya yang memproduksi sinar dapat dihadirkan
dengan tanpa terlihat oleh penonton dimana posisi lampu berada. Intinya semua
yang di atas panggung dapat diciptakan untuk mengelabui pandangan penonton dan
mengarahkan mereka pada pemikiran bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah
kenyataan. Pesona inilah yang membuat penggunaan panggung proscenium bertahan
sampai sekarang.
5.1.3 Fungsi Tata Panggung
Dalam perancangan tata panggung selain
mempertimbangkan jenis panggung yang akan digunakan ada beberapa elemen
komposisi yang perlu diperhatikan. Sebelum menjelaskan semua itu, fungsi tata
panggung perlu dibahas terlebih dahulu. Selain merencanakan gambar dekor,
penata panggung juga bertanggungjawab terhadap segala perabot yang digunakan.
Karena keseluruhan objek yang ada di atas panggung dan digunakan oleh aktor
membentuk satu lukisan secara menyeluruh.
Perabot dan piranti sangat penting dalam
mencipta lukisan panggung, terutama pada panggung arena dimana lukisan dekor
atau bentuk bangunan vertikal tertutup seperti dinding atau kamar (karena akan
menghalangi pandangan sebagian penonton) tidak memungkinkan diletakkan di atas
panggung. Tata perabot kemudian menjadi unsur pokok pada tata panggung arena.
Unsur-unsur ini ditata sedemikian rupa sehingga bisa memberikan gambaran
lengkap yang berfungsi untuk menjelaskan suasana dan semangat lakon, periode
sejarah lakon, lokasi kejadian, status karakter peran, dan musim dalam tahun
dimana lakon dilangsungkan.
5.1.4 Elemen Komposisi
Desain tata panggung sebaiknya dibuat dengan
mudah dan bebas. Artinya, imajinasi dapat dituangkan sepenuhnya ke dalam gambar
desain tanpa lebih dulu berpikir tentang kemungkinan visualisasinya. Pemikiran
lain di luar desain akan menghambat imajinasi dan akhrinya memberikan batasan.
Penyuntingan atau pengolahan bisa dilakukan setelah gagasan tertuang. Dalam
pembuatan desain gambar tata panggung yang terpenting adalah cara mengatur,
menata, dan memanipulasi elemen komposisi yang menjadi dasar dari seluruh kerja
desain.
5.2 TATA CAHAYA
Cahaya adalah unsur tata artistik yang paling
penting dalam pertunjukan teater. Tanpa adanya cahaya maka penonton tidak akan
dapat menyaksikan apa-apa. Dalam pertunjukan era primitif manusia hanya
menggunakan cahaya matahari, bulan atau api untuk menerangi. Sejak ditemukannya
lampu penerangan manusia menciptakan modifikasi dan menemukan hal-hal baru yang
dapat digunakan untuk menerangi panggung pementasan. Seorang penata cahaya
perlu mempelajari pengetahuan dasar dan penguasaan peralatan tata cahaya. Pengetahuan
dasar ini selanjutnya dapat diterapkan dan dikembangkan dalam penataan cahaya
untuk kepentingan artistik pemanggungan.
5.2.1
Fungsi Tata Cahaya
Tata cahaya yang hadir di atas panggung dan
menyinari semua objek sesungguhnya menghadirkan kemungkinan bagi sutradara,
aktor, dan penonton untuk saling melihat dan berkomunikasi. Semua objek yang
disinari memberikan gambaran yang jelas kepada penonton tentang segala sesuatu
yang akan dikomunikasikan. Dengan cahaya, sutradara dapat menghadirkan ilusi imajinatif.
Banyak hal yang bisa dikerjakan bekaitan dengan peran tata cahaya tetapi fungsi
dasar tata cahaya ada empat, yaitu penerangan, dimensi, pemilihan, dan atmosfir
(Mark Carpenter, 1988).
- Penerangan.
Inilah fungsi paling mendasar dari tata cahaya. Lampu memberi penerangan
pada pemain dan setiap objek yang ada di atas panggung. Istilah penerangan
dalam tata cahaya panggung bukan hanya sekedar memberi efek terang
sehingga bisa dilihat tetapi memberi penerangan bagian tertentu dengan
intensitas tertentu. Tidak semua area di atas panggung memiliki tingkat
terang yang sama tetapi diatur dengan tujuan dan maksud tertentu sehingga
menegaskan pesan yang hendak disampaikan melalui laku aktor di atas
pentas.
- Dimensi.
Dengan tata cahaya kedalaman sebuah objek dapat dicitrakan. Dimensi dapat
diciptakan dengan membagi sisi gelap dan terang atas objek yang disinari
sehingga membantu perspektif tata panggung. Jika semua objek diterangi
dengan intensitas yang sama maka gambar yang akan tertangkap oleh mata
penonton menjadi datar. Dengan pengaturan tingkat intensitas serta
pemilahan sisi gelap dan terang maka dimensi objek akan muncul.
- Pemilihan.
Tata cahaya dapat dimanfaatkan untuk menentukan objek dan area yang hendak
disinari. Jika dalam film dan televisi sutradara dapat memilih adegan
menggunakan kamera maka sutradara panggung melakukannya dengan cahaya.
Dalam teater, penonton secara normal dapat melihat seluruh area panggung,
untuk memberikan fokus perhatian pada area atau aksi tertentu sutradara
memanfaatkan cahaya. Pemilihan ini tidak hanya berpengaruh bagi perhatian
penonton tetapi juga bagi para aktor di atas pentas serta keindahan tata
panggung yang dihadirkan.
- Atmosfir.
Yang paling menarik dari fungsi tata cahaya adalah kemampuannya
menghadirkan suasana yang mempengaruhi emosi penonton. Kata “atmosfir”
digunakan untuk menjelaskan suasana serta emosi yang terkandung dalam
peristiwa lakon. Tata cahaya mampu menghadirkan suasana yang dikehendaki
oleh lakon. Sejak ditemukannya teknologi pencahayaan panggung, efek lampu
dapat diciptakan untuk menirukan cahaya bulan dan matahari pada
waktu-waktu tertentu. Misalnya, warna cahaya matahari pagi berbeda dengan
siang hari. Sinar mentari pagi membawa kehangatan sedangkan sinar mentari
siang hari terasa panas. Inilah gambaran suasana dan emosi yang dapat
dimunculkan oleh tata cahaya.
Keempat fungsi pokok tata cahaya di atas
tidak berdiri sendiri. Artinya, masing-masing fungsi memiliki interaksi (saling
mempengaruhi). Fungsi penerangan dilakukan dengan memilih area tertentu untuk
memberikan gambaran dimensional objek, suasana, dan emosi peristiwa. Selain
keempat fungsi pokok di atas, tata cahaya memiliki fungsi pendukung yang
dikembangkan secara berlainan oleh masing-masing ahli tata cahaya. Beberapa
fungsi pendukung yang dapat ditemukan dalam tata cahaya adalah sebagai berikut.
- Gerak.
Tata cahaya tidaklah statis. Sepanjang pementasan, cahaya selalu bergerak
dan berpindah dari area satu ke area lain, dari objek satu ke objek lain.
Gerak perpindahan cahaya ini mengalir sehingga kadang-kadang perubahannya
disadari oleh penonton dan kadang tidak. Jika perpindahan cahaya bergerak
dari aktor satu ke aktor lain dalam area yang berbeda, penonton dapat
melihatnya dengan jelas. Tetapi pergantian cahaya dalam satu area ketika
adegan tengah berlangsung terkadang tidak secara langsung disadari. Tanpa
sadar penonton dibawa ke dalam suasana yang berbeda melalui perubahan
cahaya.
- Gaya.
Cahaya dapat menunjukkan gaya pementasan yang sedang dilakonkan. Gaya
realis atau naturalis yang mensyaratkan detil kenyataan mengharuskan tata
cahaya mengikuti cahaya alami seperti matahari, bulan atau lampu meja.
Dalam gaya Surealis tata cahaya diproyeksikan untuk menyajikan imajinasi
atau fantasi di luar kenyataan seharihari. Dalam pementasan komedi atau
dagelan tata cahaya membutuhkan tingkat penerangan yang tinggi sehingga
setiap gerak lucu yang dilakukan oleh aktor dapat tertangkap jelas oleh
penonton.
- Komposisi.
Cahaya dapat dimanfaatkan untuk menciptakan lukisan panggung melalui
tatanan warna yang dihasilkannya.
- Penekanan.
Tata cahaya dapat memberikan penekanan tertentu pada adegan atau objek
yang dinginkan. Penggunaan warna serta intensitas dapat menarik perhatian
penonton sehingga membantu pesan yang hendak disampaikan. Sebuah bagian
bangunan yang tinggi yang senantiasa disinari cahaya sepanjang pertunjukan
akan menarik perhatian penonton dan menimbulkan pertanyaan sehingga
membuat penonton menyelidiki maksud dari hal tersebut.
- Pemberian
tanda. Cahaya berfungsi untuk memberi tanda selama pertunjukan berlangsung.
Misalnya, fade out untuk mengakhiri sebuah adegan, fade in untuk memulai
adegan dan black out sebagai akhir dari cerita. Dalam pementasan teater
tradisional, black out biasanya digunakan sebagai tanda ganti adegan
diiringi dengan pergantian set.
5.3 TATA RIAS
Tata rias secara umum dapat diartikan sebagai
seni mengubah penampilan wajah menjadi lebih sempurna. Tata rias dalam teater
mempunyai arti lebih spesifik, yaitu seni mengubah wajah untuk menggambarkan
karakter tokoh. Tata Rias dalam teater bermula dari pemakaian kedok atau topeng
untuk menggambarkan karakter tokoh. Contohnya, teater Yunani yang memakai
topeng lebih besar dari wajah pemain dengan garis tegas agar ekspresinya dapat
dilihat oleh penonton. Beberapa teater primitif menggunakan bedak tebal yang
biasa dibuat dari bahan-bahan alam, seperti tanah,tulang, tumbuhan, dan lemak
binatang. Pemakaian tata rias akhirnya menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari peristiwa teater.
5.3.1 Fungsi Tata Rias
Tokoh dalam teater memiliki karakter berbeda-beda.
Penampilan tokoh yang berbeda-beda membutuhkan penampilan yang berbeda sesuai
karakternya. Tata rias merupakan salah satu cara menampilkan karakter tokoh
yang berbeda-beda tersebut. Tata rias dalam teater memiliki fungsi sebagai
berikut.
- Menyempurnakan
penampilan wajah
- Menggambarkan
karakter tokoh
- Memberi
efek gerak pada ekspresi pemain
- Menegaskan
dan menghasilkan garis-garis wajah sesuai dengan tokoh
- Menambah
aspek dramatik.
5.3.1.1 Menyempurnakan Penampilan
Wajah
Wajah seorang pemain memiliki kekurangan yang
bisa disempurnakan dengan mengaplikasikan tata rias. Seorang pemain, misalnya,
memiliki hidung yang kurang mancung, mata yang tidak ekspresif, bibir yang
kurang tegas, dan sebagainya. Tata rias bisa menyempurnakan kekurangan tersebut
sehingga muncul kesan hidung tampak mancung, mata menjadi lebih ekspresif, dan
bibir bergaris tegas. Penyempurnaan wajah dilakukan pada pemain yang secara
fisik telah sesuai dengan tokoh yang dimainkan. Misalnya, seorang remaja
memerankan siswa sekolah. Tata rias tidak perlu mengubah usia, tetapi cukup
menyempurnakan dengan mengoreksi kekurangan yang ada untuk disempurnakan.
Pemain yang tidak menggunakan rias, wajahnya akan tampak datar, tidak memiliki
dimensi.
5.3.1.2 Menggambarkan Karakter Tokoh
Karakter berarti watak. Tata rias berfungsi
melukiskan watak tokoh dengan mengubah wajah pemeran menyangkut aspek umur,
ras, bentuk wajah dan tubuh. Karakter wajah merupakan cermin psikologis dan
latar sosial tokoh yang hadir secara nyata. Misalnya, seorang yang optimis
digambarkan dengan tarikan sudut mata cenderung ke atas. Sebaliknya, tokoh yang
pesimistis cenderung memiliki karakter garis mata yang menurun. Tata rias
memiliki kemampuan dalam mengubah sekaligus menampilkan karakter yang berbeda
dari seorang pemeran.
5.3.1.3 Memberi Efek Gerak Pada
Ekspresi Pemain
Wajah seorang pemain di atas pentas, tampak
datar ketika tertimpa cahaya lampu. Oleh karena itu dibutuhkan tata rias untuk
menampilkan dimensi wajah pemain. Tata rias berfungsi menegaskan garis-garis
wajah karakter, sehingga saat berekspresi muncul efek gerak yang tegas dan
dapat ditangkap oleh penonton. Seorang penata rias harus mencermati gerak
ekspresi wajah untuk menentukan garis yang akan dibuat.
5.3.1.4 Menghadirkan Garis Wajah
Sesuai Dengan Tokoh
Menampilkan wajah sesuai dengan tokoh
membutuhkan garis baru yang membentuk wajah baru. Fungsi garis tidak sekedar
menegaskan, tetapi juga menambahkan sehingga terbentuk tampilan yang berbeda
dengan wajah asli pemain. Misalnya, seorang remaja yang memerankan seorang yang
telah berumur 50 tahun. Wajah perlu ditambahkan garis-garis kerutan sesuai
wajah seorang yang berusia 50 tahun. Seorang yang berperan menjadi tokoh
binatang, maka perlu membuat garis-garis baru sesuai dengan karakter wajah
binatang yang diperankan.
5.3.1.5 Menambah Aspek Dramatik
Peristiwa teater selalu tumbuh dan
berkembang. Tokoh-tokoh mengalami berbagai peristiwa sehingga terjadi perubahan
dan penambahan tata rias. Misalnya, seorang tokoh tertusuk belati, tertembak,
tersayat wajahnya, maka dibutuhkan tata rias yang memberikan efek sesuai dengan
kebutuhan. Tata rias bisa memberikan efek dramatik dari peristiwa-peristiwa
yang terjadi dengan menciptakan efek tertentu sesuai dengan kebutuhan.
5.3.2
Jenis Tata Rias
5.3.2.1
Tata Rias Korektif
Tata rias korektif (corective make-up)
merupakan suatu bentuk tata rias yang bersifat menyempurnakan (koreksi). Tata
rias ini menyembunyikan kekurangan-kekurangan yang ada pada wajah dan
menonjolkan hal-hal yang menarik dari wajah. Setiap wajah memiliki kekuarangan
dan kelebihan. Seseorang yang memiliki bentuk wajah kurang sempurna, misalnya
dahi terlalu lebar, hidung kurang mancung dan sebagainya,dapat disempurnakan
dengan make up korektif. Seorang pemain membutuhkan tata rias korektif ketika
tampilannya tidak membutuhkan perubahan usia, ras, dan perubahan bentuk wajah.
Biasanya pemeran memiliki kesesuaian dengan tokoh yang diperankan. Wajah pemain
cukup disempurnakan dengan menyamarkan, menegaskan, dan menonjolkan
bagian-bagian wajah sesuai dengan tokoh yang dimainkan.
5.3.2.2 Tata Rias Fantasi
Tata rias fantasi dikenal juga dengan istilah
tata rias karakter khusus. Disebut tata rias karakter khusus, karena
menampilkan wujud rekaan dengan mengubah wajah tidak realistik. Tata rias
fantasi menggambarkan tokoh-tokoh yang tidak riil keberadaannya dan lahir
berdasarkan daya khayal semata.
5.3.2.3 Tata Rias karakter
Tata rias karaker adalah tata rias yang
mengubah penampilan wajah seseorang dalam hal umur, watak, bangsa, sifat, dan
ciri-ciri khusus yang melekat pada tokoh. Tata rias karakter dibutuhkan ketika
karakter wajah pemeran tidak sesuai dengan karakter tokoh. Tata rias karakter
tidak sekedar menyempurnakan, tetapi mengubah tampilan wajah. Contohnya,
mengubah umur pemeran dari muda menjadi lebih tua . Mengubah anatomi wajah
pemain untuk memenuhi tuntutan tokoh dapat juga digolongkan sebagai tata rias
karakter, misalnya memanjangkan telinga. Tokoh tersebut memiliki latar Suku
Dayak Kalimantan yang memiliki tradisi memanjangkan telinga.
5.4 TATA BUSANA
Tata busana adalah seni pakaian dan segala
perlengkapan yang menyertai untuk menggambarkan tokoh. Tata busana termasuk
segala asesoris seperti topi, sepatu, syal, kalung, gelang , dan segala unsur
yang melekat pada pakaian. Tata busana dalam teater memiliki peranan penting
untuk menggambarkan tokoh. Pada era teater primitif, busana yang dipakai
berasal dari bahan-bahan alami, seperti tumbuhan, kulit binatang, dan
batu-batuan untuk asesoris. Ketika manusia menemukan tekstil dengan teknologi
pengolahan yang tinggi, maka busana berkembang menjadi lebih baik.
Tata busana dapat dibuat berdasar budaya atau
jaman tertentu. Untuk membuat tata busana sesuai dengan adat dan kebudayaan
daerah tertentu maka diperlukan referensi khusus berkaitan dengan adat dan
kebudayaan tersebut. Jenis busana ini tidak bisa disamakan antara daerah satu
dengan daerah lain. Masing-masing memiliki ciri khasnya. Sementara itu tata
busana menurut jamannya bisa digeneralisasi. Artinya, busana pada jaman atau
dekade tertentu memiliki ciri yang sama. Tidak ada periode tata busana secara
khusus di teater, karena semua tergantung latar cerita yang ditampilkan.
Periode busana teater dengan demikian mengikuti periode teater tersebut.
Misalnya, dalam teater Romawi Kuno maka lakon yang ditampilkan berlatar jaman
tersebut sehingga busananya pun seperti busana keseharian penduduk jaman Romawi
Kuno. Demikian juga dengan teater pada jaman Yunani, Abad Pertengahan,
Renaissance, Elizabethan, Restorasi, dan Abad 18.
Busana teater mengalami perkembangan pesat seiring
lahirnya teater modern pada akhir abad 19. Dalam masa ini, beragam aliran
teater bermunculan. Masing-masing memiliki kospenya tersendiri dan lakon tidak
harus berlatar jaman dimana lakon itu dibuat. Semua terserah pada gagasan
seniman. Busana pun mengikuti konsep tersebut. Tata busana dengan demikian
sudah tidak lagi terpaku pada jaman, tetapi lebih pada konsep yang
melatarbelakangi penciptaan teater.
5.4.1 Fungsi Tata Busana
Busana yang dipakai manusia beraneka ragam
bentuk dan fungsinya. Fungsi busana dalam kehidupan sehari-hari untuk
melindungi tubuh, mencitrakan kesopanan, dan memenuhi hasrat manusia akan
keindahan. Busana dalam teater memiliki fungsi yang lebih kompleks, yaitu.
- Mencitrakan
keindahan penampilan
- Membedakan
satu pemain dengan pemain yang lain
- Menggambarkan
karakter tokoh
- Memberikan
efek gerak pemain
- Memberikan
efek dramatik
5.4.1.1 Mencitrakan Keindahan
Penampilan
Manusia memiliki hasrat untuk mengungkapkan
rasa keindahan dalam berbagai aspek kehidupan. Tata busana dalam teater berfungsi
sebagai bentuk ekspresi untuk tampil lebih indah dari penampilan seharihari.
Pementasan teater adalah suatu tontonan yang
mengandung aspek keindahan. Pada era teater primitif, hasrat untuk tampil
berbeda dan lebih indah dari tampilan sehari-hari telah muncul. Busana
pementesan teater dibuat secara khusus dan dilengkapi dengan asesoris sesuai
kebutuhan pemensan. Teater di Inggris pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth
(1580 – 1640), memakai busana sehari-hari yang dibuat lebih indah dengan
mengaplikasikan perhiasan dan penambahan bahanbahan yang mahal dan mewah.
5.4.1.2 Membedakan Satu Pemain
Dengan Pemain Yang Lain
Pementasan teater menampilkan tokoh yang
bermacam-macam karakter dan latar belakang sosialnya. Penonton membutuhkan
suatu penampilan yang berbeda-beda antara satu tokoh dengan tokoh yang lain.
Busana menjadi salah satu tanda penting untuk membedakan satu tokoh dengan
tokoh yang lain. Penampilan busana yang berbeda akan menunjukkan ciri khusus
seorang tokoh, sehingga penonton mampu mengidentifikasikan tokoh dengan mudah
5.4.1.3 Menggambarkan Karakter Tokoh
Fungsi penting busana dalam
teater adalah untuk menggambarkan karakter tokoh. Perbedaan karakter dalam
busana dapat ditampilkan melalui model, bentuk, warna, motif, dan garis
yang diciptakan. Melalui busana, penonton terbantu dalam menangkap karakter yang berbeda dari setiap tokoh. Contohnya, tokoh seorang pelajar yang pendiam, rajin, dan alim, busananya cenderung rapi, sederhana, dan tanpa asesoris yang berlebihan. Sebaliknya, tokoh seorang pelajar yang bandel, brutal, dan sering membuat onar, busananya dilengkapi asesoris dan cara pemakaiannya seenaknya tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan sekolah.
yang diciptakan. Melalui busana, penonton terbantu dalam menangkap karakter yang berbeda dari setiap tokoh. Contohnya, tokoh seorang pelajar yang pendiam, rajin, dan alim, busananya cenderung rapi, sederhana, dan tanpa asesoris yang berlebihan. Sebaliknya, tokoh seorang pelajar yang bandel, brutal, dan sering membuat onar, busananya dilengkapi asesoris dan cara pemakaiannya seenaknya tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan sekolah.
(6/6): Penutup
Sebuah karya teater lahir
dari satu proses pembelajaran yang padu. Karena prinsip teater adalah kerjasama
maka belajar teater tidaklah hanya mempelajari elemen-elem yang ada di dalamnya
tetapi juga mempelajari kerja pengabungan di antaranya. Satu bidang harus mampu
dan mau menghargai bidang lain. Saling berbicara. Berdiskusi. Memecahkan
persoalan bersama dan menentukan satu keputusan yang secara artistik adil bagi
semua pihak. Dengan demikin dalam satu karya teater, tidak hanya tergambar
keindahan karya seni tetapi juga prinsip kebersamaan. Membaca referensi atau
buku teater tidaklah hanya untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan peningkatan
kompetensi tetapi juga untuk mengungkap makna kerja yang ada di sebalik ilmu.
Pemaknaan ini akan membawa satu sikap
penghargaan profesi baik bagi diri sendiri atau bagi orang yang bekerja pada
bidang lain. Secara mendalam, seni memang tidak hanya menghasilkan sesuatu yang
tampak (produk) tetapi juga mental atau jiwa para pelakunya. Kualitas karya
yang dihasilkan menggambarkan semangat dan keadaan jiwa pembuatnya. Karena
sifatnya yang kolaboratif maka seni teater akan kehilangan spiritnya jika
masing-masing bidang berusaha untuk menonjol dan mengalahkan bidang lain. Dalam
satu proses pembelajaran hal semacam itu sering tejadi. Apalagi ketika proses
tersebut dinilai dan memiliki konsekuensi langsung bagi pelakunya. Satu proses
kerja bidang tertentu bahkan dinilai lebih tinggi dari bidang lain.
Dalam teater hal itu tidak berlaku. Satu
bidang kecil memiliki makna yang sama dengan bidang lain. Jika kualitas kerja
salah satu bidang tidak baik maka keseluruhan pertunjukan menjadi terpengaruh.
Oleh karena itu, kerja sekecil apapun dalam teater sangatlah penting. Sebuah
langkah yang besar selalu dimulai dari langkah kecil. Sebuah karya teater yang
besar merupakan penyatuan kerja elemen-elemen yang kecil.
Akhirnya menjadi maklumlah kita ketika
seseorang berbicara tentang teater maka ia akan membicarakan semua elemen yang
ada di dalamnya. Berbicara teater tidak hanya berbicara naskah atau sutradara
yang merajut proses atau aktor terkenal yang ikut terlibat di dalamnya.
Berbicara teater adalah berbicara tentang semua hal yang ada di dalamnya. Hal
itu akan menyangkut soal cerita, konsep, ketersampaian cerita, tata rias dan
busana, tata panggung dan cahaya, bahkan penonton yang hadir di dalamnya.
Kualitas ketersampaian pesan yang diramu oleh para pekerja teater (pengarang,
sutradara, aktor, penata artistik) akan diketahui langsung oleh para penonton
dalam sebuah pertunjukan. Karena itu pulalah penonton merupkan kunci
keberhasilan sebuah pertunjukan. Respon atau tanggapan yang diberikan penonton
terhadap pertunjukan yang dilangsungkan merupakan tanda bagi keberhasilan atau
kegagalan pertunjukan tesebut dalam menyampaikan pesan.
Begitu pentingnya pesan yang hendak
disampaikan sehingga semua elemen pendukung pementasan bekerja keras
mewujudkannya. Satu gagasan atau perwujudan karya menjadi indah dan menarik
serta memiliki kesatuan makna jika semua elemennya memiliki tujuan artistik
yang sama. Dalam sebuah lakon yang menceritakan tentang kesedihan, maka semua
komponen bekerja untuk memenuhi atmosfir kesedihan yang diharapkan. Jika satu
saja elemen berada di luar garis ini maka kesatuan makna menjadi kabur. Semua
elemen harus besatu. Memiliki tujuan yang sama. Saling mendukung demi
tercapaiya tujuan tersebut.
Oleh karena itulah, mempelajari teater tidak
hanya mempelajari satu bidang dan mengabaikan bidang lain. Memang perlu belajar
satu bidang secara khusus tetapi pemahaman atas bidang lain tidak bisa
diabaikan. Seorang aktor yang baik harus mengerti fungsi tata panggung karena
ia akan bermain di antara objek yang ditata di atas pentas. Ia akan bermain
dalam area yang diciptakan oleh penata panggung. Demikian pula penata panggung
harus mau memahami pola laku dan gerak para aktor di atas pentas sehingga ruang
yang diciptakan tidak mengganggu bagi pergerakan aktor ketika bemain. Semua
elemen harus memahami hal ini, semua saling belajar, semua saling membantu,
semua saling mendukung. Untuk kepentingan inilah buku ini disusun. Jadi,
pelajarilah semuanya sesuai dengan tahapan yang benar. Dramaturgi atau
pengetahuan teater dasar merupakan pokok pemahaman yang harus diperhatikan.
Karya seni yang lahir dari kreativitas dapat dialirkan kepada generasi
berikutnya melalui catatancatatan.
Dramaturgi adalah catatan-catatan proses
penciptaan seni drama hingga sampai pementasannya. Catatan inti akan terus
berkembang seiring dengan perkembangan teater itu sendiri. Banyak seniman yang
lahir karena membaca atau mempelajari karya (catatan) seniman yang lainnya.
Karya baru yang dihasilkan oleh seniman itupun pada nantinya juga akan
menginspirasi karya yang lain. Demikian berjalan secara berkesambungan. Satu
karya mempengaruhi atau terpengaruh oleh karya lain. Semua itu tidak berada
dalam bingkai saling meniru akan tetapi bingkai kreativitas yang terus
berkembang dan berkembang. Membaca catatan karya orang lain bukan dipahami
sebagai bentuk plagiarisme tetapi membaca untuk mempelajari, membaca untuk
menilhami, membaca untuk menginspirasi sehingga seni baru senantiasa lahir.
Disitulah sebetulnya letak fungsi hakiki dari sebuah pengetahuan.
Ketika sebuah gagasan muncul, maka ia perlu
dinyatakan. Gagasan hanya akan menjadi gagasan jika tidak diwujudkan. Dengan
berdasar pengetahuan dan keingintahuan dari membaca catatan tersebut, sebuah
gagasan dapat diwujudkan. Apapun bentuknya, apapun kualitasnya gagasan tersebut
harus menjadi sesuatu. Sesuatu yang sangat berarti bagi si penggagas. Karya
seni yang lebih mementingkan proses, lebih menghargai pengalaman dari pada
hasil akhir. Oleh sebab itu, wujud awal dari sebuah gagasan harus mengalami
proses pembentukan. Dalam teater, semua bermula dari sebuah cerita. Tidak
peduli berapa panjang cerita tersebut. Bahkan mungkin cerita itu hanya
merupakan satu rangkaian kalimat. Akan tetapi, dengan memahami dasar-dasar
penciptaan lakon yang mengedepankan pentingnya arti konflik dalam teater, maka
cerita yang satu kalimat itu pun dapat dikembangkan. Minimal menjadi tiga
kalimat yang masing-masing mewakili pemaparan, konflik, dan penyelesaian. Hanya
dengan cerita yang sangat sederhana semacam ini, sebuah karya teater dapat
dilahirkan. Sebuah pertunjukan dapat digelar.
Dengan semangat dan
ketekunan berlatih, cerita yang sudah berhasil dicipta dapat diwujudkan ke
dalam sebuah pementasan. Kerjasama sebagai semangat seni teater dapat dijadikan
acuan proses penciptaan. Pengetahuan tentang dasar-dasar penyutradaraan,
pemeranan, dan tata artistik dapat diaplikasikan untuk mendukung karya yang
akan ditampilkan. Tidak perlu seorang diri mengerjakan semuanya. Teater adalah
kolketif, teater adalah kerjasama. Masing-masing bidang dalam teater dapat
dikerjakan oleh orang-orang tertentu yang tertarik di bidang-bidang tersebut.
Jika semuanya berbuat dalam semangat kerjasama maka pergelaran karaya teater
menjadi karya bersama yang memiliki satu makna. Semua secara harmonis bekerja
bersama mendukung makna yang satu. Masing-masing bidang yang dibahas dalam buku
ini memberikan gambaran harmonisasi tersebut. Semua bisa dipelajari secara
mandiri, akan tetapi lebih berarti jika semua bidang bersinergi. Semua berjalan
dalam satu proses, dan proses adalah belajar. Semangat belajar dalam teater
tidak akan pernah bisa berhenti karena teater senantiasa hidup dan berkembang.
Ilmu yang didapatkan sekarang tidak akan pernah cukup. Oleh karena itu maka
tidak ada kata lain selain belajar, belajar, dan belajar. Berkarya, berkarya,
dan berkarya. Catatan kecil yang kami sampaikan ini semoga dapat menjadi pemicu
semangat untuk terus belajar dan berkarya.
gielz_sweet@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar