wilijeng sumping di gielzsweetgandana.blogspot.com

Rabu, 23 Mei 2012

Peran Puisi Dalam Perkembangan Bahasa Anak;


Aplikasi Metode Pembelajaran Kontekstual dan Peran Ruang Luar
Oleh : Jiyi Doddy Muliawan
Membicarakan anak-anak merupakan hal yang sangat menyenangkan. Terutama membicarakan perkembangan anak mulai dari awal ia lahir hingga masa menjelang dewasa. Di antara masa-masa itu terdapat berbagai gejala ataupun fenomena yang bisa kita pelajari di dalamnya melalui berbagai sudut pandang keilmuan. Oleh sebab itu banyak penelitian baik ilmiah maupun populer yang menjadikan anak-anak sebagai subjek perbincangan. Begitu pula halnya saat ini, saya mencoba mengangkat sebuah tema yang berhubungan dengan anak-anak. Saya akan mencoba mengemukakan pendapat saya tentang peran puisi dalam perkembangan bahasa anak. Di mana saya mencoba menghubungkan puisi sebagai salah satu alat yang membantu dalam perkembangan bahasa anak dengan metode pembelajaran kontekstual dan peran ruang luar dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa pada anak.
Sebelum mengurai lebih lanjut tentang topik yang saya coba angkat di atas, saya akan menjelaskan beberapa hal terlebih dahulu. Pertama-tama saya akan memberi pembatasan dalam hal pengkategorian anak-anak yang saya jadikan subjek perbincangan dalam tulisan ini. Saya memberikan batasan umur antara 0 – 8 tahun pada anak-anak yang saya maksud dalam tulisan ini. Lalu ada baiknya juga kita samakan persepsi dahulu mengenai puisi yang saya anggap berperan dalam perkembangan bahasa pada anak. Puisi yang saya maksud di sini sudah tentu bukanlah seperti puisi-puisi pada umumnya (puisi dewasa), namun masuk pada jenis puisi anak. Mengapa terdapat perbedaan antara puisi anak dan puisi dewasa? Sudah barang tentu hal ini terjadi karena audiens (pembaca) yang dituju juga berbeda. Namun untuk lebih pastinya kita dapat melihat pendapat Huck, Hepler dan Hickman (1987: 329) yang mengatakan bahwa puisi anak berbeda dengan puisi dewasa. Dalam puisi anak ditemukan pembatasan-pembatasan yang ditujukan agar puisi tersebut dapat dipahami dengan mudah diterima oleh anak-anak. Pada umumnya, puisi anak mempunyai bentuk yang tidak panjang dalam hal isi. Seperti dapat kita lihat pada puisi berikut :
ZES
Één, twee, drie, vier, vijf, zeven
(K. Schippers)
Puisi anak berbahasa belanda berjudul ZES karya K. Schippers di atas hanya terdiri dari satu baris saja. Namun bentuk yang pendek bukan merupakan satu-satunya unsur pembeda antara puisi anak dan puisi dewasa. Ada unsur-unsur lain yang membuat puisi anak berbeda dengan puisi dewasa. Menurut Norton (1987: 329-340), ada empat unsur yang membedakan puisi anak dengan puisi dewasa, yaitu irama, rima dan pola bunyi, pengulangan dan citraan. Keempat unsur tadi bukannya tidak terdapat dalam puisi dewasa. Namun unsur-unsur yang dikemukakan oleh Norton mempunyai ciri khasnya tersendiri. Seperti pada unsur citraan yang juga terdapat pada puisi dewasa. Citraan pada puisi anak sangat berbeda dengan citraan yang terdapat pada puisi dewasa. Citraan yang terdapat dalam puisi anak mempunyai bentuk yang sederhana dan sangat dekat dengan dunia anak-anak itu tersendiri. Hal ini ditujukan untuk mempermudah anak-anak untuk memahami puisi tersebut. Walaupun sebenarnya pemahaman yang disebutkan di sini mungkin sangat berbeda dengan konsep pemahaman yang kita ketahui bersama. Hal ini disebabkan karena pengetahuan anak-anak masih sangat terbatas dan tergantung pada input yang diterimanya. Namun hal itu bukan merupakan sesuatu yang mutlak. Karena yang berperan penting di sini adalah inputyang diterima oleh sang anak, maka citraan-citraan yang ditawarkan kepada sang anak tidak selalu harus terbatas pada hal-hal yang dekat dengan mereka. Justru melalui citraan-citraan baru yang bukan merupakan sesuatu yang dekat dengan dunianya, anak justru mendapatkan sesuatu pengetahuan baru dan pada saat itulah proses pembelajaran bahasa pada anak terjadi. Anak belajar mengenai suatu konsep dan pemahaman akan suatu hal baru yang ada di sekitarnya melalui kata-kata baru yang diterimanya melalui puisi-puisi tersebut.
Mengapa puisi berperan dalam proses perkembangan bahasa anak?
Saya mencoba mengangkat puisi anak sebagai salah satu alat yang dapat membantu perkembangan bahasa anak sesuai dengan topik yang diberikan kepada saya karena saya beranggapan bahwa puisi memberikan input pada anak yang tidak hanya berkaitan dengan perkembangan bahasa namun juga pengetahuan (kennis van de wereld) dengan cara yang bisa dibilang menyenangkan, baik dengan cara dibacakan oleh orang tua – dalam bentuk sajak ataupun lagu – maupun dibaca sendiri oleh sang anak. Seperti yang dikemukakan oleh Jean le Perre yang dikutip oleh Donna Norton dalam bukunya yang berjudul, Through the eyes of a child (1987: 329), puisi memberikan pengetahuan pada anak mengenai konsep-konsep di dunia tempat mereka tinggal dan yang ada disekitar mereka (ukuran, angka, warna dan waktu). Hal ini dapat dilihat pada pada puisi berikut:
De klok en de kalender ( Han G. Hoekstra)
Zestig seconden op een rij
 En er is een minuut voorbij.
Zestig minuten tik-tik-tok
En een uur later wijst de klok.
Een dag heeft 24 uren,
Een week moet 7 dagen duren,
Een jaar telt 52 weken,
12 maanden zijn dan ook verstreken.
30 dagen hebben: september,
April, juni en november,
De andere hebben er 30 en één,
Februari staat heel alleen,
28 dag heeft die er maar,
En 29 in een schrikkeljaar.
Pada puisi anak berjudul De klok en de kalender karya Han G. Hoekstra di atas dapat kita lihat bahwa penulis memberikan input berupa pengetahuan mengenai konsep waktu dalam puisinya tersebut. Seorang anak dapat mengetahui bahwa satu menit terdiri dari 60 detik, satu jam terdiri dari 60 menit, hingga jumlah hari yang terdapat dalam setiap bulannya. Walaupun hal yang diurai di atas terkesan hanya menjelaskan bahwa puisi membantu dalam hal perkembangan anak dalam hal-hal kognitif, namun sebenarnya ini juga terkait pada hal perkembangan bahasa juga.
Pada anak yang belum bisa membaca, puisi disampaikan dengan cara dibacakan ataupun dilagukan secara berulang-ulang. Input bahasa yang terjadi dapat diserap oleh anak dan kemudian direproduksi oleh anak dalam bentuk yang hampir sama dalam hal bunyi walaupun sebenarnya si anak belum memahami konsep yang diberikan pada puisi tersebut. Proses yang terjadi itu biasa disebut proses imitasi. Karena input bahasa yang diberikan puisi pada anak-anak bersifat pasif, maka yang memegang peranan penting di sini adalah orang tua atau pihak lain yang mengawal perkembangan bahasa si anak. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa puisi secara umum disampaikan pada anak melalui sebuah proses interaksi seperti dibacakan atau dilagukan pada anak, maka peran si pemberi input menjadi sangat penting. Input yang diberikan pada si anak tidak akan berarti apabila si anak tidak menyerapnya dengan baik. Maka dalam proses pemberian input ada hal yang perlu diperhatikan oleh si pemberi input, yaitu adanya negative-feedback selama proses itu berlangsung. Sebagai contoh pada puisi berjudul Zes karya K.Schippers diatas, yang sebenarnya mencoba memberikan pengetahuan pada anak mengenai konsep urutan angka atau berhitung. Pada puisi tersebut Schippers mencoba ‘menyentil’ pemahaman anak mengenai konsep urutan angka. Namun apabila puisi tersebut diberikan pada anak pada usia pra-aksara (istilah yang saya gunakan untuk usia dimana seorang anak belum bisa membaca) maka pemahaman konsep ini akan melesap menjadi sebuah proses imitasi pada sang anak. Karena pada usia pra-aksara, anak-anak belum dapat memahami konsep urutan angka, seperti kenapa angka yang satu muncul terlebih dahulu dibanding angka yang lain. Jadi yang terjadi di sini adalah sebuah proses imitasi yang disebabkan oleh input yang berulang-ulang sehingga anak membentuk pemahamannya sendiri, dalam hal ini mengenai berhitung. Karena biasanya anak lebih dahulu dapat berhitung (satu sampai sepuluh) daripada membaca. Hal ini disebabkan oleh pengenalan konsep urutan angka atau berhitung (satu sampai sepuluh) biasanya disampaikan pada anak melalui proses yang berulang-ulang dan terkadang dengan cara dilagukan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh anak. Namun peran pemberi input lagi-lagi menjadi sangat penting di sini. Puisi Zes karya K.Schippers diatas, berisi konsep berhitung dari angka satu sampai tujuh, namun sang penulis menghilangkan angka enam dalam urutan angka yang terdapat pada puisi tersebut. Di sinilah peran pemberi input menjadi sangat penting. Dalam proses pemberian input dalam puisi tersebut, si pemberi inputdapat memancing pemahaman si anak mengenai konsep berhitung melalui proses interaksi yang disebut negative-feedback. Si pemberi input bisa memberikan pertanyaan-pertanyaan mengenai puisi tersebut, misalkan menanyakan tentang benarkah urutan angka yang terdapat dalam puisi tersebut. Yang kemudian dapat berujung pada pemahaman anak mengenai konsep urutan angka yang coba disampaikan oleh puisi tersebut.
Lebih lanjut Tarigan (1995: 13) berpendapat bahwa anak-anak hidup dalam masa perkembangan, baik fisik maupun mental. Orang tua dan guru wajib membimbing perkembangan anak-anak ke arah yang positif agar mereka kelak menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna dalam kehidupan. Salah satu sarana untuk mencapai tujuan tersebut adalah sastra yang sesuai dengan perkembangan anak-anak. Banyak manfaat dan nilai yang dapat diberikan sastra bagi perkembangan anak-anak termasuk di dalamnya perkembangan bahasa.
Puisi juga merupakan salah satu bentuk dari karya sastra. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa puisi memiliki peran yang tidak dapat dibilang kecil dalam perkembangan bahasa anak. Melalui bentuk dan juga unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, puisi dapat menjadi salah satu cara untuk mengoptimalkan perkembangan bahasa pada anak. Selain itu cara penyampaian puisi dengan dibacakan atau dilagukan yang dilakukan pada anak usia pra-aksara bisa menjadi nilai tambah puisi dibanding alat bantu lain dalam proses perkembangan bahasa anak. Adanya unsur interaksi dan dilakukan dengan cara yang menyenangkan (dilagukan) inilah yang menyebabkan puisi dapat menjadi alat bantu yang sangat berperan dalam proses perkembangan bahasa anak.
Puisi dan pembelajaran bahasa melalui konteks (contextual approach).
Lev Semenovich Vygotsky (1978: 118) mengemukakan bahwa pembelajaran bahasa (membaca dan menulis) tidak hanya melalui pengajaran formal di kelas, melainkan juga melalui situasi permainan. Lebih lanjut Vygotsky menyatakan keyakinannya bahwa keterampilan menulis dan berbicara akan berkembang apabila siswa dicelupkan dalam pemakaian bahasa ketika siswa berada dalam situasi bermain. Saya mencoba memakai pemikiran Vygotsky ini untuk menggali lebih lanjut peran puisi dalam pembelajaran bahasa. Saya mencoba memakai istilah “melalui situasi permainan” yang dikemukakan oleh Vygotsky dan menghubungkannya dengan puisi anak. Seperti telah dipaparkan sebelumnya pada pembahasaan mengapa puisi berperan dalam proses perkembangan bahasa anak, puisi anak memberikan suasana bermain dalam perannya menyampaikan suatu konsep pada sang anak. kita dapat melihat hal ini pada puisi berikut:
 If You Keep Picking Your Nose
If you keep picking your nose, my child,
The finger will come to the brain, my child,
There’s just a small plate,
A tea strainer or grate, that separates your brain from your nose, my child
Puisi tersebut merupakan salah satu dari kumpulan puisi yang ditulis oleh Dr.Nick Krasner, seorang dokter asal London, Inggris, untuk mengajarkan anak-anak tentang bahaya dari kebiasaan buruk yang sering mereka lakukan. Pada puisi di atas kita dapat melihat bahwa puisi menyampaikan suatu hal seperti kebiasaan anak mengupil yang memiliki korelasi terhadap kesehatan anak dengan cara yang menghibur. Puisi ini juga sesungguhnya telah mempraktekkan suatu metode interaksi dalam proses pembelajaran bahasa anak yaitu Child Directed Speechdan Fine-Tunning. Dimana pihak luar, dalam hal ini orang tua atau orang dewasa menyesuaikan bahasa dan input yang terkandung di dalamnya saat berinteraksi dengan anak atau paling tidak serupa dengan bahasa yang digunakan oleh si anak dengan tujuan agar si anak lebih memahaminya.  Lebih lanjut, pemikiran yang dilontarkan Vygotsky sebenarnya menyarankan bahwa pembelajaran kemampuan berbahasa akan menjadi lebih mudah dan menarik jika siswa atau dalam hal ini sang anak dibawa ke dalam dunia bermain yang tanpa disadari mendorongnya untuk menggunakan bahasa yang telah diserapnya secara alamiah. Ketika bermain dan berbahasa itulah telah terjadi proses belajar bahasa yang sebenarnya. Dikatakan demikian karena pada saat itu anak dihadapkan pada penggunaan bahasa yang utuh, berhubungan langsung dengan dunia anak, bersifat fungsional, anak berhadapan langsung dengan tujuan sebenarnya dari kegiatan bahasa, dan dengan penggunaan bahasa alami tersebut anak mengontrol penggunaan bahasanya.
Mungkin pertanyaan lebih lanjut adalah mengapa dunia bermain begitu berarti dalam proses belajar bahasa anak-anak? Menurut Edelsky (1986), jika di dalam peristiwa bahasa otentik (alami) terdapat peristiwa-peristiwa yang mempunyai makna pribadi, kesan bagi dirinya, dan makna yang signifikan bagi pemakai bahasa, maka akan terjadi transaksi antara pembaca dan teks yang dibacanya. Ketika transaksi itu terjadi, seorang pembaca akan terus-menerus melakukan pemecahan masalah , dan sekaligus ia membangun dan meningkatkan strategi psikolinguistik yang digunakannya dalam belajar bahasa. Melalui transaksi inilah teks yang dibaca itu berfungsi sebagai perantara bagi perkembangan bahasa pembelajar bahasa. Hal inilah yang memungkinkan puisi dipakai sebagai salah satu alat untuk mengaplikasikan proses belajar melalui konteks yang dikemukakan oleh Vygotsky diatas. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, sebuah puisi memiliki suatu konsep yang coba ditawarkan pada pembaca melalui konteks yang dibangunnya melalui bahasa yang terkandung didalamnya.
Puisi dan peran ruang luar pada perkembangan bahasa anak.
Dunia anak-anak sangat berbeda dengan dunia orang dewasa. Anak-anak tumbuh dalam dunianya sendiri yang sesuai dengan karakteristik mereka. Oleh karena itu, perlakuan padanya tidak sama dengan kepada orang dewasa. Alwi berpendapat bahwa anak-anak adalah manusia yang masih kecil (2002: 41). Itu berarti bahwa anak-anak memiliki semua sifat manusia hanya saja secara fisik dan emosional mereka belum seutuhnya seperti manusia dewasa. Kondisi ini memudahkan orang dewasa untuk menanamkan nilai-nilai pada si anak. Perilaku dan sikap seseorang di masa datang sangat ditentukan oleh penanaman nilai di masa kanak-kanak. Tidak mengherankan jika anak-anak cenderung meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya dan juga mengambil contoh dari lingkungan sekitarnya. Hal itulah kemudian yang dapat dimanfaatkan oleh kita , orang dewasa, dalam mengawal perkembangan bahasa anak. salah satu caranya adalah melalui puisi. Kita dapat menanamkan nilai-nilai pada anak melalui puisi yang akan disampaikan kepada anak-anak.
Tidak hanya nilai-nilai yang bisa kita tanamkan pada anak melalui puisi. Kita juga dapat memasuki hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sekitar atau istilah yang saya pakai adalah “ruang luar” untuk membantu perkembangan bahasa anak. Perkembangan bahasa pada anak dibentuk oleh dua kekuatan. Pertama, kekuatan dalam diri anak yang mendorongnya untuk mengekspresikan hal-hal yang didapatnya dari lingkungan sekitar. Lalu kekuatan yang kedua, adalah kebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Kekuatan pertama yang disebutkan di atas memiliki korelasi dengan peran ruang luar dalam perkembangan bahasa anak. Pembentukan kemampuan berbahasa dapat berlangsung akibat adanya “transaksi bahasa dua arah” antara anak dengan anggota masyarakat lain di lingkungan sekitarnya. Puisi mencoba memasukkan informasi mengenai ruang luar pada anak melalui bentuk yang mudah dicerna. Hal itu dapat kita lihat dalam puisi berikut ini:
Zomer
Het land is warm
De weg is wit
Het duin is leeg
De zee is til
De zon is grijs
De dag is heel
            Pada puisi anak berjudul Zomer, karya Gerrit Krol di atas, dapat dilihat bahwa puisi tersebut berusaha memberikan informasi mengenai keadaan pada saatZomer (musim panas) yang tergambar melalui kalimat-kalimat dalam puisi tersebut. Ruang luar tidak hanya berperan sebagai input bagi anak yang memberikan informasi mengenai keadaan lingkungan sekitar. Ruang luar juga dapat membuat anak memproduksi bahasa yang mencerminkan pengalaman si anak mengenai suatu keadaan. Seperti pada puisi berikut yang merupakan hasil karya anak Ahmad Fathony, murid kelas 3 SD Islam terpadu Asy-Syaamil Bontang KALTIM:
Hujan
Hujan deras tiba
Membasahi semua rumah
Rumah mulai kebanjiran
 Semua orang mengangkat barang-barangnya
Kini semua orang bersedih hati
Karena tidak dapat makan dan minum
Baru sadar, kalau buang sampah sembarangan
Membuat selokan tersumbat lalu banjir
Puisi di atas yang bertemakan lingkungan dapat dijadikan contoh bagaimana ruang luar berpengaruh pada anak. Pada puisi itu terlihat bagaimana pengalaman seorang anak dengan banjir dapat membuatnya memproduksi bahasa walau dalam bentuk sederhana sekalipun. Semua pengalaman yang diterima seorang anak sesungguhnya mengendap pada diri si anak dan pada akhirnya menunggu untuk dicerna untuk kemudian dikeluarkan dalam proses kreatif berbahasa. Di sinilah salah satu kelebihan puisi sebagai alat yang membantu proses perkembangan dan pembelajaran bahasa pada anak, yaitu selain sebagai inputyang berguna bagi pertambahan kosakata si anak, puisi juga dapat menstimulasi anak untuk memproduksi bahasa dalam proses kreatifnya menggunakan kosakata-kosakata yang dimilikinya.
Kesimpulannya adalah bahwa puisi dapat menjadi salah satu alat untuk mengawal proses pembelajaran dan perkembangan bahasa pada anak. Salah satu keunggulan puisi adalah mengutamakan interaksi antara pembaca dan pendengar (pada anak usia pra-aksara). Karena tanpa adanya interaksi tersebut, si anak tidak akan menangkap esensi yang coba disampaikan oleh puisi tersebut. Sehingga peran orang tua atau orang dewasa menjadi sangat penting disini. Karena unsur-unsur pengetahuan dan input yang coba disampaikan pada  anak tersampaikan dengan cara yang menyenangkan dan juga berulang-ulang (pada puisi yang dilagukan). Puisi juga menstimulus anak untuk melakukan proses kreatif bahasa dengan cara mereproduksi input-input yang diterimanya sesuai dengan cara dan bentuknya masing-masing. Sehingga selain membantu perkembangan bahasa dan kognitif anak, puisi juga berperan dalam perkembangan fungsi-fungsi organ bahasa anak dan juga perkembangan psikologis si anak, dimana dalam proses interaksi anak dengan puisi tersebut, si anak didorong untuk memberikan respon terhadap apa yang disajikan padanya.
   
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Berns, R.G. & Erickson, P.M. 2001. Contextual Teaching and Learning: CTL Constructs. Ohio: Bowling Green State University, (Online), (http://bgsu/organization/ctl/constructs-data.html, diakses 10 desember 2008.
Huck, Charlotte S, Susan Hepler, and Janet Hickman. 1987. Children literature in the elementary school. Newyork: Mcgraw-Hill Publishing Company.
Norton, Donna. 1987. Through the eyes of a child. Ohio: Merril Publishing.
Tarigan, Henri Guntur. 1995. Dasar-dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in society. Cambridge, Massachussets: Harvard University Press.


gielz_sweet@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar