Aplikasi Metode
Pembelajaran Kontekstual dan Peran Ruang Luar
Oleh : Jiyi Doddy Muliawan
Membicarakan anak-anak merupakan hal yang sangat menyenangkan. Terutama
membicarakan perkembangan anak mulai dari awal ia lahir hingga masa menjelang
dewasa. Di antara masa-masa itu terdapat berbagai gejala ataupun fenomena yang
bisa kita pelajari di dalamnya melalui berbagai sudut pandang keilmuan. Oleh
sebab itu banyak penelitian baik ilmiah maupun populer yang menjadikan
anak-anak sebagai subjek perbincangan. Begitu pula halnya saat ini, saya mencoba
mengangkat sebuah tema yang berhubungan dengan anak-anak. Saya akan mencoba
mengemukakan pendapat saya tentang peran puisi dalam perkembangan bahasa anak.
Di mana saya mencoba menghubungkan puisi sebagai salah satu alat yang membantu
dalam perkembangan bahasa anak dengan metode pembelajaran kontekstual dan peran
ruang luar dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa pada anak.
Sebelum mengurai lebih lanjut tentang topik yang saya coba angkat di atas,
saya akan menjelaskan beberapa hal terlebih dahulu. Pertama-tama saya akan
memberi pembatasan dalam hal pengkategorian anak-anak yang saya jadikan subjek
perbincangan dalam tulisan ini. Saya memberikan batasan umur antara 0 – 8 tahun
pada anak-anak yang saya maksud dalam tulisan ini. Lalu ada baiknya juga kita
samakan persepsi dahulu mengenai puisi yang saya anggap berperan dalam
perkembangan bahasa pada anak. Puisi yang saya maksud di sini sudah tentu
bukanlah seperti puisi-puisi pada umumnya (puisi dewasa), namun masuk pada
jenis puisi anak. Mengapa terdapat perbedaan antara puisi anak dan puisi
dewasa? Sudah barang tentu hal ini terjadi karena audiens (pembaca) yang dituju
juga berbeda. Namun untuk lebih pastinya kita dapat melihat pendapat Huck,
Hepler dan Hickman (1987: 329) yang mengatakan bahwa puisi anak berbeda dengan
puisi dewasa. Dalam puisi anak ditemukan pembatasan-pembatasan yang ditujukan
agar puisi tersebut dapat dipahami dengan mudah diterima oleh anak-anak. Pada
umumnya, puisi anak mempunyai bentuk yang tidak panjang dalam hal isi. Seperti
dapat kita lihat pada puisi berikut :
ZES
Één, twee, drie, vier, vijf, zeven
(K. Schippers)
Puisi anak berbahasa belanda berjudul ZES karya K.
Schippers di atas hanya terdiri dari satu baris saja. Namun bentuk yang pendek
bukan merupakan satu-satunya unsur pembeda antara puisi anak dan puisi dewasa.
Ada unsur-unsur lain yang membuat puisi anak berbeda dengan puisi dewasa.
Menurut Norton (1987: 329-340), ada empat unsur yang membedakan puisi anak
dengan puisi dewasa, yaitu irama, rima dan pola bunyi, pengulangan dan citraan.
Keempat unsur tadi bukannya tidak terdapat dalam puisi dewasa. Namun
unsur-unsur yang dikemukakan oleh Norton mempunyai ciri khasnya tersendiri.
Seperti pada unsur citraan yang juga terdapat pada puisi dewasa. Citraan pada
puisi anak sangat berbeda dengan citraan yang terdapat pada puisi dewasa.
Citraan yang terdapat dalam puisi anak mempunyai bentuk yang sederhana dan
sangat dekat dengan dunia anak-anak itu tersendiri. Hal ini ditujukan untuk
mempermudah anak-anak untuk memahami puisi tersebut. Walaupun sebenarnya
pemahaman yang disebutkan di sini mungkin sangat berbeda dengan konsep
pemahaman yang kita ketahui bersama. Hal ini disebabkan karena pengetahuan
anak-anak masih sangat terbatas dan tergantung pada input yang
diterimanya. Namun hal itu bukan merupakan sesuatu yang mutlak. Karena yang
berperan penting di sini adalah inputyang diterima oleh sang anak,
maka citraan-citraan yang ditawarkan kepada sang anak tidak selalu harus
terbatas pada hal-hal yang dekat dengan mereka. Justru melalui citraan-citraan
baru yang bukan merupakan sesuatu yang dekat dengan dunianya, anak justru
mendapatkan sesuatu pengetahuan baru dan pada saat itulah proses pembelajaran
bahasa pada anak terjadi. Anak belajar mengenai suatu konsep dan pemahaman akan
suatu hal baru yang ada di sekitarnya melalui kata-kata baru yang diterimanya
melalui puisi-puisi tersebut.
Mengapa puisi berperan dalam proses perkembangan bahasa anak?
Saya mencoba mengangkat puisi anak sebagai salah satu alat yang dapat
membantu perkembangan bahasa anak sesuai dengan topik yang diberikan kepada
saya karena saya beranggapan bahwa puisi memberikan input pada
anak yang tidak hanya berkaitan dengan perkembangan bahasa namun juga
pengetahuan (kennis van de wereld) dengan cara yang bisa dibilang
menyenangkan, baik dengan cara dibacakan oleh orang tua – dalam bentuk sajak
ataupun lagu – maupun dibaca sendiri oleh sang anak. Seperti yang dikemukakan
oleh Jean le Perre yang dikutip oleh Donna Norton dalam bukunya yang berjudul, Through
the eyes of a child (1987: 329), puisi memberikan pengetahuan pada
anak mengenai konsep-konsep di dunia tempat mereka tinggal dan yang ada
disekitar mereka (ukuran, angka, warna dan waktu). Hal ini dapat dilihat pada
pada puisi berikut:
De klok en de kalender ( Han G. Hoekstra)
Zestig seconden op een rij
En er is een minuut voorbij.
Zestig minuten tik-tik-tok
En een uur later wijst de klok.
Een dag heeft 24 uren,
Een week moet 7 dagen duren,
Een jaar telt 52 weken,
12 maanden zijn dan ook verstreken.
30 dagen hebben: september,
April, juni en november,
De andere hebben er 30 en één,
Februari staat heel alleen,
28 dag heeft die er maar,
En 29 in een schrikkeljaar.
Pada puisi anak berjudul De klok en de kalender karya Han
G. Hoekstra di atas dapat kita lihat bahwa penulis memberikan input berupa
pengetahuan mengenai konsep waktu dalam puisinya tersebut. Seorang anak dapat
mengetahui bahwa satu menit terdiri dari 60 detik, satu jam terdiri dari 60
menit, hingga jumlah hari yang terdapat dalam setiap bulannya. Walaupun hal
yang diurai di atas terkesan hanya menjelaskan bahwa puisi membantu dalam hal
perkembangan anak dalam hal-hal kognitif, namun sebenarnya ini juga terkait
pada hal perkembangan bahasa juga.
Pada anak yang belum bisa membaca, puisi disampaikan dengan cara dibacakan
ataupun dilagukan secara berulang-ulang. Input bahasa yang
terjadi dapat diserap oleh anak dan kemudian direproduksi oleh anak dalam
bentuk yang hampir sama dalam hal bunyi walaupun sebenarnya si anak belum
memahami konsep yang diberikan pada puisi tersebut. Proses yang terjadi itu
biasa disebut proses imitasi. Karena input bahasa yang
diberikan puisi pada anak-anak bersifat pasif, maka yang memegang peranan
penting di sini adalah orang tua atau pihak lain yang mengawal perkembangan
bahasa si anak. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa puisi secara umum
disampaikan pada anak melalui sebuah proses interaksi seperti dibacakan atau
dilagukan pada anak, maka peran si pemberi input menjadi
sangat penting. Input yang diberikan pada si anak tidak akan
berarti apabila si anak tidak menyerapnya dengan baik. Maka dalam proses
pemberian input ada hal yang perlu diperhatikan oleh si
pemberi input, yaitu adanya negative-feedback selama
proses itu berlangsung. Sebagai contoh pada puisi berjudul Zes karya
K.Schippers diatas, yang sebenarnya mencoba memberikan pengetahuan pada anak
mengenai konsep urutan angka atau berhitung. Pada puisi tersebut Schippers mencoba
‘menyentil’ pemahaman anak mengenai konsep urutan angka. Namun apabila puisi
tersebut diberikan pada anak pada usia pra-aksara (istilah yang saya gunakan
untuk usia dimana seorang anak belum bisa membaca) maka pemahaman konsep ini
akan melesap menjadi sebuah proses imitasi pada sang anak. Karena pada usia
pra-aksara, anak-anak belum dapat memahami konsep urutan angka, seperti kenapa
angka yang satu muncul terlebih dahulu dibanding angka yang lain. Jadi yang
terjadi di sini adalah sebuah proses imitasi yang disebabkan oleh input yang
berulang-ulang sehingga anak membentuk pemahamannya sendiri, dalam hal ini
mengenai berhitung. Karena biasanya anak lebih dahulu dapat berhitung (satu
sampai sepuluh) daripada membaca. Hal ini disebabkan oleh pengenalan konsep
urutan angka atau berhitung (satu sampai sepuluh) biasanya disampaikan pada
anak melalui proses yang berulang-ulang dan terkadang dengan cara dilagukan
sehingga dapat dengan mudah diterima oleh anak. Namun peran pemberi input lagi-lagi
menjadi sangat penting di sini. Puisi Zes karya K.Schippers
diatas, berisi konsep berhitung dari angka satu sampai tujuh, namun sang
penulis menghilangkan angka enam dalam urutan angka yang terdapat pada puisi
tersebut. Di sinilah peran pemberi input menjadi sangat
penting. Dalam proses pemberian input dalam puisi tersebut, si
pemberi inputdapat memancing pemahaman si anak mengenai konsep
berhitung melalui proses interaksi yang disebut negative-feedback.
Si pemberi input bisa memberikan pertanyaan-pertanyaan
mengenai puisi tersebut, misalkan menanyakan tentang benarkah urutan angka yang
terdapat dalam puisi tersebut. Yang kemudian dapat berujung pada pemahaman anak
mengenai konsep urutan angka yang coba disampaikan oleh puisi tersebut.
Lebih lanjut Tarigan (1995: 13) berpendapat bahwa anak-anak hidup dalam
masa perkembangan, baik fisik maupun mental. Orang tua dan guru wajib
membimbing perkembangan anak-anak ke arah yang positif agar mereka kelak
menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna dalam kehidupan. Salah satu sarana
untuk mencapai tujuan tersebut adalah sastra yang sesuai dengan perkembangan
anak-anak. Banyak manfaat dan nilai yang dapat diberikan sastra bagi
perkembangan anak-anak termasuk di dalamnya perkembangan bahasa.
Puisi juga merupakan salah satu bentuk dari karya sastra. Oleh karena itu
saya berpendapat bahwa puisi memiliki peran yang tidak dapat dibilang kecil
dalam perkembangan bahasa anak. Melalui bentuk dan juga unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya, puisi dapat menjadi salah satu cara untuk mengoptimalkan
perkembangan bahasa pada anak. Selain itu cara penyampaian puisi dengan
dibacakan atau dilagukan yang dilakukan pada anak usia pra-aksara bisa menjadi
nilai tambah puisi dibanding alat bantu lain dalam proses perkembangan bahasa
anak. Adanya unsur interaksi dan dilakukan dengan cara yang menyenangkan
(dilagukan) inilah yang menyebabkan puisi dapat menjadi alat bantu yang sangat
berperan dalam proses perkembangan bahasa anak.
Puisi dan pembelajaran bahasa melalui konteks (contextual approach).
Lev Semenovich Vygotsky (1978: 118) mengemukakan bahwa pembelajaran bahasa
(membaca dan menulis) tidak hanya melalui pengajaran formal di kelas, melainkan
juga melalui situasi permainan. Lebih lanjut Vygotsky menyatakan keyakinannya
bahwa keterampilan menulis dan berbicara akan berkembang apabila siswa
dicelupkan dalam pemakaian bahasa ketika siswa berada dalam situasi bermain.
Saya mencoba memakai pemikiran Vygotsky ini untuk menggali lebih lanjut peran
puisi dalam pembelajaran bahasa. Saya mencoba memakai istilah “melalui situasi
permainan” yang dikemukakan oleh Vygotsky dan menghubungkannya dengan puisi
anak. Seperti telah dipaparkan sebelumnya pada pembahasaan mengapa puisi
berperan dalam proses perkembangan bahasa anak, puisi anak memberikan suasana bermain
dalam perannya menyampaikan suatu konsep pada sang anak. kita dapat melihat hal
ini pada puisi berikut:
If You Keep Picking Your Nose
If you keep picking your nose, my child,
The finger will come to the brain, my child,
There’s just a small plate,
A tea strainer or grate, that separates your brain from your nose, my child
The finger will come to the brain, my child,
There’s just a small plate,
A tea strainer or grate, that separates your brain from your nose, my child
Puisi tersebut merupakan salah satu dari kumpulan puisi yang ditulis oleh
Dr.Nick Krasner, seorang dokter asal London, Inggris, untuk mengajarkan
anak-anak tentang bahaya dari kebiasaan buruk yang sering mereka lakukan. Pada
puisi di atas kita dapat melihat bahwa puisi menyampaikan suatu hal seperti
kebiasaan anak mengupil yang memiliki korelasi terhadap kesehatan anak dengan
cara yang menghibur. Puisi ini juga sesungguhnya telah mempraktekkan suatu
metode interaksi dalam proses pembelajaran bahasa anak yaitu Child
Directed Speechdan Fine-Tunning. Dimana pihak luar, dalam hal
ini orang tua atau orang dewasa menyesuaikan bahasa dan input yang terkandung
di dalamnya saat berinteraksi dengan anak atau paling tidak serupa dengan
bahasa yang digunakan oleh si anak dengan tujuan agar si anak lebih
memahaminya. Lebih lanjut, pemikiran yang dilontarkan
Vygotsky sebenarnya menyarankan bahwa pembelajaran kemampuan berbahasa akan
menjadi lebih mudah dan menarik jika siswa atau dalam hal ini sang anak dibawa
ke dalam dunia bermain yang tanpa disadari mendorongnya untuk menggunakan
bahasa yang telah diserapnya secara alamiah. Ketika bermain dan berbahasa
itulah telah terjadi proses belajar bahasa yang sebenarnya. Dikatakan demikian
karena pada saat itu anak dihadapkan pada penggunaan bahasa yang utuh,
berhubungan langsung dengan dunia anak, bersifat fungsional, anak berhadapan
langsung dengan tujuan sebenarnya dari kegiatan bahasa, dan dengan penggunaan
bahasa alami tersebut anak mengontrol penggunaan bahasanya.
Mungkin pertanyaan lebih lanjut adalah mengapa dunia bermain begitu berarti
dalam proses belajar bahasa anak-anak? Menurut Edelsky (1986), jika di dalam
peristiwa bahasa otentik (alami) terdapat peristiwa-peristiwa yang mempunyai
makna pribadi, kesan bagi dirinya, dan makna yang signifikan bagi pemakai
bahasa, maka akan terjadi transaksi antara pembaca dan teks yang dibacanya.
Ketika transaksi itu terjadi, seorang pembaca akan terus-menerus melakukan
pemecahan masalah , dan sekaligus ia membangun dan meningkatkan strategi
psikolinguistik yang digunakannya dalam belajar bahasa. Melalui transaksi
inilah teks yang dibaca itu berfungsi sebagai perantara bagi perkembangan
bahasa pembelajar bahasa. Hal inilah yang memungkinkan puisi dipakai sebagai
salah satu alat untuk mengaplikasikan proses belajar melalui konteks yang
dikemukakan oleh Vygotsky diatas. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,
sebuah puisi memiliki suatu konsep yang coba ditawarkan pada pembaca melalui
konteks yang dibangunnya melalui bahasa yang terkandung didalamnya.
Puisi dan peran ruang luar pada perkembangan bahasa anak.
Dunia anak-anak sangat berbeda dengan dunia orang dewasa. Anak-anak tumbuh
dalam dunianya sendiri yang sesuai dengan karakteristik mereka. Oleh karena
itu, perlakuan padanya tidak sama dengan kepada orang dewasa. Alwi berpendapat
bahwa anak-anak adalah manusia yang masih kecil (2002: 41). Itu berarti bahwa
anak-anak memiliki semua sifat manusia hanya saja secara fisik dan emosional
mereka belum seutuhnya seperti manusia dewasa. Kondisi ini memudahkan orang
dewasa untuk menanamkan nilai-nilai pada si anak. Perilaku dan sikap seseorang
di masa datang sangat ditentukan oleh penanaman nilai di masa kanak-kanak. Tidak
mengherankan jika anak-anak cenderung meniru perilaku orang dewasa di
sekitarnya dan juga mengambil contoh dari lingkungan sekitarnya. Hal itulah
kemudian yang dapat dimanfaatkan oleh kita , orang dewasa, dalam mengawal
perkembangan bahasa anak. salah satu caranya adalah melalui puisi. Kita dapat
menanamkan nilai-nilai pada anak melalui puisi yang akan disampaikan kepada
anak-anak.
Tidak hanya nilai-nilai yang bisa kita tanamkan pada anak melalui puisi.
Kita juga dapat memasuki hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sekitar atau
istilah yang saya pakai adalah “ruang luar” untuk membantu perkembangan bahasa
anak. Perkembangan bahasa pada anak dibentuk oleh dua kekuatan. Pertama,
kekuatan dalam diri anak yang mendorongnya untuk mengekspresikan hal-hal yang
didapatnya dari lingkungan sekitar. Lalu kekuatan yang kedua, adalah kebutuhan
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Kekuatan pertama yang disebutkan di atas
memiliki korelasi dengan peran ruang luar dalam perkembangan bahasa anak.
Pembentukan kemampuan berbahasa dapat berlangsung akibat adanya “transaksi
bahasa dua arah” antara anak dengan anggota masyarakat lain di lingkungan
sekitarnya. Puisi mencoba memasukkan informasi mengenai ruang luar pada anak
melalui bentuk yang mudah dicerna. Hal itu dapat kita lihat dalam puisi berikut
ini:
Zomer
Het land is warm
De weg is wit
Het duin is leeg
De zee is til
De zon is grijs
De dag is heel
Pada
puisi anak berjudul Zomer, karya Gerrit Krol di atas, dapat dilihat
bahwa puisi tersebut berusaha memberikan informasi mengenai keadaan pada saatZomer (musim
panas) yang tergambar melalui kalimat-kalimat dalam puisi tersebut. Ruang luar
tidak hanya berperan sebagai input bagi anak yang memberikan
informasi mengenai keadaan lingkungan sekitar. Ruang luar juga dapat membuat
anak memproduksi bahasa yang mencerminkan pengalaman si anak mengenai suatu
keadaan. Seperti pada puisi berikut yang merupakan hasil karya anak Ahmad
Fathony, murid kelas 3 SD Islam terpadu Asy-Syaamil Bontang KALTIM:
Hujan
Hujan deras tiba
Membasahi semua rumah
Rumah mulai kebanjiran
Semua orang mengangkat barang-barangnya
Kini semua orang bersedih hati
Karena tidak dapat makan dan minum
Baru sadar, kalau buang sampah sembarangan
Membuat selokan tersumbat lalu banjir
Puisi di atas yang bertemakan lingkungan dapat dijadikan contoh bagaimana
ruang luar berpengaruh pada anak. Pada puisi itu terlihat bagaimana pengalaman
seorang anak dengan banjir dapat membuatnya memproduksi bahasa walau dalam
bentuk sederhana sekalipun. Semua pengalaman yang diterima seorang anak
sesungguhnya mengendap pada diri si anak dan pada akhirnya menunggu untuk
dicerna untuk kemudian dikeluarkan dalam proses kreatif berbahasa. Di sinilah
salah satu kelebihan puisi sebagai alat yang membantu proses perkembangan dan
pembelajaran bahasa pada anak, yaitu selain sebagai inputyang
berguna bagi pertambahan kosakata si anak, puisi juga dapat menstimulasi anak
untuk memproduksi bahasa dalam proses kreatifnya menggunakan kosakata-kosakata
yang dimilikinya.
Kesimpulannya adalah bahwa puisi dapat menjadi salah satu alat untuk
mengawal proses pembelajaran dan perkembangan bahasa pada anak. Salah satu
keunggulan puisi adalah mengutamakan interaksi antara pembaca dan pendengar
(pada anak usia pra-aksara). Karena tanpa adanya interaksi tersebut, si anak
tidak akan menangkap esensi yang coba disampaikan oleh puisi tersebut. Sehingga
peran orang tua atau orang dewasa menjadi sangat penting disini. Karena
unsur-unsur pengetahuan dan input yang coba disampaikan
pada anak tersampaikan dengan cara yang menyenangkan dan juga
berulang-ulang (pada puisi yang dilagukan). Puisi juga menstimulus anak untuk
melakukan proses kreatif bahasa dengan cara mereproduksi input-input yang
diterimanya sesuai dengan cara dan bentuknya masing-masing. Sehingga selain
membantu perkembangan bahasa dan kognitif anak, puisi juga berperan dalam
perkembangan fungsi-fungsi organ bahasa anak dan juga perkembangan psikologis
si anak, dimana dalam proses interaksi anak dengan puisi tersebut, si anak didorong
untuk memberikan respon terhadap apa yang disajikan padanya.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Berns, R.G. & Erickson, P.M. 2001. Contextual Teaching and
Learning: CTL Constructs. Ohio: Bowling Green State University, (Online), (http://bgsu/organization/ctl/constructs-data.html,
diakses 10 desember 2008.
Huck, Charlotte S, Susan Hepler, and Janet Hickman. 1987. Children
literature in the elementary school. Newyork: Mcgraw-Hill Publishing
Company.
Norton, Donna. 1987. Through the eyes of a child. Ohio: Merril
Publishing.
Tarigan, Henri Guntur. 1995. Dasar-dasar Psikosastra. Bandung:
Angkasa.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in society. Cambridge, Massachussets:
Harvard University Press.
gielz_sweet@yahoo.com