wilijeng sumping di gielzsweetgandana.blogspot.com

Kamis, 24 Januari 2013

download lagu The Xintieziz.mp3

gielz_sweet@yahoo.com http://www.4shared.com/mp3/EuFifXpG/The_xintieziz_Akhir_Kisah_Ini.html
http://www.4shared.com/mp3/GJbaITDN/The_xintieziz_Indonesiaku.html
http://www.4shared.com/mp3/Nzxt0GYB/The_xintieziz_Kesetiaan_Cinta.html
http://www.4shared.com/mp3/rR8OF5NM/The_xintieziz_Ungkapkan_Hati.html
http://www.4shared.com/mp3/c8rLJcN3/The_xintieziz_Yang_Telah_Pergi.html

Senin, 10 Desember 2012

Dasar-dasar Teater


editor : Gilar Gandana

 

 


WAHANA SATRASIA

Senin, 12 Januari 2009

 

Dasar Kajian Drama & Pementasan

----------------------------------------------------

-------------------

------------------------

 http://wahanasatrasia.blogspot.com/2009/01/1.html





Dasar-dasar Teater

(1/6): Definisi & Sejarah Teater
1.1 Definisi Teater
Teater berasal dari kata Yunani, “theatereatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya. Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain tokohg-tokohgan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis.
Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”, (Harymawan, 1993).
Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon dan “teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah satu unsur dari “teater”.
Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindaktanduk pemain di atas pentas disebut acting. Istilah acting diambil dari kata Yunani “dran” yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor dan pemain wanita disebut actress (Harymawan, 1993).
Meskipun istilah teater sekarang lebih umum digunakan tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan digunakannya naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam pertujukan teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda: Het Toneel). Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi” berarti “rahasia”, dan “wara” atau “warah” yang berarti, “pengajaran”. Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara” berarti “pengajaran yang dilakukan dengan perlambang” (Harymawan, 1993).
Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006).
Keterikatan antara teater dan drama sangat kuat. Teater tidak mungkin dipentaskan tanpa lakon (drama). Oleh karena itu pula dramaturgi menjadi bagian penting dari seni teater. Dramaturgi berasal dari bahasa Inggris dramaturgy yang berarti seni atau tekhnik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk teater. Berdasar pengertian ini, maka dramaturgi membahas proses penciptaan teater mulai dari penulisan naskah hingga pementasannya. Harymawan (1993) menyebutkan tahapan dasar untuk mempelajari dramaturgi yang disebut dengan formula dramaturgi. Formula ini disebut dengan fromula 4 M yang terdiri dari, menghayalkan, menuliskan, memainkan, dan menyaksikan.
M1 atau menghayal, dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang karena menemukan sesuatu gagasan yang merangsang daya cipta. Gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan pada suatu persitiwa baik yang disaksikan, didengar maupun dibaca dari literatur tertentu. Bisa juga gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan pada kehidupan seseorang. Gagasan atau daya cipta tersebut kemudian diwujudkan ke dalam besaran cerita yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah lakon untuk dipentaskan.
M2 atau menulis, adalah proses seleksi atau pemilihan situasi yang harus dihidupkan begi keseluruhan lakon oleh pengarang. Dalam sebuah lakon, situasi merupakan kunci aksi. Setelah menemukan kunci aksi ini, pengarang mulai mengatur dan menyusun kembali situasi dan peristiwa menjadi pola lakon tertentu. Di sini seorang pengarang memiliki kisah untuk diceritakan, kesan untuk digambarkan, suasana hati para tokoh untuk diciptakan, dan semua unsur pembentuk lakon untuk dikomunikasikan.
M3 atau memainkan, merupakan proses para aktor memainkan kisah lakon di atas pentas. Tugas aktor dalam hal ini adalah mengkomunikasikan ide serta gagasan pengarang secara hidup kepada penonton. Proses ini melibatkan banyak orang yaitu, sutradara sebagai penafsir pertama ide dan gagasan pengarang, aktor sebagai komunitakor, penata artsitik sebagai orang yang mewujudkan ide dan gagasan secara visual serta penonton sebagai komunikan.
M4 atau menyaksikan, merupakan proses penerimaan dan penyerapan informasi atau pesan yang disajikan oleh para pemain di atas pentas oleh para penonton. Pementasan teater dapat dikatakan berhasil jika pesan yang hendak disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penonton. Penonton pergi menyaksikan pertunjukan dengan maksud pertama untuk memperoleh kepuasan atas kebutuhan dan keinginannya terhadap tontonan tersebut.
Formula dramaturgi seperti disebutkan di atas merupakan tahap mendasar yang harus dipahami dan dilakukan oleh para pelaku teater. Jika salah satu tahap dan unsur yang ada dalam setiap tahapan diabaikan, maka pertunjukan yang digelar bisa dipastikan kurang sempurna. Oleh karena itu, pemahaman dasar formula dramaturgi dapat dijadikan acuan proses penciptaan karya seni teater.
1.2 Sejarah Singkat Teater
1.2.1 Teater Barat
1.2.1.1 Asal Mula Teater
Waktu dan tempat pertunjukan teater yang pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun yang dapat diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori tentang asal mula teater adalah sebagai berikut.
  • Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.
  • Berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
  • Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, tokohg, dan lain sebagainya).
  • Rendra dalam Seni Drama Untuk Remaja (1993), menyebutkan bahwa naskah teater tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulis seorang pendeta Mesir, I Kher-nefert, di zaman peradaban Mesir Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi. Pada zaman itu peradaban Mesir Kuno sudah maju. Mereka sudah bisa membuat piramida, sudah mengerti irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah mengenal ilmu bedah, dan juga sudah mengenal tulis menulis.
 1.2.1.2 Teater Yunani Klasik
Tempat pertunjukan teater Yunani pertama yang permanen dibangun sekitar 2300 tahun yang lalu. Teater ini dibangun tanpa atap dalam bentuk setengah lingkaran dengan tempat duduk penonton melengkung dan berundak-undak yang disebut amphitheater (Jakob Soemardjo, 1984). Ribuan orang mengunjungi amphitheater untuk menonton teater-teater, dan hadiah diberikan bagi teater terbaik. Naskah lakon teater Yunani merupakan naskah lakon teater pertama yang menciptakan dialog diantara para karakternya. Ciri-ciri khusus pertunjukan teater pada masa Yunani Kuno adalah:
  • Pertunjukan dilakukan di amphitheater.
  • Sudah menggunakan naskah lakon.
  • Seluruh pemainnya pria bahkan tokoh wanitanya dimainkan pria dan memakai topeng karena setiap pemain memerankan lebih dari satu tokoh.
  • Cerita yang dimainkan adalah tragedi yang membuat penonton tegang, takut, dan kasihan serta cerita komedi yang lucu, kasar dan sering mengeritik tokoh terkenal pada waktu itu.
  • Selain pemeran utama juga ada pemain khusus untuk kelompok koor (penyanyi), penari, dan narator (pemain yang menceritakan jalannya pertunjukan).


1.2.1.3 Teater Romawi Klasik
Setelah tahun 200 Sebelum Masehi kegiatan kesenian beralih dari Yunani ke Roma, begitu juga Teater. Namun mutu teater Romawi tak lebih baik daripada teater Yunani. Teater Romawi menjadi penting karena pengaruhnya kelak pada Zaman Renaissance. Teater pertama kali dipertunjukkan di kota Roma pada tahun 240 SM (Brockett, 1964).
Pertunjukan ini dikenalkan oleh Livius Andronicus, seniman Yunani. Teater Romawi merupakan hasil adaptasi bentuk teater Yunani. Hampir di setiap unsur panggungnya terdapat unsur pemanggungan teater Yunani. Namun demikian teater Romawi pun memiliki kebaruan-kebaruan dalam penggarapan dan penikmatan yang asli dimiliki oleh masyarakat Romawi dengan ciri-ciri sebagi berikut.
  • Koor tidak lagi berfungsi mengisi setiap adegan.
  • Musik menjadi pelengkap seluruh adegan. Tidak hanya menjadi tema cerita tetapi juga menjadi ilustrasi cerita.
  • Tema berkisar pada masalah hidup kesenjangan golongan menengah.
  • Karakteristik tokoh tergantung kelas yaitu orang tua yang bermasalah dengan anak-anaknya atau kekayaan, anak muda yang melawan kekuasaan orang tua dan lain sebagainya.
 1.2.1.4 Teater Abad Pertengahan
Dalam tahun 1400-an dan 1500-an, banyak kota di Eropa mementaskan drama untuk merayakan hari-hari besar umat Kristen. Drama-drama dibuat berdasarkan cerita-cerita Alkitab dan dipertunjukkan di atas kereta, yang disebut pageant, dan ditarik keliling kota. Bahkan kini pertunjukan jalan dan prosesi penuh warna diselenggarakan di seluruh dunia untuk merayakan berbagai hari besar keagamaan. Para pemain drama pageant menggunakan tempat di bawah kereta untuk menyembunyikan peralatan. Peralatan ini digunakan untuk efek tipuan, seperti menurunkan seorang aktor dari atas ke panggung. Para pemain pegeant memainkan satu adegan dari kisah dalam Alkitab, lalu berjalan lagi. Pageant lain dari aktor-aktor lain untuk adegan berikutnya, menggantikannya. Aktor-aktor pageant seringkali adalah para perajin setempat yang memainkan adegan yag menunjukan keahlian mereka. Orang berkerumun untuk menyaksikan drama pageant religius di Eropa. drama ini populer karena pemainnya berbicara dalam bahasa sehari-hari, bukan bahasa Latin yang merupakan bahasa resmi gereja-gereja Kristen (Wisnuwardhono, 2002).
Ciri-ciri teater abad Pertengahan adalah sebagai berikut:
  • Drama dimainkan oleh aktor-aktor yang belajar di universitas sehingga dikaitkan dengan masalah filsafat dan agama.
  • Aktor bermain di panggung di atas kereta yang bisa dibawa berkeliling menyusuri jalanan.
  • Drama banyak disisipi cerita kepahlawanan yang dibumbui cerita percintaan.
  • Drama dimainkan di tempat umum dengan memungut bayaran.
  • Drama tidak memiliki nama pengarang.
 1.2.1.5 Renaissance
Abad 17 memberi sumbangan yang sangat berarti bagi kebudayaan Barat. Sejarah abad 15 dan 16 ditentukan oleh penemuanpenemuan penting yaitu mesin, kompas, dan mesin cetak. Semangat baru muncul untuk menyelidiki kebudayaan Yunani dan Romawi klasik. Semangat ini disebut semangat Renaissance yang berasal dari kata “renaitre” yang berarti kelahiran kembali manusia untuk mendapatkan semangat hidup baru. Gerakan yang menyelidiki semangat ini disebut gerakan humanisme.
Pusat-pusat aktivitas teater di Italia adalah istana-istana dan akademi. Di gedung-gedung teater milik para bangsawan inilah dipentaskan naskah-naskah yang meniru drama-drama klasik. Para aktor kebanyakan pegawai-pegawai istana dan pertunjukan diselenggarakan dalam pesta-pesta istana.
Ada tiga jenis drama yang dikembangkan, yaitu tragedi, komedi, dan pastoral atau drama yang membawakan kisah-kisah percintaan antara dewa-dewa dengan para gembala di daerah pedesaan. Namun nilai seni ketiganya masih rendah. Drama dilangsungkan dengan mengikuti struktur yang ada. Meskipun demikian gerakan mereka memiliki arti penting karena Eropa menjadi mengenal drama yang jelas struktur dan bentuknya.


Ciri-ciri teater Zaman Renaissance yakni sebagai berikut.
  • Naskah lakon yang dipertunjukkan meniru teater Zaman Yunani klasik.
  • Cerita bertema mitologi atau kehidupan sehari-hari.
  • Tata busana dan seting yang dipergunakan sangat inovatif.
  • Pelaksanaan bentuk teater diatur oleh kerajaan maupun universitas.
  • Menggunakan panggung proscenium yaitu bentuk panggung yang memisahkan area panggung dengan penonton.
  • Pada zaman ini juga melahirkan satu bentuk teater yang disebut commedia dell’arte. Merupakan bentuk teater rakyat Italia yang berkembang di luar lingkungan istana dan akademisi. Pada tahun 1575 bentuk ini sudah populer di Italia. Kemudian menyebar luas di Eropa dan mempengaruhi semua bentuk komedi yang diciptakan pada tahun 1600.

Ciri khas commedia dell'arte adalah:
  • Para pemain dibebaskan berimprovisasi mengikuti jalannya cerita dan dituntut memiliki pengetahuan luas yang dapat mendukung permainan improvisasinya.
  • Menggunakan naskah lakon yang berisi garis besar cerita.
  • Cerita yang dimainkan bersumber pada cerita yang diceritakan secara turun menurun.
  • Cerita terdiri dari tiga babak didahului prolog panjang. Plot cerita berlangsung dalam suasana adegan lucu.
  • Peristiwa cerita berlangsung dan berpindah secara cepat .
  • Terdapat tiga tokoh yang selalu muncul, yaitu tokoh penguasa, tokoh penggoda, dan tokoh pembantu.
  • Tempat pertunjukannya di lapangan kota dan panggungpanggung sederhana.
  • Setting panggung sederhana, yaitu rumah, jalan, dan lapangan.

1.2.1.6 Teater Zaman Elizabeth
Pada tahun 1576, selama pemerintahan Ratu Elizabeth I, gedung teater besar dari kayu dibangun di London Inggris. Gedung ini dibangun seperti lingkaran sehingga penonton bisa duduk dihampir seluruh sisi panggung. Gedung teater ini sangat sukses sehingga banyak gedung sejenis dibangun di sekitarnya. Salah satunya yang disebut Globe, gedung teater ini bisa menampung 3.000 penonton. Penonton yang mampu membeli tiket duduk di sisi-sisi panggung. Mereka yang tidak mampu membeli tiket berdiri di sekitar panggung.
Globe mementaskan drama-drama karya William Shakespeare, penulis drama terkenal dari Inggris yang hidup dari tahun 1564 sampai tahun 1616. Ia adalah seorang aktor dan penyair, selain penulis drama. Ia biasanya menulis dalam bentuk puisi atau sajak. Beberapa ceritanya berisi monolog panjang, yang disebut solilokui, dan menceritakan gagasan-gagasan mereka kepada penonton. Ia menulis 37 (tiga puluh tujuh) drama dengan berbagai tema, mulai dari pembunuhan dan tokohg sampai cinta dan kecemburuan. Ciri-ciri teater Zaman Elizabeth adalah:
  • Pertunjukan dilaksanakan siang hari dan tidak mengenal waktu istirahat.
  • Tempat adegan ditandai dengan ucapan dengan disampaikan dalam dialog para tokoh.
  • Tokoh wanita dimainkan oleh pemain anak-anak laki-laki. Tidak pemain wanita.
  • Penontonnya berbagai lapisan masyarakat dan diramaikan oleh penjual makanan dan minuman.
  • Menggunakan naskah lakon.
  • Corak pertunjukannya merupakan perpaduan antara teater keliling dengan teater sekolah dan akademi yang keklasik-klasikan.

1.2.1.7 Teater Abad 20
Teater telah berubah selama berabad-abad. Gedung-gedung pertunjukan modern memiliki efek-efek khusus dan teknologi baru. Orang datang ke gedung pertunjukan tidak hanya untuk menyaksikan teater melainkan juga untuk menikmati musik, hiburan, pendidikan, dan mempelajari hal-hal baru. Rancangan-rancangan panggung termasuk pengaturan panggung arena, atau yang disebut saat ini, Teater di Tengah-Tengah Gedung. Dewasa ini, beberapa cara untuk mengekspresikan karakter-karakter berbeda dalam pertunjukanpertunjukan (di samping nada suara) dapat melalui musik, dekorasi, tata cahaya, dan efek elektronik. Gaya-gaya pertunjukan realistis dan eksperimental ditemukan dalam teater Amerika saat ini.
Seiring dengan perkembangan waktu, kualitas pertunjukan realis oleh beberapa seniman dianggap semakin menurun dan membosankan. Hal ini mendorong para pemikir teater untuk menemukan satu bentuk ekspresi baru yang lepas dari konvensi yang sudah ada. Wilayah jelajah artistik dibuka selebar-lebarnya untuk kemungkinan perkembangan bentuk pementasan seni teater. Dengan semangat melawan pesona realisme, para seniman mencari bentuk pertunjukannya sendiri. Pada awal abad 20 inilah istilah teater eksperimental berkembang. Banyak gaya baru yang lahir baik dari sudut pandang pengarang, sutradara, aktor ataupun penata artistik. Tidak jarang usaha mereka berhasil dan mampu memberikan pengaruh seperti gaya simbolisme, surealisme, epik, dan absurd. Tetapi tidak jarang pula usaha mereka berhenti pada produksi pertama. Lepas dari hal itu, usaha pencarian kaidah artistik yang dilakukan oleh seniman teater modern patut diacungi jempol karena usaha-usaha tersebut mengantarkan pada keberagaman bentuk ekspresi dan makna keindahan.

1.2.2 Teater Indonesia
1.2.2.1 Teater Tradisional
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir.
Macammacam teater tradisional Indonesia adalah :wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.

1.2.2.2 Teater Modern
1.2.2.2.1 Teater Transisi
Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya.
Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.

1.2.2.2.2 Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan.
Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.

1.2.2.2.3 Teater Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.
Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang. Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat.
Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik.
Menyusul kemudian muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.
Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. ceritacerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan ceritacerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang. Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi.
Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan sandiwara.
Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.

1.2.2.2.4 Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah tokohg kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam tokohg kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa tokohg kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa tokohg secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska tokohg, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban tokohg, dan lain-lain.
Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian.
Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.

1.2.2.2.5 Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim Adi Limas mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda.
Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun 1967, Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).
Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Melarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih).
Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.

1.2.2.2.6 Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974.
Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.
Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.
Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Republik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot.
Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.

1.2.2.2.7 Teater Kontemporer Indonesia
Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80- an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak









(2/6): Seni Sastra dalam Teater

Teater memiliki sekurang-kurangnya empat unsur penting dalam setiap pementasan, yaitu pertama, lakon atau cerita yang ditampilkan, bisa berwujud sebuah naskah atau skenario tertulis, skenario tak tertulis (dalam teater kerakyatan). Kedua, pemain adalah orang yang membawakan lakon tersebut. Ketiga, sutradara sebagai penata pertunjukan di panggung. Keempat, penonton adalah sekelompok orang yang menyerahkan sebagian dari kemerdekaannya untuk menjadi bagian dari tokoh yang tampil dalam suatu lakon dan menikmatinya.
Lakon ditulis oleh seorang penulis naskah lakon berdasarkan apa yang dilihat, apa yang dialami, dan apa yang dibaca atau diceritakan kepadanya oleh orang lain. Penulis kemudian menyusun rangkaian kejadian, semakin lama semakin rumit, sehingga pada puncaknya masuk ke dalam penyelesaian cerita. Penting sekali bahwa dalam menyusun kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa seorang penulis haruslah bersabar untuk melangkah dari satu kejadian ke kejadian lain dalam suatu perkembangan yang logis, tetapi semakin lama semakin gawat sehingga akhirnya ia sampai ke puncak yang disebut klimaks. Dalam lakon akan dijumpai dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, konflik. Kedua, tokoh atau tokoh yang terlibat dalam kejadiankejadian dalam lakon.
Peristiwa atau kejadian dibuat oleh penulis naskah sebagai kerangka besar yang mendasari terjadinya suatu lakon. Peristiwa lakon tersebut menuntun seseorang untuk mengikuti laku kejadian mulai dari pemaparan, konlfik hingga penyelesaian. Konflik dalam lakon merupakan inti cerita. Tidaklah menarik sebuah cerita disajikan di atas panggung tanpa adanya konflik. Konflik dalam lakon bisa rumit bisa juga sederhana. Gagasan utama atau pesan lakon termaktub dalam konflik yang merupakan pertentangan antara satu pihak terhadap pihak lain mengenai sesuatu hal. Jalinan cerita menuju konflik dan cara penyelesainnya inilah yang menjadikan lakon menarik.
Tidak ada acuan yang pasti terhadap konflik dalam lakon yang dapat membuat cerita menjadi menarik. Terkadang konflik yang kecil dan sederhana jika diselesaikan secara cerdas akan membuat penonton takjub. Sementara, konflik yang berat, berliku, dan bercabang-cabang jika tidak disajikan secara baik justru akan membosankan dan membuat laku lakon menjadi lamban. Jadi, kalau ada anggapan bahwa semakin rumit konflik lakon semakin menarik adalah anggapan yang salah, karena peristiwa yang mengarahkan cerita kepada konflik membutuhkan tokoh sebagai pelaku. Tokoh adalah orang yang menghidupkan kejadian atau peristiwa yang dibuat oleh penulis naskah. Jadi dalam lakon ada dua hal penting yang diciptakan oleh seorang penulis lakon, yaitu konflik dan tokoh yang terlibat dalam kejadian.

2.1 Tema
Tema ada yang menyebutnya sebagai premis, root idea, thought, aim, central idea, goal, driving force dan sebagainya. Seorang penulis terkadang mengemukakan tema dengan jelas tetapi ada juga yang secara tersirat. Akan tetapi, tema harus dirumuskan dengan jelas, karena tema merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh seorang penulis lakon. Ketika tema tidak terumuskan dengan jelas maka lakon tersebut akan kabur dan tidak jelas apa yang hendak disampaikan.
Pengarang atau penulis lakon menciptakan sebuah lakon bukan hanya sekedar mencipta, tetapi juga menyampaikan suatu pesan tentang persoalan kehidupan manusia. Pesan itu bisa mengenai kehidupan lahiriah maupun batiniah. Keunggulan dari seorang pengarang ialah, dia mempunyai kepekaan terhadap lingkungan sekelilingnya, dan dari lingkungan tersebut dia menyerap segala persoalan yang menjadi ide-ide dalam penulisan lakonnya. Pengarang adalah seorang warga masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang penting serta mengikuti isu-isu zamannya (Rene Wellek dan Austin Warren, 1989). Ide-ide, pesan atau pandangan terhadap persoalan yang ada dijadikan ide sentral atau tema dalam menulis naskah lakonnya.
Tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh pengarang atau penulis melalui karangannya (Gorys Keraf, 1994). Tema bisa juga disebut muatan intelektual dalam sebuah permainan, ini mungkin bisa diuraikan sebagai keseluruhan pernyataan dalam sebuah permainan: topik, ide utama atau pesan, mungkin juga sebuah keadaan (Robert Cohen, 1983). Adhy Asmara (1983) menyebut tema sebagai premis yaitu rumusan intisari cerita sebagai landasan ideal dalam menentukan arah tujuan cerita. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa tema adalah ide dasar, gagasan atau pesan yang ada dalam naskah lakon dan ini menentukan arah jalannya cerita.
Tema dalam naskah lakon ada yang secara jelas dikemukakan dan ada yang samar-samar atau tersirat. Tema sebuah lakon bisa tunggal dan bisa juga lebih dari satu. Tema dapat diketahui dengan dua cara :
  • Apa yang diucapkan tokoh-tokohnya melalui dialog-dialog yang disampaikan.
  • Apa yang dilakukan tokoh-tokohnya.
Dengan berpedoman dua hal tersebut analisis tema lakon dapat dikerjakan. Misalnya, lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo. Dialog yang disampaikan tokoh dapat dijadikan acuan untuk menganalisis tema lakon. Masing-masing tokoh mengucapkan kalimat dialognya. Dari dialog tersebut dapat diketahui perihal atau soalan yang dibahas. Dengan merangkai setiap persoalan melalui dialog para tokohnya maka gambaran tema akan didapatkan.
Detil tema selalu dapat ditemukan dari baris-baris kalimat dialog tokoh cerita. Semua analisis lakon dikerjakan dengan mencermati kalimat dialog tersebut serta hubungan antara kalimat satu dengan yang lain. Jika hanya membaca cerita secara keseluruhan tanpa meninjau kalimat dialog dengan teliti maka hasil akhir dari analisis yang dilakukan belum tentu benar. Kadangkadang, dialog kecil memiliki arti yang luas dan sanggup mempengaruhi tema cerita. Misalnya, dalam kalimat dialog Raja Lear dapat ditarik satu simpulan bahwa meskipun sebagai raja ia disegani oleh anak-anaknya, tetapi karena sikapnya yang keras maka ia juga dibenci. Perhatikan kutipan dialog di bawah ini.
LEAR                               : ………….. kendalikan lidahmu sedikit; nanti kuhambat untungmu….
LEAR                               : ………………. Sekarang kulempar tiap kewajiban orang tua, tiap pertalian keluarga dan darah; mulai kini sampai selamanya kaulah asing bagiku dan bagi hatiku………………….
KENT                              : Silakan. Bunuhlah tabib tuan, supaya hama jahat berupah. Batalkan anugerah tuan; kalau tidak, rangkung saya berteriak meyerukan tuanlah lalim………
RAJA TOKOHCIS           : Cordelia jelita, ternyata paling kaya meski miskin; terpillih meski, meski dibuang; tercinta meski dihina................
CORDELIA                     : Andaikan bukan seorang ayah, namun uban ini sudah menuntut belas-kasih. Ah wajah benginikah dipaksa menempuh pergolakan badai? Dan melawan guntur bercakra garang, petir dahsyat yang pesat,, cepat menyambar-nyabar? Bagai prajurit yang terbuang, berjaga dengan topi tipis ini? Anjing musuhku pun, walau menggigit aku, di malam begitu takkan kuusir untuk dari tempat berdiang……………….
Melalui laku atau aksi tokoh dalam lakon yang biasanya diterangkan (dituliskan) dalam arahan lakon gambaran tema semakin jelas. Laku aksi memberikan penegasan kalimat dialog. Dalam lakon Raja Lear, laku tokoh dapat memberikan penjelasan sebagai berikut.
  • Raja Lear membagi kerajaan pada ketiga anaknya sesuai dengan pujian yang disampaikan anaknya.
  • Raja Lear murka pada Cordelia karena tidak memujinya.
  • Raja Lear marah-marah ketika tidak dilayani hidupnya pada anak yang semula disayangi.
  • Raja Lear marah-marah dan mengusir bawahannya ketika ada yang menentang.
  • Anak-anak Raja Lear yang disayangi berubah memusuhi orang tuanya sehingga Raja Lear sakit.
Dari kutipan dialog dan laku serta perbuatan tokoh dalam lakon Raja Lear di atas bisa ditarik sebuah kejelasan bahwa Raja Lear adalah orang yang gila hormat, tidak bijaksana, lalim, dan harus dipuji. Atas sikapnya itu Raja Lear menuai hasil, yaitu kehancuran diri dan keluarganya.

2.2 Plot
Plot (ada yang menyebutnya sebagai alur) dalam pertunjukan teater mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini berhubungan dengan pola pengadeganan dalam permainan teater, dan merupakan dasar struktur irama keseluruhan permainan. Plot dapat dibagi berdasarkan babak dan adegan atau berlangsung terus tanpa pembagian. Plot merupakan jalannya peristiwa dalam lakon yang terus bergulir hinga lakon tersebut selesai. Jadi plot merupakan susunan peristiwa lakon yang terjadi di atas panggung.
Plot menurut Panuti Sudjiman dalam bukunya Kamus Istilah Sastra (1984) memberi batasan adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra (termasuk naskah drama atau lakon) untuk mencapai efek-efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat).
Plot atau alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui perumitan (penggawatan atau komplikasi) ke arah klimaks penyelesaian. Menurut J.A. Cuddon dalam Dictionary of Literaray Terms (1977), plot atau alur adalah kontruksi atau bagan atau skema atau pola dari peristiwa-peristiwa dalam lakon, puisi atau prosa dan selanjutnya bentuk peristiwa dan perwatakan itu menyebabkan pembaca atau penonton tegang dan ingin tahu. Plot atau alur menurut Hubert C. Heffner, Samuel Selden dan Hunton D. Sellman dalam Modern Theatre Practice (1963), ialah seluruh persiapan dalam permainan. Jadi plot berfungsi sebagi pengatur seluruh bagian permainan, pengawas utama dimana seorang penulis naskah dapat menentukan bagaimana cara mengatur lima bagian yang lain, yaitu karakter, tema, diksi, musik, dan spektakel. Plot juga berfungsi sebagai bagian dasar yang membangun dalam sebuah teater dan keseluruhan perintah dari seluruh laku maupun semua bagian dari kenyataan teater serta bagian paling penting dan bagian yang utama dalam drama atau teater.
Pembagian plot dalam lakon klasik atau konvensional biasanya sudah jelas yaitu, bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Seorang penulis seringkali meletakkan berbagai informasi penting pada bagian awal lakon, misalnya tempat lakon tersebut terjadi, waktu kejadiannya, pelaku-pelakunya, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Pada bagian tengah biasanya berisi tentang kejadian-kejadian yang bersangkut paut dengan masalah pokok yang telah disodorkan kepada penonton dan membutuhkan jawaban. Bagian akhir berisi tentang satu persatu pertanyaan penonton terjawab atau sebuah lakon telah mencapai klimaks besar.
Secara umum pembagian plot terkadang menggunakan tipe sebab akibat yang dibagi dalam lima pembagian sebagai berikut.
  • Eksposisi adalah saat memperkenalkan dan membeberkan materi-materi yang relevan atau memberi informasi pada penonton tentang masalah yang dialami atau konflik yang terjadi dalam diri karakter-karakter yang ada di lakon.
  • Aksi Pendorong adalah saat memperkenalkan sumber konflik di antara karakter-karakter atau di dalam diri seorang karakter.
  • Krisis adalah penjelasan yang terperinci dari perjuangan karakter-karakter atau satu karakter untuk mengatasi konflik.
  • Klimaks adalah proses identifikasi atau proses pengusiran dari rasa tertekan melalui perbuatan yang mungkin saja sifatnya jahat, atau argumentative atau kejenakaan atau melalui cara-cara lain.
  • Resolusi adalah proses penempatan kembali kepada suasana baru. Bagian ini merupakan kejadian akhir dari lakon dan terkadang memberikan jawaban atas segala persoalan dan konflik-konflik yang terjadi.

2.2.1 Jenis Plot
Ketika menonton atau melihat atau membaca sebuah lakon fiksi maka emosi kita akan terpengaruh dengan apa yang kita tonton, lihat, atau baca tersebut. Emosi ini timbul karena terpengaruh oleh jalinan peristiwa-peristiwa dan jalannya cerita yang ditulis oleh penulis. Jalinan peristiwa dan jalannya cerita inilah yang dimaksud dengan plot.
Plot lakon banyak sekali ragamnya tergantung dari penulis lakon mempermainkan emosi kita. Secara sederhana plot dapat dibagi menjadi dua yaitu simple plot (plot yang sederhana) dan multi plot (plot yang lebih dari satu)

2.2.1.1 Simple Plot
Simple plot atau plot lakon yang sederhana adalah lakon yang memiliki satu alur cerita dan satu konflik yang bergerak dari awal sampai akhir. Simple plot ini terdiri dari plot linear dan linear-circular. Plot linear adalah alur cerita mulai dari awal sampai akhir cerita bergerak lurus sedangkan linear-circular adalah alur cerita mulai dari awal sampai akhir bergerak lurus secara melingkar sehingga awal dan akhir cerita akan bertemu dalam satu titik. Alur linear ini masih bisa dibagi-bagi lagi sesuai dengan sifat emosi yang terkandung dari plot linear ini, terdiri dari alur menanjak atau rising plot, alur menurun atau falling plot, alur maju atau progressive plot, alur mundur atau regressive plot, alur lurus atau straight plot, dan alur melingkar atau circular plot.
Alur menanjak atau rising plot adalah alur dengan emosi lakon mulai dari tingkat emosi yang paling rendah menuju tingkat emosi lakon yang paling tinggi. Alur ini adalah alur cerita paling umum pada alur lakon. Alur menurun atau falling plot adalah alur dengan emosi lakon mulai dari tingkat emosi yang paling tinggi menuju tingkat emosi lakon yang paling rendah. Alur ini merupakan kebalikan dari alur menanjak atau rising plot. Alur maju atau progresive plot adalah alur cerita yang dimulai dari pemaparan peristiwa lakon sampai menuju inti peristiwa lakon.
Jalinan jalan cerita dalam lakon bergerak mulai dari awal sampai akhir tanpa ada kilas balik. Alur mundur atau regresive plot adalah alur cerita yang dimulai dari inti cerita kemudian dipaparkan bagaimana sampai terjadi peristiwa tersebut. Alur ini merupakan kebalikan dari progressive plot. Contoh lakon dengan alur mundur adalah Opera Primadona karya Nano Riantiarno yang dimainkan oleh Teater Koma. Alur lurus atau straight plot hampir sama dengan alur maju.
 2.2.1.2 Multi Plot
Multi plot adalah lakon yang memiliki satu alur utama dengan beberapa sub plot yang saling bersambungan. Multi plot ini terdiri dari dua tipe yaitu alur episode atau episodic plot dan alur terpusat atau concentric plot. Alur episode atau episodic plot adalah plot cerita yang terdiri dari bagian perbagian secara mandiri, di mana setiap episode memiliki alur cerita sendiri. Setiap episode dalam lakon tersebut sebenarnya tidak ada hubungan sebab akibat dalam rangkaian cerita, tema, tokoh. Tetapi pada akhir cerita alur cerita yang terdiri dari episodeepisode ini akan bertemu. Contoh lakon dengan alur episode atau episodic plot adalah lakon Panembahan Reso karya W.S. Rendra, Raja Lear karya William Shakespeare dan lain-lain.
Concentric plot adalah cerita lakon yang memiliki beberapa plot yang berdiri sendiri, dimana pada akhir cerita semua tokoh yang terlibat dalam cerita yang terpisah tadi akhirnya menyatu guna menyelesaikan cerita. Plot-plot yang ada dalam cerita tersebut memiliki permasalah yang harus diselesaikan.

2.2.2 Anatomi Plot
Menurut Rikrik El Saptaria (2006), plot atau alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat. Plot disusun oleh pengarang dengan tujuan untuk mengungkapkan buah pikirannya yang secara khas. Pengungkapan ini lewat jalinan peristiwa yang baik sehingga menciptakan dan mampu menggerakkan alur cerita itu sendiri. Dengan demikian plot memiliki anatomi atau bagian-bagian yang menyusun plot tersebut yang disebut dengan anatomi plot sebagai berikut.
  • Gimmick, bagian 5 menit pertama yang sengaja dibuat menarik untuk memikat penikmat
  • Fore Shadowing, pembayangan ke depan yang terjadi ketika tokoh meramalkan atau membayangkan keadaan yang akan datang.
  • Dramatic Irony, aksi seorang tokoh yang berkata atau bertindak sesuatu, dan tanpa disadari akan menimpa dirinya sendiri. Dalam lakon banyak dijumpai tokoh-tokoh ini, dan biasanya tidak disadari oleh tokoh tersebut.
  • Flashback, kilas balik peristiwa lampau yang dikisahkan kembali pada saat ini. Kilas balik ini berfungsi untuk mengingatkan kembali ingatan penonton pada peristiwa yang telah lampau tetapi masih dalam satu rangkaian peristiwa lakon. Kilas balik biasanya diceritakan melalui dialog tokoh, tetapi kilas balik pada film biasanya berupa nukilannukilan gambar.
  • Suspen, berisi dugaan dan prasangka yang dibangun dari rangkaian ketegangan yang mengundang pertanyaan dan keingintahuan penonton. Suspen akan menumbuhkan dan memelihara keingintahuan penonton dari awal sampai akhir cerita. Suspen ini biasanya diciptakan dan dijaga oleh penulis lakon dari awal sampai akhir cerita, supaya penonton bertanya-tanya apa akibat yang ditimbulkan dari peristiwa sebelumnya ke peristiwa selanjutnya. Dengan menimbulkan pertanyaanpertanyaan ini penonton akan betah mengikuti cerita sampai selesai. Suspen ini biasanya dibangun melalui dialog-dialog serta laku para tokoh yang ada dalam naskah lakon. Kalau pemeran atau sutradara tidak cermat dalam menganalisisnya maka kemungkinan suspen terlewati dan tidak tergarap dengan baik. Hal ini akan menyebabkan kualitas pertunjukan dinilai tidak terlalu bagus, karena semuanya sudah bisa ditebak oleh penonton. Kalau cerita itu bisa ditebak oleh penonton maka perhatian penonton akan berkurang dan menganggap pertunjukan tersebut tidak menyuguhkan sesuatu untuk dipikirkan.
  • Surprise, suatu peristiwa yang terjadi diluar dugaan penonton sebelumnya dan memancing perasaan dan pikiran penonton agar menimbulkan dugaan-dugaan yang tidak pasti. Namun peristiwa yang diharapkan tersebut, pada akhirnya mengarah ke sesuatu yang tidak disangka-sangka sebelumnya.
  • Gestus, aksi atau ucapan tokoh utama yang beritikad tentang sesuatu persoalan yang menimbulkan pertentangan atau konflik antartokoh. Dalam sebuah lakon terkadang dijumpai aksi-aksi yang seperti ini dan akan menimbulkan suatu rasa simpati penonton kepada korbannya.

2.2.3 Setting
Membicarakan tentang setting dalam mengkaji lakon tidak ada kaitan langsung dengan tata teknik pentas, karena memang bukan persoalan scenery yang hendak dibahas. Pertanyaan untuk setting atau latar cerita adalah kapan dan dimana persitiwa terjadi. Pertanyaan tidak serta merta dijawab secara global tetapi harus lebih mendetil untuk mengetahui secara pasti waktu dan tempat kejadiannya.
Analisis setting lakon ini merupakan suatu usaha untuk menjawab sebuah pertanyaan apakah peristiwa terjadi di luar ruang atau di dalam ruang? Apakah terjadi pada waktu malam, pagi hari, atau sore hari? Jika terjadi dalam ruang lalu di mana letak ruang itu, di dalam gedung atau di dalam rumah? Jam berapa kira-kira terjadi? Tanggal, bulan, dan tahun berapa? Apakah waktu kejadiannya berkaitan dengan waktu kejadian peristiwa di adegan lain, atau sudah lain hari? Pertanyaan-pertanyaan seputar waktu dan tempat kejadian ini akan memberikan gambaran peristiwa lakon yang komplit (David Groote, 1997).

2.2.3.1 Latar Tempat
Latar tempat adalah tempat yang menjadi latar peristiwa lakon itu terjadi. Peristiwa dalam lakon adalah peristiwa fiktif yang menjadi hasil rekaan penulis lakon. Menurut Aristoteles peristiwa dalam lakon adalah mimesis atau tiruan dari kehidupan manusia keseharian. Seperti diketahui bahwa sifat dari naskah lakon bisa berdiri sendiri sebagai bahan bacaan sastra, tetapi bisa sebagai bahan dasar dari pertunjukan. Sebagai bahan bacaan sastra, interpretasi tempat kejadian peristiwa ini terletak pada keterangan yang diberikan oleh penulis naskah lakon dan dalam imajinasi pembaca. Sedangkan sebagai bahan dasar pertunjukan, tempat peristiwa ini harus dikomunikasikan atau diceritakan oleh para pemeran sebagai komunikator kepada penonton.
Analisis ini perlu dilakukan guna memberi suatu gambaran pada penonton tentang tempat peristiwa itu terjadi. Analisis ini juga sangat penting dilakukan karena berhubungan dengan tata teknik pentas. Gambaran tempat peristiwa dalam lakon kadang sudah diberikan oleh penulis lakon, tetapi kadang tidak diberikan oleh penulis lakon. Analisis latar tempat dapat dilakukan dengan mencermati dialog-dialog tokoh yang sedang berlangsung dalam satu adegan, babak atau dalam keseluruhan lakon tersebut.

2.2.3.2 Latar Waktu
Latar waktu adalah waktu yang menjadi latar belakang peristiwa,`adegan, dan babak itu terjadi. Latar waktu terkadang sudah diberikan`atau sudah diberi rambu-rambu oleh penulis lakon, tetapi banyak latar`waktu ini tidak diberikan oleh penulis lakon. Tugas seorang sutradara dan`pemeran ketika menghadapi sebuah naskah lakon adalah menginterprestasi latar waktu dalam lakon tersebut. Dengan menggetahui latar waktu yang terjadi pada maka semua pihak akan bisa mengerjakan lakon tersebut. Misalnya, penata artistik akan menata perabot dan mendekorasi pementasan sesuai dengan latar waktu.
Analisis latar waktu perlu dilakukan baik oleh seorang sutradara maupun oleh pemeran. Analisis latar waktu yang dilakukan oleh sutradara biasanya berhubungan dengan tata teknik pentas, sedangkan yang dilakukan oleh pemeran biasanya berhubungan dengan akting dan bisnis akting.
Latar waktu dalam naskah lakon bisa menunjukkan waktu dalam arti yang sebenarnya (siang, malam, pagi, sore), waktu yang menunjukkan sebuah musim (musim hujan, musim kemarau, musim dingin dan lain-lain), dan waktu yang menunjukkan suatu zaman atau abad (Zaman Klasik, Zaman Romantik, zaman tokohg dan lain-lain).
Analisis latar waktu bisa dilakukan dengan mencermati dialog-dialog yang disampaikan oleh tokoh dalam adegan atau babak yang sedang berlangsung.

2.2.3.3 Latar Peristiwa
Latar peristiwa adalah peristiwa yang melatari adegan itu terjadi dan bisa juga yang melatari lakon itu terjadi. Latar peristiwa ini bisa sebagai realita bisa juga fiktif yang menjadi imajinasi penulis lakon. Latar peristiwa yang nyata digunakan oleh penulis lakon untuk menggambar peristiwa yang terjadi secara nyata pada waktu itu sebagai dasar dari lakonnya.
Misalnya, lakon Raja Lear, mungkin saja William Shakespeare terinspirasi oleh bencana yang melanda Inggris pada waktu itu, yaitu seolah-olah terjadi kiamat karena lakon ini dialegorikan sebagai kiamat kecil. Lakon-lakon dengan latar peristiwa yang riil juga terjadi pada lakonlakon di Indonesia pada tahun 1950 sampai tahun 1970. Lakon pada waktu itu mengambil latar peristiwa pada Zaman Tokohg Revolusi di Indonesia. Latar peristiwa pada adegan atau lakon adalah peristiwa yang mendahului adegan atau lakon tersebut, atau yang mengakibatkan adegan atau lakon itu terjadi. Misalnya, adegan awal pada lakon.


2.2.4 Karakterisasi
Karakterisasi merupakan usaha untuk membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lain. Perbedaan-perbedaan tokoh ini diharapkan akan diidentifikasi oleh penonton. Jika proses identifikasi ini berhasil, maka perasaan penonton akan merasa terwakili oleh perasaan tokoh yang diidentifikasi tersebut. Suatu misal kita mengidentifisasi satu tokoh, berbarti kita telah mengadopsi pikiran-pikiran dan perasaan tokoh tersebut menjadi perasaan dan pikiran kita.
Karakterisasi atau perwatakan dalam sebuah lakon memegang tokohan yang sangat penting. Bahkan Lajos Egri berpendapat bahwa berperwatakanlah yang paling utama dalam lakon. Tanpa perwatakan tidak akan ada cerita, tanpa perwatakan tidak bakal ada plot. Padahal ketidaksamaan watak akan melahirkan pergeseran, tabrakan kepentingan, konflik yang akhirnya melahirkan cerita (A. Adjib Hamzah, 1985).

2.2.4.1 Jenis-jenis Tokoh
Tokoh merupakan sarana utama dalam sebuah lakon, sebab dengan adanya tokoh maka timbul konflik. Konflik dapat dikembangkan oleh penulis lakon melalui ucapan dan tingkah laku tokoh. Dalam teater, tokoh dapat dibagi-bagi sesuai dengan motivasi-motivasi yang diberikan oleh penulis lakon. Motivasi-motivasi tokoh inilah yang dapat melahirkan suatu perbuatan tokoh. Tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai berikut.
  • Protagonis
    Protagonis adalah tokoh utama yang merupakan pusat atau sentral dari cerita. Keberadaan tokoh adalah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika mencapai suatu citacita. Persoalan ini bisa dari tokoh lain, bisa dari alam, bisa juga karena kekurangan dirinya sendiri. Tokoh ini juga menentukan jalannya cerita. Contoh tokoh protagonis pada lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo adalah tokoh Raja Lear itu sendiri.
  • Antagonis
    Antagonis adalah tokoh lawan, karena dia seringkali menjadi musuh yang menyebabkan konflik itu terjadi. Tokoh protagonis dan antagonis harus memungkinkan menjalin pertikaian, dan pertikaian itu harus berkembang mencapai klimaks. Tokoh antagonis harus memiliki watak yang kuat dan kontradiktif terhadap tokoh protagonis. Contoh tokoh antagonis pada lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo adalah tokoh Gonerill dan tokoh Regan. Kedua tokoh inilah yang menentang perkembangan, keinginan, dan cita-cita Raja Lear.
  • Deutragonis
    Deutragonis adalah tokoh lain yang berada di pihak tokoh protagonis. Tokoh ini ikut mendukung menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh protaganis. Contoh, tokoh Tumenggung Kent, Edgar, Cordelia dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare.
  • Tritagonis
    Tritagonis adalah tokoh penengah yang bertugas menjadi pendamai atau pengantara protagonis dan antagonis. Contoh, tokoh Bangsawan pada lakon Raja Lear karya Willliam Sahkespeare. Dia adalah pengawal dari Cordelia.
  • Foil
    Foil adalah tokoh yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik yang terjadi tetapi ia diperlukan guna menyelesaikan cerita. Biasanya dia berpihak pada tokoh antagonis. Contoh, tokoh Perwira, Oswald, Curan dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare.
  • Utility
    Utility adalah tokoh pembantu atau sebagai tokoh pelengkap untuk mendukung rangkaian cerita dan kesinambungan dramatik. Biasanya tokoh ini mewakili jiwa penulis. Contoh:tokoh Badut dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare.

2.2.4.2 Jenis Karakter
Karakter adalah jenis tokoh yang akan dimainkan, sedangkan penokohan adalah proses kerja untuk memainkan tokoh yang ada dalam naskah lakon. Penokohan ini biasanya didahului dengan menganalisis tokoh tersebut sehingga bisa dimainkan. Menurut Rikrik El Saptaria (2006), jenis karakter dalam teater ada empat macam, yaitu flat character, round charakter, teatrikal, dan karikatural.
  • Flat Character (perwatakan dasar) Flat character atau karakter datar adalah karakter tokoh yang ditulis oleh penulis lakon secara datar dan biasanya bersifat hitam putih. Karakter tokoh dalam lakon mengacu pada pribadi manusia yang berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Ketika masih kecil dia bereksplorasi dengan dirinya sendiri untuk mengetahui perkembangan dirinya, dan ketika sudah dewasa maka pribadinya berkembang melalui hubungan dengan lingkungan sosial. Jadi perkembangan karakter seharusnya mengacu pada pribadi manusia, yang merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi yang dilakukannya dan terus berkembang. Penulis lakon adalah orang yang memiliki dunia sendiri yaitu dunia fiktif, sehingga ketika mencipta sebuah karakter dia bebas menentukan suatu perkembangan karakter. Flat character ini ditulis dengan tidak mengalami perkembangan emosi maupun derajat status sosial dalam sebuah lakon. Flat character biasanya ada pada karakter tokoh yang tidak terlalu penting atau karakter tokoh pembantu, tetapi diperlukan dalam sebuah lakon.
  • Round Character (perwatakan bulat) Karakter tokoh yang ditulis oleh penulis secara sempurna, karakteristiknya kaya dengan pesan-pesan dramatik. Round karakter adalah karakter tokoh dalam lakon yang mengalami perubahan dan perkembangan baik secara kepribadian maupun status sosialnya. Perkembangan dan perubahan ini mengacu pada perkembangan pribadi orang dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan inilah yang menjadikan karakter ini menarik dan mampu untuk mengerakkan jalan cerita. Karakter ini biasanya terdapat karakter tokoh utama baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis.
  • Teatrikal adalah karakter tokoh yang tidak wajar, unik, dan lebih bersifat simbolis. Karakter-karakter teatrikal jarang dijumpai pada lakon-lakon realis, tetapi sangat banyak dijumpai pada lakon-lakon klasik dan non realis. Karakter ini hanya simbol dari psikologi masyarakat, suasana, keadaan jaman dan lain-lain yang tidak bersifat manusiawi tetapi dilakukan oleh manusia. Misalnya karakter yang diciptakan oleh Putu Wijaya pada lakon-lakonnya yang bergaya post-realistic, seperti tokoh A, D, C, Si Gembrot, Si Tua, Kawan, Pemimpin (lakon LOS) dan lain-lain.
  • Karikatural adalah karakter tokoh yang tidak wajar, satiris, dan cenderung menyindir.. Karakter ini segaja diciptakan oleh penulis lakon sebagai penyeimbang antara kesedihan dan kelucuan, antara ketegangan dengan keriangan suasana. Sifat karikatural ini bisa berupa dialog-dialog yang diucapkan oleh karakter tokoh, bisa juga dengan tingkah laku, bahkan perpaduan antara ucapan dengan tingkah laku.



















 (3/6): Dasar Seni Penyutradaraan dalam Teater

Pada mulanya pementasan teater tidak mengenal sutradara. Pementasan teater muncul dari sekumpulan pemain yang memiliki gagasan untuk mementaskan sebuah cerita. Kemudian mereka berlatih dan memainkkannya di hadapan penonton. Sejalan dengan kebutuhan akan pementasan teater yang semakin meningkat, maka para aktor memerlukan peremajaan pemain. Para aktor yang telah memiliki banyak pengalaman mengajarkan pengetahuannya kepada aktor muda. Proses mengajar dijadikan tonggak awal lahirnya “sutradara”. Dalam terminologi Yunani sutradara (director) disebut didaskalos yang berarti guru dan pada abad pertengahan di seluruh Eropa istilah yang digunakan untuk seorang sutradara dapat diartikan sebagai master.
Istilah sutradara seperti yang dipahami dewasa ini baru muncul pada jaman Geroge II. Seorang bangsawan (duke) dari Saxe-Meiningen yang memimpin sebuah grup teater dan menyelenggarakan pementasan keliling Eropa pada akhir tahun 1870-1880. Dengan banyaknya jumlah pentas yang harus dilakukan, maka kehadiran seorang sutradara yang mampu mengatur dan mengharmonisasikan keseluruhan unsur artistik pementasan dibutuhkan. Meskipun demikian, produksi pementasan teater Saxe-Meiningen masih mengutamakan kerja bersama antarpemain yang dengan giat berlatih untuk meningkatkan kemampuan berakting mereka (Robert Cohen, 1994).
Model penyutradaraan seperti yang dilakukan oleh George II diteruskan pada masa lahir dan berkembangnya gaya realisme. Andre Antoine di Tokohcis dengan Teater Libre serta Stansilavsky di Rusia adalah dua sutradara berbakat yang mulai menekankan idealisme dalam setiap produksinya. Max Reinhart mengembangkan penyutradaraan dengan mengorganisasi proses latihan para aktor dalam waktu yang panjang. Gordon Craig merupakan seorang sutradara yang menanamkan gagasannya untuk para aktor sehingga ia menjadikan sutradara sebagai pemegang kendali penuh sebuah pertunjukan teater (Herman J. Waluyo, 2001). Berhasil tidaknya sebuah pertunjukan teater mencapai takaran artistik yang diinginkan sangat tergantung kepiawaian sutradara. Dengan demikian sutradara menjadi salah satu elemen pokok dalam teater modern.
Oleh karena kedudukannya yang tinggi, maka seorang sutradara harus mengerti dengan baik hal-hal yang berhubungan dengan pementasan. Oleh karena itu, kerja sutradara dimulai sejak merencanakan sebuah pementasan, yaitu menentukan lakon. Setelah itu tugas berikutnya adalah menganalisis lakon, menentukan pemain, menentukan bentuk dan gaya pementasan, memahami dan mengatur blocking serta melakukan serangkaian latihan dengan para pemain dan seluruh pekerja artistik hingga karya teater benar-benar siap untuk dipentaskan. 
3.1 Pemilihan Naskah
Proses atau tahap pertama yang harus dilakukan oleh sutradara adalah menentukan lakon yang akan dimainkan. Sutradara bisa memilih lakon yang sudah tersedia (naskah jadi) karya orang lain atau membuat naskah lakon sendiri.
3.1.1 Naskah Jadi
Mementaskan teater dengan naskah yang sudah tersedia memiliki kerumitan tersendiri terutama pada saat hendak memilih naskah yang akan dipentaskan. Nskah tersebut harus memenuhi kreteria yang diinginkan serta sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Ada beberapa pertimbangan yang dapat dilakukan oleh sutradara dalam memilih naskah, seperti tertulis di bawah ini.
  • Sutradara menyukai naskah yang dipilih. Jika sutradara memilih naskah yang akan ditampilkan dalam keadaan terpaksa maka bisa dipastikan hasil pementasan menjadi kurang baik. Naskah yang tidak dikehendaki akan membawa pengaruh dan masalah tersendiri bagi sutradara dalam mengerjakannya, seperti analisis yang kurang detil, pemilihan pemain yang asal-asalan, keseluruhan kerja menjadi tidak optimal.
  • Sutradara merasa mampu mementaskan naskah yang telah dipilih. Mampu mementaskan sebuah naskah tentunya tidak hanya berkaitan dengan kecakapan sutradara, tetapi juga dengan unsur pendukung yang lain. Semua sumber daya dimiliki seperti pemain, penata artsitik, dan pendanaan menjadi pertimbangan dalam memilih naskah yang akan dipentaskan.
  • Sutradara wajib mempertimbangkan sisi pendanaan secara khusus. Beberapa naskah yang baik terkadang memiliki konsekuensi logis dengan pendanaan. Misalnya, naskah yang dipilih memoiliki latar cerita di rumah mewah dengan segala perabot yang indah. Hal ini membawa dampak tersendiri dalam bidang pendanaan. Jika sutradara merasa mampu mengusahakan pendanaan secara optimal untuk mewujudkan tuntutan artistik lakon, maka naskah tersebut bisa dipilih. Jika tidak, sutradara harus mampu melakukan adaptasi sehingga pendanaan bisa dikurangi tanpa mengurangi nilai artistik lakon.
  • Sutradara mampu menemukan pemain yang tepat. Naskah lakon yang baik tidak ada gunanya jika dimainkan oleh aktor yang kurang baik. Oleh karena itu, sutradara harus mampu mengukur kualitas sumber daya pemain yang dimiliki dalam menentukan naskah yang akan dipentaskan.
  • Sutradara mampu tetap mementaskan naskah yang dipilih.Tidak ada gunanya berlatih naskah lakon tertentu dalam waktu lama jika di tengah proses tiba-tiba hal itu terhenti karena alasan tertentu. Sutradara dengan segenap kemampuannya harus mampu meyakinkan pemain dan mengusahakan pertunjukan agar tetap digelar sehingga proses yang telah dilakukan tidak menjadi sia-sia.

3.1.2 Membuat Naskah Sendiri
Membuat naskah lakon sendiri tidak menguntungkan karena akan memperpanjang proses pengerjaan. Akan tetapi berkenaan dengan sumber daya yang dimiliki, membuat naskah sendiri dapat menjadi pilihan yang tepat. Untuk itu, sutradara harus mampu membuat naskah yang sesuai dengan kualitas sumber daya yang ada. Naskah semacam ini bersifat situasional, tetapi semua orang yang terlibat menjadi senang karena dapat mengerjakannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Beberapa langkah di bawah ini dapat dijadikan acuan untuk menulis naskah lakon.
  • Menentukan tema. Tema adalah gagasan dasar cerita atau pesan yang akan disampaikan oleh pengarang kepada penonton. Tema, akan menuntun laku cerita dari awal sampai akhir. Misalnya tema yang dipilih adalah “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”, maka dalam cerita hal tersebut harus dimunculkan melalui aksi tokoh-tokohnya sehingga penonton dapat menangkap maksud dari cerita bahwa sehebat apapun kejahatan pasti akan dikalahkan oleh kebaikan.
  • Menentukan persoalan. Persoalan atau konflik adalah inti daricerita teater. Tidak ada cerita teater tanpa konflik. Oleh karena itupangkal persoalan atau titik awal konflik perlu dibuat dan disesuaikan dengan tema yang dikehendaki. Misalnya dengan tema “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”, pangkal persoalan yang dibicarakan adalah sikap licik seseorang yang selalu memfitnah orang lain demi kepentingannya sendiri. Persoalan ini kemudian diikembangkan dalam cerita yang hendak dituliskan.
  • Membuat sinopsis (ringkasan cerita). Gambaran cerita secara global dari awal sampai akhir hendaknya dituliskan. Sinopsis digunakan pemandu proses penulisan naskah sehingga alur dan persoalan tidak melebar. Dengan adanya sinopsis maka penulisan lakon menjadi terarah dan tidak mengada-ada.
  • Menentukan kerangka cerita. Kerangka cerita akan membingkai jalannya cerita dari awal sampai akhir. Kerangka ini membagi jalannya cerita mulai dari pemaparan, konflik, klimaks sampai penyelesaian. Dengan membuat kerangka cerita maka penulis akan memiliki batasan yang jelas sehingga cerita tidak berteletele. William Froug (1993) misalnya, membuat kerangka cerita (skenario) dengan empat bagian, yaitu pembukaan, bagian awal, tengah, dan akhir. Pada bagian pembukaan memaparkan sketsa singkat tokoh-tokoh cerita. Bagian awal adalah bagian pengenalan secara lebih rinci masing-masing tokoh dan titik konflik awal muncul. Bagian tengah adalah konflik yang meruncing hingga sampai klimaks. Pada bagian akhir, titik balik cerita dimulai dan konflik diselesaikan. Riantiarno (2003), sutradara sekaligus penulis naskah Teater Koma, menentukan kerangka lakon dalam tiga bagian, yaitu pembuka yang berisi pengantar cerita atau sebab awal, isi yang berisi pemaparan, konflik hingga klimaks, dan penutup yang merupakan simpulan cerita atau akibat.
  • Menentukan protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawa laku keseluruhan cerita. Dengan menentukan tokoh protagonis secara mendetil, maka tokoh lainnya mudah ditemukan. Misalnya, dalam persoalan tentang kelicikan, maka tokoh protagonis dapat diwujudkan sebagi orang yang rajin, semangat dalam bekerja, senang membantu orang lain, berkecukupan, dermawan, serta jujur. Semakin detil sifat atau karakter protagonis, maka semakin jelas pula karakter tokoh antagonis. Dengan menulis lawan dari sifat protagonis maka karakter antagonis dengan sendirinya terbentuk. Jika tokoh protagonis dan antagonis sudah ditemukan, maka tokoh lain baik yang berada di pihak protagonis atau antagonis akan mudah diciptakan.
  • Menentukan cara penyelesaian. Mengakhiri sebuah persoalan yang dimunculkan tidaklah mudah. Dalam beberapa lakon ada cerita yang diakhiri dengan baik tetapi ada yang diakhiri secara tergesa-gesa, bahkan ada yang bingung mengakhirinya. Akhir cerita yang mengesankan selalu akan dinanti oleh penonton. Oleh karena itu tentukan akhir cerita dengan baik, logis, dan tidak tergesa-gesa.
  • Menulis. Setelah semua hal disiapkan maka proses berikutnya adalah menulis. Mencari dan mengembangkan gagasan memang tidak mudah, tetapi lebih tidak mudah lagi memindahkan gagasan dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, gunakan dan manfaatkan waktu sebaik mungkin.


3.2 Analisis Lakon
Menganalisis lakon adalah salah satu tugas utama sutradara. Lakon yang telah ditentukan harus segera dipelajari sehingga gambaran 100% lengkap cerita didapatkan. Dengan analisis yang baik, sutradara akan lebih mudah menerjemahkan kehendak pengarang dalam pertunjukan.

3.2.1 Analisis Dasar
Analisis dasar adalah telaah unsur-unsur pokok yang membentuk lakon. Dalam proses analisis ini, sutradara memepelajari seluruh isi lakon dan menangkap gambaran lengkap lakon seperti apa yang tertulis. Jadi, dalam tahap ini sutradara hanya membaca kehendak pengarang melalui lakonnya. Unsur-unsur pokok yang harus dianalisis oleh sutradara adalah senagai berikut.
  • Pesan Lakon. Merupakan bahan komunikasi utama yang hendak disampaikan kepada penonton. Berhasil atau tidaknya sebuah pertunjukan teater diukur dari sampai tidaknya pesan lakon kepada penonton. Oleh karena itu, sutradara wajib menemukan pesan utama dari lakon yang telah ditentukan. Apa yang hendak disampaikan oleh pengarang melalui naskah lakon disebut pesan. Romeo and Juliet karya Shakespeare mengandung pesan bahwa seseorang yang telah menemukan cinta sejati tidak takut terhadap risiko apapun termasuk mati. Pesan ini ingin disampaikan oleh pengarang dengan akhir yang tragis dimana tokoh Romeo dan Juliet akhirnya mati bersama. Dinamika percintaan Romeo dan Juliet yang berakhir dengan kematian inilah yang harus ditekankan oleh sutradara kepada penonton.
  • Konflik dan Penyelesaian. Penting mengetahui dasar persoalan (konflik) dalam sebuah lakon karena hal tersebut akan membawa laku aksi para tokohnya. Di bagian mana konflik itu muncul dan bagaimana aksi dan reaksi para tokohnya, pada bagian mana konflik itu memuncak, dan pada akhirnya bagaimana konflik itu diselesaikan. Semua ini akan memberi sudut pandang bagi sutradara dalam melihat, menilai, dan memahami konflik lakon. Selain itu sudut pandang pengarang dalam menyelesaikan konflik dapat menegaskan pesan yang hendak disampaikan.
  • Karakter Tokoh. Analisis karakter tokoh sangat penting dan harus dilakukan secara mendetil agar sutradara mendapatkan gambaran watak sejelas-jelasnya. Karena tidak banyak arahan dan keterangan yang dituliskan mengenai karakter tokoh dalam sebuah lakon, maka sutradara harus menggalinya melalui kalimat-kalimat dialog. Perjalanan sebuah karakter terkadang tidak mengalami perubahan yang berarti tetapi beberapa tokoh dalam lakon (biasanya protagonis dan antagonis) bisa saja mengalami perubahan. Oleh karena itu analisis karakter ini harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati sehingga setiap perubahan karakter yang dialami oleh tokoh tidak lepas dari pengamatan sutradara.
  • Latar Cerita. Gambaran tempat kejadian, peristiwa, dan waktu kejadian harus diungkapkan dengan jelas karena hal ini berkaitan dengan tata artistik. Untuk mewujudkan keadaan peristiwa seperti dikehendaki lakon di atas panggung maka informasi yang jelas mengenai latar cerita harus didapatkan. Misalnya, gambaran tempat kejadian persitiwa adalah di sebuah gedung maka harus dijelaskan apakah terjadi di sebuah gedung megah, sederhana atau mewah. Apakah gedung tersebut merupakan gedung pertemuan, dewan kota, museum, atau gedung pertunjukan. Di gedung tersebut cerita terjadi di ruang aula, teras gedung, dapur umum, atau di salah satu ruang khusus. Arsitektur gedung itu apakah menggunakan arsitektur kolonial, gaya spanyol, atau ciri khas daerah tertentu. Intinya informasi sekecil apapun harus didapatkan. Hal ini berlaku juga untuk latar peristiwa dan waktu. Semua informasi dikumpulkan dan diseleksi untuk kemudian diwujudkan dalam pementasan. Dengan demikian penonton akan mendapatkan gambaran yang jelas latar cerita yang dimainkan.

3.2.2 Interpretasi
Setelah menganalisis lakon dan mendapatkan informasi lengkap mengenai lakon, maka sutradara perlu melakukan tafsir atau interpretasi.Berdasarkan hasil analisis, sutradara memberi sentuhan dan atau penyesuaian artistik terhadap lakon yang akan dipentaskan. Proses ini bisa disebut sebagai proses asimilasi (perpaduan) antara gagasan sutradara dan pengarang. Seorang sutradara sebetulnya boleh tidak melakukan interpretasi terhadap lakon, artinya, ia hanya sekedar melakukan apa yang dikehendaki oleh lakon apa adanya sesuai dengan hasil analisis. Akan tetapi sangat mungkin seorang sutradara memiliki gagasan astistik tertentu yang akan ditampilkandalam pementasan setelah menganalisa sebuah lakon. Proses interpretasi biasanya menyangkut unsur latar, pesan, dan karakterisasi.
  • Latar. Adaptasi terhadap tempat kejadian peristiwa sering dilakukan oleh sutradara. Secara teknis hal ini berkaitan dengan sumber daya yang dimiliki. Misalnya, dalam lakon mengehendaki tempat kejadian di sebuah apartemen yang mewah, tetapi karena ketersediaan sumber daya yang kurang memadahi maka bentuk penampilan apartemen mewah disesuaikan. Secara artistik, sutradara dapat menafsirkan tempat kejadian secara simbolis. Misalnya, apartemen mewah disimbolkan sebagai pusat kekuasaan maka tata panggungnya disesuaikan dengan simbolisasi tersebut. Ketika adaptasi ini dilakukan maka unsur-unsur lain pun seperti tata rias dan busana akan ikut terkait dan mengalami penyesuaian. Penyesuaian inipun berkaitan langsung dengan latar waktu dan peristiwa. Jika apartemen disimbolkan sebagai pusat kekuasaan maka peristiwa yang terjadi di dalamnya juga harus mengikuti simbolisasi ini sedangkan latar waktunya bisa ditarik ke masa lalu atau masa kini seperti yang dikehendaki oleh sutradara. Oleh karena itulah pentas teater dengan lakonlakon yang sudah berusia lama seperti Oedipus, Antigone, Romeo and Juliet masih aktual dipentaskan sekarang ini.
  • Pesan. Hal yang paling menarik mengenai penyampaian pesan kepada penonton adalah caranya. Cara menyampaikan pesan antara sutradara satu dengan yang lain bisa berbeda meskipun lakon yang dipentaskan sama. Cara menyampaikan pesan ini menjadi titik tafsir lakon yang penting karena pesan inilah inti dari keseluruhan lakon. Untuk menekankan pesan yang dimaksud ada sutradara yang memberi penonjolan pada tata artistik, misalnya warna-warna yang digunakan di atas panggung. Ada juga sutradara yang menonjolkan laku aksi aktor di atas pentas sehingga adegan dibuat dan dikerjakan secara detil. Masing-masing cara penonjolan pesan ini mempengaruhi unsur-unsur lain dalam pementasan. Dengan demikian sutradara harus benar-benar memikirkan cara menyampaikan pesan lakon dengan mempertimbangkan unsur-unsur lakon dan sumber daya yang dimiliki.
  • Karakterisasi. Tafsir ulang terhadap tokoh lakon paling sering dilakukan. Hal ini biasanya berkaitan dengan isu atau topik yang sedang hangat terjadi di masyarakat. Tafsir ulang tokoh tidak hanya sekedar mengubah nama dan menyesuaikan bentuk penampilan fisik, tetapi juga mental, emosi, dan keseluruhan watak tokoh. Misalnya, sebuah lakon yang tokohtokohnya memiliki latar belakang budaya Eropa hendak diadaptasi ke dalam budaya Indonesia. Banyak hal yang harus dilakukan selain mengganti nama dan penampilan fisik, yaitu cara berbicara, gaya berjalan, tata krama, pandangan hidup, takaran emosi dan cara berpikir. Semuanya memliki keterkaitan. Misalnya, dalam budaya Eropa orang bepikir secara bebas sementara orang Indonesia cenderung mempertimbangkan hal-hali lain (tata krama, pranata sosial) di luar hal utama yang dipikirkan. Hal ini mempengaruhi hasil pemikiran dan cara mengungkapkan hasil pikiran tersebut.Dengan demikian cara pandang sutradara terhadap keseluruhan lakon pun harus diubah atau mengalami penyesuaian.

3.3 Konsep Pementasan
Hasil akhir dari analisis naskah adalah konsep pementasan.Dalam konsep ini sutradara menjelaskan secara lengkap mengenai cara menyampaikan pesan yang berkaitan dengan pendekatan gaya pementasan dan pendekatan pemeranan serta memberikan gambaran global tata artistik.
  • Pendekatan gaya pementasan. Seniman teater dunia telah banyak berusaha melahirkan gaya pementasan. Dewasa ini hampir tidak bisa ditemukan gaya pementasan murni yang dihasilkan seorang sutradara atau pemikir teater. Setiap kelahiran gaya baru memiliki keterkaitan atau perlawanan terhadap gaya tertentu (baca bagian sejarah teater). Oleh karena itu, hal yang paling bisa adalah mendekatkan gaya pementasan dengan gaya tertentu yang sudah ada. Istilah pendekatan di sini digunakan dalam arti sutradara tidak hanya sekedar melaksanakan sebuah gaya secara wantah (utuh) tetapi ada pengembangan atau penyesuaian di dalamnya. Untuk itu, sutradara harus memahami gaya-gaya pementasan. Dengan demikian pendekatan yang dilakukan tidak salah sasaran. Konvensi atau aturan main sebuah pertunjukan diungkapkan dalam poin ini, misalnya, karena menggunakan pendekatan gaya presentasional, maka bahasa dialog antaraktor menggunakan bahasa yang puitis. Gerak laku aktor distilisasi atau diperindah. Aktor boleh berbicara secara langsung kepada penonton.
  • Pendekatan pemeranan. Setelah menetapkan pendekatan gaya, maka metode pemeranan yang dilakukan perlu dituliskan. Hal ini sangat berguna bagi aktor. Metode akting berkaitan dengan pencapaian aktor (standar) sesuai dengan pendekatan gaya pementasannya. Misalnya, penggunaan bahasa puitis dengan sendirinya membuat aktor harus mau memahami dan melakukan latihan teknik-teknik membaca puisi agar dalam pengucapan dialog tidak seperti percakapan sehari-hari. Hal ini mempengaruhi bentuk dan gaya penampilan aktor dalam beraksi. Sutradara harus membuat metode tertentu dalam sesi latihan pemeranan untuk mencapai apa yang dinginkan.
  • Gambaran tata artistik. Secara umum, sutradara harus menuliskan gambaran (pandangan) tata artistiknya. Meski tidak secara mendetil, tetapi gambaran tata artisitk berguna bagi para desainer untuk mewujudkannya dalam desain. Jika sutradara mampu, maka ia bisa memberikan gambaran tata artistik melalui sketsa. Jika tidak, maka ia cukup menuliskannya..
 3.4 Memilih Pemain
Menentukan pemain yang tepat tidaklah mudah. Dalam sebuah grup atau sanggar, sutradara sudah mengetahui karakter pemainpemainnya (anggota). Akan tetapi, dalam sebuah grup teater sekolah yang pemainnya selalu berganti atau kelompok teater kecil yang membutuhkan banyak pemain lain sutradara harus jeli memilih sesuai kualifikasi yang dinginkan. Grup teater tradisional biasanya memilih pemain sesuai dengan penampilan fisik dengan ciri fisik tokoh lakon, misalnya dalam wayang orang atau ketoprak. Akan tetapi, dalam teater modern, memilih pemain biasanya berdasar kecapakan pemain tersebut.

3.4.1 Fisik
Penampilan fisik seorang pemain dapat dijadikan dasar menentukan tokoh. Biasanya, dalam lakon yang gambaran tokohnya sudah melekat di masyarakat, misalnya tokoh-tokoh dalam lakon pewayangan, penentuan pemain berdasar ciri fisik ini menjadi acuan utama.
  • Ciri Wajah. Berkaitan langsung dengan penampilan mimik aktor. Meskipun kekurangan wajah bisa ditutupi dengan tata rias, tetapi ciri wajah pemain harus diusahakan semirip mungkin dengan ciri wajah tokoh dalam lakon. Hal ini dianggap dapat mampu melahirkan ekspresi wajah yang natural. Misalnya, dalam cerita Kabayan, maka pemain harus memiliki ciri wajah yang tampak tolol.
  • Ukuran Tubuh. Dalam kasus tertentu, ukuran tubuh merupakan harga mati bagi sebuah tokoh. Misalnya, dalam wayang wong, tokoh Bagong memiliki ukuran tubuh tambun (gemuk), maka pemain yang dipilih pun harus memiliki tubuh gemuk. Tidak masuk akal jika Bagong tampil dengan tubuh kurus.
  • Tinggi Tubuh. Hal ini juga sama dengan ukuran tubuh. Tokoh Werkudara (Bima) harus ditokohkan oleh orang yang bertubuh tinggi besar. Sutradara akan diprotes oleh penonton jika menampilkan Bima bertubuh kurus dan pendek, karena tidak sesuai dengan karakter dan akan menyalahi laku lakon secara keseluruhan.
  • Ciri Tertentu. Ciri fisik dapat pula dijadikan acuan untuk menentukan pemain. Misalnya, dalam ketoprak, seorang yang tinggi tapi bungkuk dianggap tepat memainkan tokoh pendeta. Seorang yang memiliki kumis, janggut, dan brewok tebal cocok diberi tokoh sebagai warok atau jagoan.

3.4.2 Kecakapan
Menentukan pemain berdasar kecapakan biasanya dilakukan melalui audisi. Meskipun dalam khasanah teater modern, sutradara dapat menilai kecakapan pemain melalui portofolio tetapi proses audisi tetap penting untuk menilai kecakapan aktor secara langsung.
  • Tubuh. Kesiapan tubuh seorang pemain merupakan faktor utama. Tidak ada gunanya seorang aktor bermain dengan baik jika fisiknya lemah. Dalam sebuah produksi yang membutuhkan latihan rutin dan intens dalam kurun waktu yang lama ketahanan tubuh yang lemah sangatlah tidak menguntungkan. Untuk menilai kesiapan tubuh pemain, maka latihan katahanan tubuh dapat diujikan.
  • Wicara. Kemampuan dasar wicara merupakan syarat utama yang lain. Dalam teater yang menggunakan ekspresi bahasa verbal kejelasan ucapan adalah kunci ketersampaian pesan dialog. Oleh karena itu pemain harus memiliki kemampuan wicara yang baik. Penilaian yang dapat dilakukan adalah penguasan, diksi, intonasi, dan pelafalan yang baik. Dengan memberikan teks bacaan tertentu, calon aktor dapat dinilai kemampuan dasar wicaranya.
  • Penghayatan. Menghayati sebuah tokoh berarti mampu menerjemahkan laku aksi karakter tokoh dalam bahasa verbal dan ekspresi tubuh secara bersamaan. Untuk menilai hal ini, sutradara dapat memberikan penggalan adegan atau dialog karakter untuk diujikan. Calon aktor, harus mampu menyajikannya dengan penuh penghayatan. Untuk menguji lebih mendalam sutrdara juga dapat memberikan penggalan dialog karakter lain dengan muatan emosi yang berbeda.
  • Kecakapan lain. Kemampuan lain selain bermain tokoh terkadang dibutuhkan. Misalnya, seorang calon aktor yang memiliki kemampuan menari, menyanyi atau bermain musik memiliki nilai lebih. Mungkin dalam sebuah produksi ia tidak memenuhi kriteria sebagai pemain utama, tetapi bisa dipilih sebagai seorang penari latar dalam adegan tertentu. Untuk itu, portofolio sangat penting bagi seorang aktor profesional. Catatan prestasi dan kemampuan yang dimiliki hendaknya ditulis dalam portofolio sehingga bisa menjadi pertimbangan sutradara.

3.5 Menentukan Bentuk dan Gaya Pementasan
Bentuk dan gaya pementasan membingkai keseluruhan penampilan pementasan. Penting bagi sutradara untuk menentukan dengan tepat bentuk dan gaya pementasan. Bentuk dan gaya yang dipilih secara serampangan akan mempengaruhi kualitas penampilan. Kehatihatian dalam memilih bentuk dan gaya bukan saja karena tingkat kesulitan tertentu, tetapi latar belakang pengetahuan dan kemampuan sutradara sangat menentukan. Di bawah ini akan dibahas bentuk dan gaya pementasan menurut penuturan cerita, bentuk penyajian, dan gaya penyajian. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta membutuhkan kecakapan sutradara dalam bidang tertentu untuk melaksanakannya.

3.5.1 Menurut Penuturan Cerita
Ada dua jenis pertunjukan teater menurut penuturan ceritanya, yaitu berdasar naskah lakon dan improvisasi. Teater tradisional biasanya memilih imporivisasi karena semua pemain telah memahami dengan baik cerita yang akan dilakonkan dan karakter tokoh yang akan ditokohkan. Sebaliknya, teater modern menggunakan naskah lakon sebagai sumber penuturan. Meskipun beberapa kelompok teater modern tertentu memperbolehkan improvisasi (biasanya lakon komedi situasi) tetapi sumber utama dialognya diambil dari naskah lakon.

3.5.1.1 Berdasar Naskah Lakon
Mementaskan teater berdasarkan naskah lakon menjadi ciri umum teater modern. Hal ini memiliki kelebihan tersendiri, di antaranya adalah sebagai berikut.
  • Durasi waktu dapat ditentukan dengan pasti. Karena dialog tokoh sudah ditentukan dan tidak boleh ditambah atau dikurangi maka durasi pementasan dapat ditentukan. Dari serangkaian latihan yang dikerjakan secara rutin dan kontinyu ditambah dengan unsur artistik dan teknis maka lamanya pertunjukan teater berdasar naskah dapat ditetapkan. Bahkan dalam produksi teater profesional yang semuanya dirancang dengan baik, lamanya adegan, perpindahan antaradegan, dan tanda keluar-masuk ilustrasi musik atau pencahayaan ditentukan waktunya sehingga setiap detik sangat berharga dan menentukan berhasil tidaknya pertunjukan tersebut.
  • Arahan dialog sudah ada. Sutradara tidak perlu menambah atau mengurangi dialog yang sudah tertulis dalam lakon kecuali punya keinginan mengadaptasinya. Tugas aktor adalah menghapalkan dialog tersebut dan mengucapkannya dalam pementasan. Dalam lakon terkadang arahan emosi berkaitan dengan dialog juga dituliskan sehingga sutrdara lebih mudah dalam memantau emosi tokoh yang ditokohkan aktor.
  • Arahan laku permainan dapat ditemukan dalam naskah.Dengan mempelajari naskah, arahan laku permainan dari awal sampai akhir dapat ditemukan. Dengan demikian, sutradara mudah dalam membuat perencanaan blocking.
  • Konflik dan penyelesaian tidak bekembang. Karena tidak ada impovisasi, maka konflik dan penyelesaian lakon pasti.
  • Fokus permasalahan telah ditentukan. Sutradara menjadi mudah menentukan penekanan permasalahan lakon. Pengembangan yang dilakukan hanyalah persoalan sudut pandang.
  • Gambaran bentuk latar kejadian dapat ditemukan dalam naskah. Lakon telah menyediakan gambaran lengkap laku perisitiwa melalui dialog tokoh-tokohnya. Gambaran ini sangat penting bagi sutradara untuk mewujudkannya di atas pentas. Kalaupun hendak melakukan adaptasi atau penyesuaian, sutradara telah mendapatkan gambarannya. Di samping kelebihan tersebut di atas, pementasan teater berdasar naskah lakon juga memiliki kekurangan dan problem tersendiri.
  • Jika sumber daya yang dimiliki tidak sesuai dengan kehendak lakon harus dilakukan adaptasi. Hal ini perlu dilakukan. Jika memaksakan kehendak harus sesuai dengan gagasan lakon, maka kerja sutradara akan semakin keras. Tergantung dari kekurangan sumber daya yang dimiliki. Jika sumber daya manusia (aktor) yang kurang, maka sutradara memerlukan waktu ekstra untuk membimbing para aktornya. Jika sumber dana yang kurang maka tim poruduksi harus berusaha keras untuk memenuhi tuntutan tersebut. Jika hendak menyesuaikan dengan ketersediaan sumber daya, maka adaptasi lakon harus dilakukan. Sutradara perlu meluangkan waktu untuk melakukannya.
  • Kreativitas aktor terbatas. Dengan ditentukannya arah laku maka kreativitas aktor di atas panggung menjadi terbatas. Meskipun secara artistik tidak masalah, tetapi karya teater menjadi karya sutradara. Aktor tidak memiliki kebebasan penuh selain menerjemahkan konsep artistik sutradara.
  • Tidak memungkinkan pengembangan cerita. Cerita yang telah dituliskan oleh pengarang harus ditaati. Setuju atau tidak setuju terhadap cerita, konflik, dan penyelesaian konflik, sutradara harus mengikutinya. Jika sutradara hendak mengembangkan cerita, konflik dan mengubah cara penyelesaian, ia harus mendapatkan ijin dari penulis naskah lakon. Jika ia tetap melakukannya, maka sutradara telah melanggar kode etik dan hak karya artistik. Jika naskah lakon tersebut telah dipublikasikan dalam bentuk buku dan memiliki hak cipta maka sutradara bisa dituntut di muka hukum.

3.5.1.2 Improvisasi
Mementaskan teater secara improvisasi memiliki keunikan tersendiri. Sutradara hanya menyediakan gambaran cerita selanjutnya aktor yang mengembangkannya dalam permainan. Beberapa kelebihan pentas teater improvisasi adalah:
  • Kreativitas sutradara dan aktor dapat dikembangkan seoptimal mungkin. Sutradara dapat mengembangkan cerita dengan bebas dan aktor dapat mengembangkan kemungkinan gayapermainan dengan bebas pula. Dalam proses latihan terkadang sutradara mendapat inspirasi dari laku aksi pemain demikian pula sebaliknya. Dengan berkembangnya cerita maka aktor mendapatkan arahan laku lain yang bisa dicobakan.
  • Arahan laku terbuka. Oleh karena tidak ada petunjuk arah laku yang jelas, maka aktor dapat mengembangkannya. Terkadang hal ini dapat menimbulkan efek artistik yang alami dan menarik.
  • Konflik dan sudut pandang penyelesaian bisa dikembangkan. Sifat teater improvisasi yang terbuka memungkinkan pengembangan konflik dan penyelesaian. Dalam teater tradisional, mereka biasanya menerima pesan tertentu dari penyelenggara. Pesan ini dengan luwes dapat diselipkan dalam lakon. Terkadang untuk menyampaikan pesan titipan tersebut konflik minor baru dimunculkan. Setelah konflik ini diselesaikan dengan cara yang khas dan lucu maka cerita kembali ke konflik semula.
  • Memungkinkan percampuran bentuk gaya. Dalam teater improvisasi gaya pementasan juga terbuka. Misalnya, dalam pertunjukan ketoprak sebuah adegan dilakukan mengikuti kaidah gaya presentasional (adegan Istana), tetapi di adegan lain menggunakan gaya realis (adegan dagelan). Pencampuran gaya ini dimaksudkan untuk memenuhi selera penonton.
  • Cerita bisa disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki. Salah satu kelebihan utama teater improvisasi adalah cerita dan pemeran dapat dibuat berdasarkan sumber daya yang dimiliki. Jika banyak pemain yang bisa melucu maka cerita komedi akan efektif, tetapi jika jumlah pemain yang memiliki kemampuan laga banyak, maka cerita penuh aksi dapat dijadikan pilihan. Kemampuan sumber daya ini bisa dijadikan strategi untuk membuat pertunjukan menarik dan memiliki ciri khas tertentu.

Di balik semua kelebihan di atas, teater improvisasi juga memiliki kekurangan yang patut diperhatikan oleh sutradara.
  • Durasi waktu tidak tertentu. Oleh karena cerita bisa dikembangkan, maka durasi pementasan bisa berubah-ubah.Semua tergantung dari improvisasi aktor di atas pentas. Sutradara bisa memotong sebuah adegan yang berjalan cukup lama dengan membunyikan tanda agar musik dimainkan dan adegan segera diselesaikan. Kekurangan dari pemotongan adegan ini adalah jika inti dialog (persoalan) belum sempat terucapkan maka inti dialog harus diucapkan pada adegan berikutnya.
  • Improvisasi dialog tidak berimbang. Dalam sebuah grup teater, kemampuan setiap aktor pasti tidak sama. Oleh karena itu, jika sutradara tidak jeli memahami hal ini, bisa jadi ia memasangkan aktor yang memilliki kemampuan tak berimbang dalam improvisasi. Akibatnya, dalam adegan tersebut aktor yang satu terlalu aktif dan yang lain pasif. Jika hal ini terjadi cukup lama, maka akan membosankan.
  • Kualitas dialog tidak dapat distandarkan. Karena tidak ada arahan dialog yang baku, maka kualitas dialog tidak bisa distandarkan. Bagi aktor yang memiliki kemampuan sastra memadai tidak jadi masalah, tetapi bagi aktor yang kualitas sastranya pas-pasan hal ini menjadi masalah besar. Untuk itu, meskipun improvisasi, latihan adegan tetap harus sering dilakukan.
  • Kemungkinan aktor melakukan kesalahan lebih besar. Sifat akting adalah aksi dan reaksi. Jika seorang aktor beraksi, maka aktor lawan mainnya harus bereaksi. Karena arahan laku yang terbuka maka reaksi ucapan sering dilakukan spontan dan belum tentu benar. Di samping itu, kesalahan ucap atau penyampaian informasi tertentu bisa saja salah karena memang tidak dicatat dan hanya diingat garis besarnya saja.
  • Sutradara tidak bisa sepenuhnya mengendalikan jalannya pementasan. Jika pementasan sudah berjalan, maka panggung sepenuhnya adalah milik aktor. Sutradara tidak bisa lagi mengendalikan jalannya pertunjukan. Aktor mengambil tokoh penuh. Karena sifatnya yang serba terbuka, aktor bisa mengembangkan cerita dan gaya permainan di atas pentas dan sutradara tidak bisa lagi mengarahkan secara langung. Jika dalam teater berbasis naskah, lakon sebagai pengendali cerita maka dalam teater imrpovisasi aktor harus mampu mengendalikan jalannya cerita.
 3.5.2 Menurut Bentuk Penyajian
Banyaknya pilihan bentuk penyajian pementasan teater membuat sutradara harus jeli dalam menentukannya. Jika tidak, sutradara akan kerepotan sendiri. Oleh karena setiap bentuk penyajian memiliki kekhasan dan membutuhkan prasyarat tertentu yang harus dipenuhi, maka sutradara wajib mempelajari dan memahami langkah-langkah dalam melaksanakannya.

3.5.2.1 Teater Gerak
Teater gerak lebih banyak membutuhkan ekspresi gerak tubuh dan mimik muka daripada wicara. Pesan yang tidak disampaikan secara verbal membutuhkan keahlian tersendiri untuk mengelolanya. Di bawah ini beberapa langkah yang bisa diambil oleh sutradara dalam menggarap teater gerak
  • Sutradara mampu mengeksplorasi dan menciptakan gerak. Simbol dan makna yang disampaikan melalui gerak harus dikerjakan dengan teliti. Jika tidak, maka maknanya akan kabur. Sutrdara harus mampu mengeksplorasi dan menciptakan gerak sesuai dengan makna pesan yang hendak disampaikan.
  • Memahami komposisi dan koreografi. Karena bekerja dengan gerak, maka teori komposisi dan koreografi dasar wajib dimiliki oleh sutradara. Penataan gerak tidak bisa dikerjakan dengan serampangan, harus mempertimbangkan makna pesan, suasana, dan terutama musik ilustrasinya. Untuk mendukung rangkaian gerak yang telah diciptakan, pengaturan pemain perlu dilakukan. Meskipun rangkaian gerak yang dihasilkan sangat indah, tetapi jika komposisi (tata letak) pemainnya tidak berubah akan melahirkan kejenuhan.
  • Mewujudkan bahasa dalam simbol gerak. Mengubah bahasa dalam simbol gerak tidaklah mudah. Apalagi jika sudah menyangkut makna. Oleh karena itu, sutradara harus bisa mewujudkan bahasa verbal dalam simbol gerak.
  • Mewujudkan ekspresi melalui mimik para aktor. Ekspresi emosi atau karakter tokoh harus bisa diwujudkan melalui mimik para aktor. Oleh karena keterbatasan bahasa verbal dalam pertunjukan teater gerak, maka ekspresi mimik menjadi sangat penting.
  • Mengerti musik ilustrasi. Meskipun tidak bisa memainkan musik, sutradara teater gerak harus mengerti kaidah musik ilustrasi. Kapan musik mengikuti gerak pemain, kapan pemain harus menyesuaikan dengan alunan musik, kapan musik hadir sebagai latar suasana, dan perbedaannya harus dimengerti oleh sutradara.
  • Jika pemain dalam jumlah banyak, maka pengaturan blocking harus lebih teliti. Jumlah pemain yang banyak menimbulkan persoalan tersendiri, terutama menyangkut komposisi. Jika tidak pintar mengelola, maka banyaknya jumlah pemain justru akan memenuhi panggung dan membuat suasana menjadi sesak. Menempatkan pemain dalam posisi dan gerak yang tepat akan membuat pertunjukan semakin menarik. Jika jumlah pemain banyak dan harus bergerak secara serempak, maka dianjurkan untuk mengkreasi gerak sederhana yang mudah dilakukan. Jika gerak terlalu sulit, maka irama rampak gerak yang diharapkan bisa kacau.
  • Jika pemain sedikit maka motif gerak harus lebih variatif. Jumlah pemain bisa disiasati dengan menambah perbendaharaan gerak. Motif gerak yang kaya akan membuat tampilan menjadi variatif dan menyegarkan.

3.5.2.2 Teater Boneka
Teater boneka memiliki karakter yang khas tergantung jenis boneka yang dimainkan. Kewajiban sutradara tidak hanya mengatur pemain manusia, tetapi juga mengatur permainan boneka. Di bawah ini beberapa langkah yang bisa dikerjakan oleh sutradara yang hendak mementaskan teater boneka.
  • Mampu memainkan boneka dengan baik. Banyak jenis boneka dan masing-masing membutuhkan teknik khusus dalam memperagakannya. Boneka dua dimensi seperti wayang kulit memiliki teknik memainkan berbeda dengan boneka tiga dimensi seperti wayang golek. Boneka wayang golek memiliki teknik permainan yang berbeda dengan boneka marionette yang dimainkan dengan tali. Sutradara harus bisa memainkan boneka tersebut.
  • Mampu mengisi suara sesuai dengan karakter boneka. Mengisi suara sesuai karakter boneka menjadi prasyarat utama. Karakter suara harus bisa tampil secara konsisten dari awal hingga akhir pertunjukan. Biasanya seorang pemain boneka bisa membuat beberapa karakter suara yang berbeda.
  • Mampu menghidupkan ekspresi boneka yang dimainkan. Memainkan boneka bisa saja dipelajari, tetapi memberikan ekspresi hidup adalah hal yang lain. Ekspresi selalu menyangkut penghayatan dan konsentrasi. Karena tokoh diperagakan oleh boneka, maka karakter boneka harus benarbenar melekat sehingga pengendali boneka seolah-olah bisa memberikan nafas hidup di dalamnya. Boneka yang dimainkan dengan hidup akan menarik dan tampak nyata.
  • Jika pemain boneka banyak maka harus mampu mengatur adegan agar pergerakan boneka tidak saling mengganggu. Jika lakon yang dimainkan membutuhkan banyak tokoh, maka pengaturan adegan harus dikerjakan dengan teliti. Tempat pertunjukan teater boneka yang terbatas harus disesuaikan dengan jumlah boneka yang tampil. Selain itu, seorang pengendali biasanya hanya bisa mengendalikan maksimal dua boneka, maka penampilan boneka yang terlalu banyak juga akan merepotkan para pengendalinya.
  • Jika pemain sedikit harus memiliki kemampuan mengisi suara dengan karakter yang berbeda. Jumlah pengendali boneka yang sedikit tidak masalah asal setiap orang mampu menciptakan beberapa karakter suara. Yang terpenting dan perlu dicatat adalah setiap boneka mempunyai karakter suaranya sendiri.
  • Mampu membangun kerjasama antarpemain boneka. Dalam teater boneka kerjasama antarpemain tidak hanya menyangkut emosi, tetapi juga menyangkut hal-hal teknis. Keluar masuknya boneka di atas pentas berkaitan langsung dengan pengendali bonekanya. Oleh karena itu, pengaturan adegan boneka disesuaikan dengan kemampuan pengendali. Jika tidak ada kerjasama yang baik antarpemain (pengendali boneka), maka pergantian adegan bisa semrawut sehingga para pemain kewalahan.

3.5.2.3 Teater Dramatik
Mementaskan teater dramatik membutuhkan kerja keras sutradara terutama terkait dengan akting pemeran. Oleh karena tuntutan pertunjukan teater dramatik yang mensyaratkan laku aksi seperti kisah nyata, maka sutradara harus benar-benar jeli dalam menilai setiap aksi para aktor. Demikian juga dengan suasana kejadian, semua harus tampak natural, tidak dibuat-buat. Beberapa langkah yang dapat dikerjakan oleh sutradara dalam menggarap teater dramatik adalah sebagai berikut.
  • Memahami tensi dramatik (dinamika lakon). Laku lakon dari awal sampai akhir mengalami dinamika atau ketegangan yang turun naik. Sutradara harus memahami bobot tegangan (tensi) dramatik dalam setiap adegan yang ada pada lakon. Jika pada bagian awal konflik tegangan terlalu tinggi, maka aktor akan kesulitan meninggikan tegangan pada saat klimaks. Hasil akhirnya adalah anti klimaks di mana pada adegan yang seharusnya memiliki tensi tinggi justru melemah karena energi para aktornya telah habis. Untuk menghindari hal tersebut sutradara harus benar-benar teliti dalam mengukur tegangan dramatik adegan per adegan dalam lakon. Jika dianalogikan dengan nilai 1 sampai dengan 10, maka sutradara harus menetapkan tegangan optimal dan minimal. Angka tertinggi dari deret tegangan yang harus dicapai oleh aktor adalah 8 atau 9, sehingga ketika dalam adegan tertentu membutuhkan tegangan yang lebih aktor masih bisa mengejarnya. Intinya, bijaksanalah dalam menentukan tegangan dramatik adegan dan buatlah klimaks yang mengesankan dan penyelesaian yang dramatis.
  • Memahami sisi kejiwaan karakter tokoh. Hal yang paling sulit dilakukan oleh sutradara adalah membongkar kejiwaan karakter tokoh dan mewujudkannya dalam laku aktor di ataspentas. Sisi kejiwaan yang menyangkut perasaan karakter tokoh harus dapat ditampilkan senatural mungkin sehingga penonton menganggap hal itu benar-benar nyata terjadi. Di sinilah letak kesulitannya, aktor diharuskan berakting tetapi seolah-olah ia tidak berakting melainkan melakukan kenyataan hidup. Jika sutradara tidak memahami kejiwaan
  • karakter tokoh dengan baik maka penilaiannya terhadap kualitas penghayatan aktor pun kurang baik. Jika demikian, maka efek dramatik yang diharapkan dari aksi aktor menjadi gagal.
  • Mampu meningkatkan kualitas pemeranan aktor untuk menghayati tokoh secara optimal. Berkaitan dengan karakter tokoh, sutradara harus dapat menentukan metode yang tepat agar para aktornya dapat memahami, menghayati dan memerankan karakter dengan baik. Banyak sutradara yang mengadakan semacam pemusatan latihan dalam kurun waktu yang cukup lama dengan tujuan agar para aktornya berada dalam suasana lakon yang akan dipentaskan.
  • Mampu menghadirkan laku cerita seperti sebuah kenyataan hidup. Langkah pamungkas yang dapat dijadikan patokan adalah menghadirkan pentas seperti sebuah kenyataan hidup.
  • Membuat penonton terkesima dengan pertunjukan tidaklah mudah. Dalam teater dramatik, jika melakonkan cerita yang sedih ukuran keberhasilannya adalah membuat penonton ikut terhanyut sedih. Demikian pula dengan cerita suka-ria, maka penonton harus dibawa dalam suasana yang suka-ria. Untuk mencapai hasil maksimal maka kejelian sutradara dalam mengamati dan menangani keseluruhan unsur pertunjukan sangat dibutuhkan. Kejanggalan-kejanggalan kecil yang dirasa kurang masuk akal oleh penonton akan mengurangi kualitas dramatika lakon yang dihadirkan. Teater dramatik adalah teater yang mencoba meniru peristiwa kehidupan secara total dan sempurna. Jadi, hindarilah kesalahan atau hal yang tidak lumrah dan berada di luar jangkauan nalar penonton.

3.5.2.4 Drama Musikal
Kemampuan multi harus dimiliki oleh seorang sutradara jika hendak mementaskan drama musikal. Bahasa ungkap yang beragam antara bahasa verbal, lagu, gerak, dan musikal harus dirangkai secara harmonis untuk mencapai hasil maksimal. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sutradara dalam drama musikal adalah sebagai berikut.
  • Mengerti karya musik dramatik. Sutradara tidak harus bisa memainkan musik, tetapi memahami karya musik merupakan keharusan dalam drama musikal. Tokohan musik sangat doniman dalam drama musikal bahkan musik bisa hadir secara mandiri untuk menceritakan sesuatu. Artinya, musik itu sendiri sudah bercerita sehingga pemain atau penari yang berada di atas panggung hanyalah pelengkap gambaran peristiwa. Pada adegan lain, tokoh musik bisa menjadi pengiring lagu yang bercerita, pengiring gerak, dan ilustrasi suasana kejadian. Kepiawaian sutradara dalam menentukan kegunaan karya musik yang satu dengan yang lain benarbenar dibutuhkan. Jika karya drama musikal tersebut berawal dari karya musik murni (musik yang bercerita) seperti The Cats karya Andrew Lloyd Webber, maka sutradara harus benar-benar piawai dalam mengolah visualisasinya di atas pentas.
  • Mengerti lagu dan nyanyian. Tokohan dialog verbal yang digubah dalam bentuk lagu dan diucapkan melalui nyanyian adalah satu hal yang membutuhkan perhatian tersendiri. Ketepatan nada dalam nyanyian serta ekspresi wajah ketika menyanyi juga tidak boleh luput dari pengamatan. Banyak penyanyi yang memiliki suara baik tetapi ekspresinya datar, demikian pula sebaliknya. Sutradara harus mampu memecahkan masalah dasar tersebut. Lagu dan nyanyian harus bisa ditampilkan secara baik dan harmonis.
  • Mampu membuat gerak dan ekspresi berdasar karya musik. Pada adegan dimana musik bercerita secara mandiri maka sutradara harus mampu memvisualisasikan cerita tersebut di atas pentas. Memilih pelaku yang tepat dan membuat komposisi atau koreografi berdasar karya musik yang ada. Ekspresi cerita melalui nada-nada musik harus benar-benar bisa divisualisasikan dengan tepat.
  • Mampu membuat gerak, komposisi, dan koreografi. Dalam satu adegan saat cerita diungkapkan melalui gerak, maka sutradara harus mampu menciptkan koreografinya. Dalam hal ini musik bertindak sebagai pengiring. Makna cerita sepenuhnya dituangkan dalam wujud gerak. Dituntut kepiawaian sutradara dalam memilih dan merangkai motif gerak. Meskipun sutradara bekerja dengan seorang koreografer, tetapi makna dan atau simbolisasi cerita harus benar-benar bisa diwujudkan dalam gerak tarian yang dilakukan. Koreografer bisa saja mencipta gerak, tetapi pada akhirnya sutradara yang memutuskan.
 3.6 Blocking
Sutradara diwajibkan memahami cara mengatur pemain di atas pentas. Bukan hanya akting tetapi juga blocking. Secara mendasar blocking adalah gerakan fisik atau proses penataan (pembentukan) sikap tubuh seluruh aktor di atas panggung. Blocking dapat diartikan sebagai aturan berpindah tempat dari titik (area) satu ke titik (area) yang lainnya bagi aktor di atas panggung. Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka perlu diperhatikan agar blocking yang dibuat tidak terlalu rumit, sehingga lalulintas aktor di atas panggung berjalan dengan lancar. Jika blocking dibuat terlalu rumit, maka perpindahan dari satu aksi menuju aksi yang lain menjadi kabur. Yang terpenting dalam hal ini adalah fokus atau penekanan bagian yang akan ditampilkan. Fungsi blocking secara mendasar adalah sebagai berikut.
  • Menerjemahkan naskah lakon ke dalam sikap tubuh aktor sehingga penonton dapat melihat dan mengerti.
  • Memberikan pondasi yang praktis bagi aktor untuk membangun karakter dalam pertunjukan.
  • Menciptakan lukisan panggung yang baik.
Dengan blocking yang tepat, kalimat yang diucapkan oleh aktor menjadi lebih mudah dipahami oleh penonton. Di samping itu, blocking dapat mempertegas isi kalimat tersebut. Jika blocking dikerjakan dengan baik, maka karakter tokoh yang dimainkan oleh para aktor akan tampak lebih hidup.






3.6.1 Pembagian Area Panggung
Gambar Pembagian sembilan area panggung



UL



UC


UR


CL



C


CR


DL



DC


D
UR = Atas Kanan, UC = Atas Tengah, UL = Atas Kiri, RC = Tengah Kanan,
C = Tengah, LC = Tengah Kiri, DR = Bawah Kanan, DC = Bawah Tengah,
DL = Bawah Kiri
Untuk membuat atau merencanakan blocking bagi para pemain, perlu diketahui terlebih dahulu pembagian area panggung. Panggung pertunjukan secara kompleks dibagi dalam lima belas area, yaitu tengah, tengah kanan, tengah kiri, kanan, kiri, bawah tengah, bawah kanan tengah, bawah kiri tengah, bawah kanan, bawah kiri, atas tengah, atas kanan tengah, atas kiri tengah, atas kanan, dan atas kiri. Pembagian panggung dalam lima belas area ini biasanya digunakan untuk panggung yang berukuran besar.
Letak kanan dan kiri atau atas dan bawah ditentukan berdasar pada arah hadap aktor ke penonton. Kanan adalah kanan pemain dan bukan kanan penonton dan kiri adalah kiri pemain. Atas adalah jarak terjauh dari penonton, sedangkan bawah adalah jarak terdekat dengan penonton, sedangkan kanan adalah posisi kanan arah hadap aktor atau sisi kiri penonton.
Secara sederhana dan umum panggung dibagi sembilan area, yaitu tengah, tengah kanan, tengah kiri, bawah tengah, bawah kanan, bawah kiri, atas tengah, atas kanan, dan atas kiri. Panggung yang tidak terlalu luas jika dibagi menjadi lima belas area, maka luas masing-masing area akan terlalu sempit sehingga tidak memungkinkan sebuah pergerakan yang leluasa baik untuk pemain maupun perabot. Pembagian sembilan area juga memudahkan sutradara dalam memberikan arah gerak kepada para aktornya.

3.6.2 Komposisi
Komposisi dapat diartikan sebagai pengaturan atau penyusunan pemain di atas pentas. Sekilas komposisi mirip dengan blocking. Bedanya, blocking memiliki arti yang lebih luas karena setiap gerak, arah laku, perpindahan pemain serta perubahan posisi pemain dapat disebut blocking. Sedangkan komposisi, lebih mengatur posisi, pose, dan tinggirendah pemain dalam keadaan diam (statis). Pengaturan posisi pemain seperti ini dilakukan agar semua pemain di atas pentas dapat dilihat dengan jelas oleh penonton. Ada dua ragam komposisi pemain, yaitu komposisi simetris dan komposisi asimetris yang ditata dengan mempertimbangkan keseimbangan.

3.6.2.1 Simetris
Komposisi simetris adalah komposisi yang membagi pemain dalam dua bagian dan menempatkan bagian-bagian tersebut dalam posisi yang benar-benar sama dan seimbang. Jika digambarkan komposisi ini mirip cermin. Bagian yang satu merupakan cerminan bagian yang lain. Di bawah ini adalah contoh komposisi simetris.

3.6.2.2 Asimetris
Komposisi asimetris tidak membagi pemain dalam dua bagian yang sama persis, tetapi membagi pemain dalam dua bagian atau lebih dengan tujuan memberi penonjolan (penekanan) bagian tertentu.

3.6.2.3 Keseimbangan
Dalam menata komposisi pemain di atas pentas hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah keseimbangan. Keseimbangan adalah pengaturan atau pengelompokan aktor di atas pentas yang ditata sedemikian rupa sehingga tidak menghasilkan ketimpangan. Hal ini diperlukan untuk memenuhi ruang dan menghindari komposisi aktor yang berat sebelah. Jika salah satu ruang dibiarkan kosong sementara ruang yang lain terisi penuh, maka hal ini akan menimbulkan pemandangan yang kurang menarik dan jika hal ini berlangsung lama, maka penonton akan menjadi jenuh.

3.6.3 Fokus
Dalam mengatur blocking, hal yang paling utama untuk diperhatikan sutradara adalah perhatian penonton. Setiap aktivitas, karakter, perubahan ekspresi dan aksi di atas pentas harus dapat ditangkap mata penonton dengan jelas. Oleh karena itu, pengaturan blocking harus mempertimbangkan pusat perhatian (fokus) penonton. Hal ini dapat dikerjakan dengan menempatkan pemain dalam posisi dan situasi tertentu sehingga ia lebih menonjol atau lebih kuat dari yang lainnya.

3.6.3.1 Prinsip Dasar
Pada dasarnya fokus adalah membuat pemain menjadi terlihat jelas oleh mata penonton. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar di bawah ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menempatkan posisi dan mengatur pose pemain.
  • Kurangilah menempatkan pemain dalam posisi menghadap lurus ke arah penonton atau menyamping penuh. Usahakan pemain menghadap diagonal (kurang lebih 45 derajat) ke arah penonton. Menghadap lurus ke arah penonton akan memberikan efek datar dan kurang memberikan dimensi kepada pemain, sedangkan menyamping penuh akan menyembunyikan bagian tubuh yang lain. Dengan menghadap secara diagonal, maka dimensi dan keutuhan tubuh pemain akan dilihat dengan jelas oleh mata penonton.
  • Jika pemain hendak melangkah, maka awali dan akhiri langkah tersebut dengan kaki panggung atas (yang jauh dari mata penonton). Jika melangkah dengan kaki panggung bawah (yang dekat dari mata penonton), maka kaki yang jauh akan tertutup dan wajah pemain secara otomatis akan menjauh dari mata penonton. Hal ini menjadikan gerak pemain kurang terlihat dengan jelas.
  • Gunakan lengan atau tangan panggung atas (yang jauh dari mata penonton) untuk menunjuk ke arah panggung atas dan gunakan lengan atau tangan panggung bawah (yang dekat dengan mata penonton) untuk menunjuk ke panggung bawah. Jika yang dilakukan sebaliknya, maka gerakan lengan dan tangan akan menutupi bagian tubuh lain.
  • Jangan pernah memegang benda atau piranti tangan di depan wajah ketika sedang berbicara, karena hal ini akan menutupi suara dan pandangan penonton. Jika tangan yang digunakan adalah tangan yang tidak menganggu pandangan penonton, maka gerak laku aktor dalam menggunakan telepon akan kelihatan. Hal ini mempertegas laku aksi yang sedang dikerjakan.
  • Usahakan agar para aktor saling menatap (berkontak mata) pada saat mengawali dan mengakhiri dialog (percakapan). Selebihnya, usahakan untuk berbicara kepada penonton atau kepada aktor lain yang berada di atas panggung. Membagi arah pandangan ini sangat penting untuk menegaskan dan memberi kejelasan ekspresi karakter kepada penonton.




























 (4/6): Seni Berperan dalam Teater

Aktor merupakan manusia yang mengorbankan dirinya untuk menjadi orang lain. Karena itu dia harus mempersiapkan dirinya secara utuh penuh baik fisik maupun psikis. Untuk itu seorang pemeran harus menjaga kelenturan peralatan tubuhnya.

4.1 Latihan Olah Tubuh
Latihan olah tubuh melatih kesadaran tubuh dan cara mendayagunakan tubuh. Olah tubuh dilakukan dalam tiga tahap, yaitu latihan pemanasan, latihan inti, dan latihan pendinginan. Latihan pemanasan (warm-up), yaitu serial latihan gerakan tubuh untuk meningkatkan sirkulasi dan meregangkan otot dengan cara bertahap. Latihan inti, yaitu serial pokok dari inti gerakan yang akan dilatihkan. Latihan pendinginan atau peredaan (warm-down), yaitu serial pendek gerakan tubuh untuk mengembalikan kesegaran tubuh setelah menjalani latihan inti.
4.1.1 Persiapan
Sebelum melakukan latihan harus memperhatikan denyut nadi. Mengetahui denyut nadi sebelum latihan fisik dianjurkan karena berhubungan dengan kerja jantung. Cara untuk menghitung denyut nadi, yaitu dengan menghitung denyut nadi yang ada di leher atau denyut nadi yang ada di pergelangan tangan dalam. Penghitungan denyut nadi yang ada dipergelangan tangan lebih dianjurkan untuk menghasilkan perhitungan yang tepat. Cara penghitungan denyut nada yang ada di pergelangan tangan, yaitu dengan meletakkan jari tengah di atas pergelangan tangan dalam segaris dengan ibu jari atau jari jempol.
Selama menghitung denyut nadi mata selalu melihat jam (jam tangan maupun jam dinding yang ada di dalam ruangan). Penghitungan dilakukan selama enam detik dan hasilnya dikalikan sepuluh, atau penghitungan dilakukan selama sepuluh detik dan hasilnya dikalikan enam.
Latihanlatihan olah tubuh dapat dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut.
  • Pemanasan
  • Latihan ketahanan
  • Latihan Kelenturan
  • Latihan ketangkasan
  • Latihan pendinginan
  • Latihan relaksasi

4.2 OLAH SUARA
Suara adalah unsur penting dalam kegiatan seni teater yang menyangkut segi auditif atau sesuatu yang berhubungan dengan pendengaran. Dalam kenyataannya, suara dan bunyi itu sama, yaitu hasil getaran udara yang datang dan menyentuh selaput gendang telinga. Akan tetapi, dalam konvensi dunia teater kedua istilah tersebut dibedakan. Suara merupakan produk manusia untuk membentuk katakata, sedangkan bunyi merupakan produk benda-benda. Suara dihasilkan oleh proses mengencang dan mengendornya pita suara sehingga udara yang lewat berubah menjadi bunyi. Dalam kegiatan teater, suara mempunyai tokohan penting, karena digunakan sebagai bahan komunikasi yang berwujud dialog. Dialog merupakan salah satu daya tarik dalam membina konflik-konflik dramatik. Kegiatan mengucapkan dialog ini menjadi sifat teater yang khas. Suara adalah lambang komunikasi yang dijadikan media untuk mengungkapkan rasa dan buah pikiran. Unsur dasar bahasa lisan adalah suara. Prosesnya, suara dijadikan kata dan kata-kata disusun menjadi frasa serta kalimat yang semuanya dimanfaatkan dengan aturan tertentu yang disebut gramatika atau paramasastra.
Pemilihan kata-kata memiliki tokohan dalam aturan yang dikenal dengan istilah diksi. Selanjutnya, suara tidak hanya dilontarkan begitu saja tetapi dilihat dari keras lembutnya, tinggi rendahnya, dan cepat lambatnya sesuai dengan situasi dan kondisi emosi. Itulah yang disebut intonasi. Suara merupakan unsur yang harus diperhatikan oleh seseorang yang akan mempelajari teater.
Kata-kata yang membawa informasi yang bermakna. Makna katakata dipengaruhi oleh nada. Misalnya, kalimat, “Yah, memang, kamu sekarang sudah hebat..... ”.
Maka, nada suara yang terlontarkan, menunjukkan maksud memuji atau sebenarnya ingin mengatakan, “kamu belum bisa apa-apa”. Banyak lagi contoh yang menunjukkan tentang makna suara. Misalnya, dalam situasi tertentu tidak mampu mengungkapkan maksud yang sebenarnya, sehingga secara tidak sadar mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki. Maksud tersembunyi seperti itu disebut subtext.Seorang pemeran dalam pementasan teater menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa tubuh dan bahasa verbal yang berupa dialog. Bahasa tubuh bisa berdiri sendiri, dalam arti tidak dibarengi dengan bahasa verbal.
Akan tetapi, bisa juga bahasa tubuh sebagai penguat bahasa verbal. Dialog yang diucapkan oleh seorang pemeran mempunyai tokohan yang sangat penting dalam pementasan naskah drama atau teks lakon. Hal ini disebabkan karena dalam dialog banyak terdapat nilai-nilai yang bermakna. Jika lontaran dialog tidak sesuai sebagaimana mestinya, maka nilai yang terkandung tidak dapat dikomunikasikan kepada penonton. Hal ini merupakan kesalahan fatal bagi seorang pemeran.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh seorang pemeran tentang fungsi ucapan, yaitu sebagai berikut.
  • Ucapan yang dilontarkan oleh pemeran bertujuan untuk menyalurkan kata dari teks lakon kepada penonton.
  • Memberi arti khusus pada kata-kata tertentu melalui modulasi suara.
  • Memuat informasi tentang sifat dan perasaan tokoh, misalnya: umur. kedudukan sosial, kekuatan, kegembiraan, putus asa, marah, dan sebagainya.
  • Mengendalikan perasaan penonton seperti yang dilakukan oleh musik.
  • Melengkapi variasi.
Ketika pemeran mengucapkan dialog harus mempertimbangkan pikiran-pikiran penulis. Jika pemeran melontarkan dialognya hanya sekedar hasil hafalan saja, maka dia mencabut makna yang ada dalam kata-kata. Ekspresi yang disampaikan melalui nada suara membentuk satu pemaknaan berkaitan dengan kalimat dialog. Proses pengucapan dialog mempengaruhi ketersampaian pesan yang hendak dikomunikasikan kepada penonton.
Latihan-latihan untuk melenturkan peralatan suara dapat dilakukan menggunakan tahap-tahap sebagai berikut.
  • Persiapan
  • Pemanasan
  • Senam Wajah
  • Senam Lidah
  • Senam Rahang Bawah
  • Latihan Tenggorokan
  • Berbisik
  • Bergumam
  • Bersenandung
  • Latihan Pernafasan
  • Latihan Kejelasa Diksi
  • Intonasi
  • Jeda
  • Tempo
  • Nada
  • Wicara
  • Ditutup dengan relaksasi

4.3 OLAH RASA
Pemeran teater membutuhkan kepekaan rasa. Dalam menghayatai karakter tokoh, semua emosi tokoh yang ditokohkan harus mampu diwujudkan. Oleh karena itu, latihan-latihan yang mendukung kepekaan rasa perlu dilakukan. Terlebih dalam konteks aksi dan reaksi. Seorang pemeran tidak hanya memikirkan ekspresi karakter tokoh yang ditokohkan saja, tetapi juga harus memberikan respon terhadap ekspresi tokoh lain.
Banyak pemeran yang hanya mementingkan ekspresi yang ditokohkan sehingga dalam benaknya hanya melakukan aksi. Padahal akting adalah kerja aksi dan reaksi. Seorang pemeran yang hanya melakukan aksi berarti baru mengerjakan separuh dari tugasnya. Tugas yang lain adalah memberikan reaksi. Dengan demikian, latihan olah rasa tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa dalam diri sendiri, tetapi juga perasaan terhadap karakter lawan main. Latihan olah rasa dimulai dari konsentrasi, mempelajari gesture, dan imajinasi.
 4.3.1 Konsentrasi
Pengertian konsentrasi secara harfiah adalah pemusatan pikiran atau perhatian. Makin menarik pusat perhatian, makin tinggi kesanggupan memusatkan perhatian. Pusat perhatian seorang pemeran adalah sukma atau jiwa tokoh atau karakter yang akan dimainkan.
Segala sesuatu yang mengalihkan perhatian seorang pemeran, cenderung dapat merusak proses pemeranan. Maka, konsentrasi menjadi sesuatu hal yang penting untuk pemeran. Tujuan dari konsentrasi ini adalah untuk mencapai kondisi kontrol mental maupun fisik di atas panggung. Ada korelasi yang sangat dekat antara pikiran dan tubuh. Seorang pemeran harus dapat mengontrol tubuhnya setiap saat. Langkah awal yang perlu diperhatikan adalah mengasah kesadaran dan mampu menggunakan tubuhnya dengan efisien. Dengan konsentrasi pemeran akan dapat mengubah dirinya menjadi orang lain, yaitu tokoh yang dimainkan.
Dunia teater adalah dunia imajiner atau dunia rekaan. Dunia tidak nyata yang diciptakan seorang penulis lakon dan diwujudkan oleh pekerja teater. Dunia ini harus diwujudkan menjadi sesuatu yang seolah-olah nyata dan dapat dinikmati serta menyakinkan penonton. Kekuatan pemeran untuk mewujudkan dunia rekaan ini hanya bias dilakukan dengan kekuatan daya konsentrasi. Misalnya seorang pemeran melihat sesuatu yang menjijikan (meskipun sesuatu itu tidak ada di atas pentas) maka ia harus menyakinkan kepada penonton bahwa sesuatu yang dilihat benar-benar menjijikkan. Kalau pemeran dengan tingkat konsentrasi yang rendah maka dia tidak akan dapat menyakinkan penonton.
 4.3.2 Gesture
Gesture adalah sikap atau pose tubuh pemeran yang mengandung makna. Latihan gesture dapat digunakan untuk mempelajari dan melahirkan bahasa tubuh. Ada juga yang mengatakan bahwa gesture adalah bentuk komunikasi non verbal yang diciptakan oleh bagian-bagian tubuh yang dapat dikombinasikan dengan bahasa verbal.
Bahasa tubuh dilakukan oleh seseorang terkadang tanpa disadari dan keluar mendahului bahasa verbal. Bahasa ini mendukung dan berpengaruh dalam proses komunikasi. Jika berlawanan dengan bahasa verbal akan mengurangi kekuatan komunikasi, sedangkan kalau selaras dengan bahasa verbal akan menguatkan proses komunikasi. Seorang pemeran harus memahami bahasa tubuh, baik bahasa tubuh budaya sendiri maupun bahasa tubuh budaya lainnya. Pemakaian gesture ini mengajak seseorang untuk menampilkan variasi bahasa atau bermacam-macam cara mengungkapkan perasaan dan pemikiran. Akan tetapi, gesture tidak dapat menggantikan bahasa verbal sepenuhnya. Sedang beberapa orang menggunakan gesture sebagai tambahan dalam kata-kata ketika melakukan proses komunikasi.
Manfaat mempelajari dan melatih gesture adalah mengerti apa yang tidak terkatakan dan yang ada dalam pikiran lawan bicara. Selain itu, dengan mempelajari bahasa tubuh, akan diketahui tanda kebohongan atau tanda-tanda kebosanan pada proses komunikasi yang sedang berlangsung. Bahasa tubuh semacam respon atau impuls dalam batin seseorang yang keluar tanpa disadari. Sebagai seorang pemeran, gesture harus disadari dan diciptakan sebagai penguat komunikasi dengan bahasa verbal. Sifat bahasa tubuh adalah tidak universal. Misalnya, orang India, mengangguk tandanya tidak setuju sedangkan mengeleng artinya setuju. Hal ini berlawanan dengan bangsa-bangsa lain. Tangan mengacung dengan jari telunjuk dan jempol membentuk lingkaran, bagi orangtokohcis artinya nol, bagi orang Yunani berarti penghinaan, tetapi bagi orang Amerika artinya bagus. Jadi bahasa tubuh harus dipahami oleh pemeran sebagai pendukung bahasa verbal.
Macam-macam gesture yang dapat dipahami orang lain adalah gesture dengan tangan, gesture dengan badan, gesture dengan kepala dan wajah, dan gesture dengan kaki. Bahasa tubuh atau gesture dengan tangan adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh posisi maupun gerak kedua tangan. Bahasa tubuh yang tercipta oleh kedua tangan merupakan bahasa tubuh yang paling banyak jenisnya. Bahasa tubuh dengan tubuh adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh pose atau sikap tubuh seseorang. Bahasa tubuh dengan kepala dan wajah adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh posisi kepala maupun ekspresi wajah. Sedangkan bahasa tubuh dengan kaki adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh posisi dan bagaimana meletakkan kaki.
 4.3.3 Imajinasi
Imajinasi adalah proses pembentukan gambaran-gambaran baru dalam pikiran, dimana gambaran tersebut tidak pernah dialami sebelumnya. Belajar imajinasi dapat menggunakan fungsi ”jika” atau dalam istilah metode pemeranan Stanislavski disebut magic-if. Latihan imajinasi bagi pemeran berfungsi mengidentifikasi tokoh yang akan dimainkan. Selain itu, seorang pemeran juga harus berimajinasi tentang pengalaman hidup tokoh yang akan dimainkan.
Hal-hal yang perlu diketahui ketika berlatih imajinasi.
  • Imajinasi menciptakan hal-hal yang mungkin ada atau mungkin terjadi, sedangkan fantasi membuat hal-hal yang tidak ada, tidak pernah ada, dan tidak akan pernah ada.
  • Imajinasi tidak bisa dipaksa, tetapi harus dibujuk untuk bisa digunakan. Imajinasi tidak akan muncul jika direnungkan tanpa suatu objek yang menarik. Objek berfungsi untuk menstimulasi atau merangsang pikiran. Baik hal yang logis maupun yang tidak logis. Dengan berpikir, maka akan terjadi proses imajinasi.
  • Imajinasi tidak akan muncul dengan pikiran yang pasif, tetapi harus dengan pikiran yang aktif. Melatih imajinasi sama dengan memperkerjakan pikiran-pikiran untuk terus berpikir.
  • Pikiran bisa disuruh untuk mempertanyakan segala sesuatu. Dengan stimulus pertanyaan-pertanyaan atau menggunakan stimulus ”seandainya”, maka akan memunculkan gambaran pengandaiannya. Belajar imajinasi harus menggunakan plot yang logis, dan jangan menggambarkan suatu objek yang tidak pasti (perkiraan). Untuk membangkitkan imajinasi tokoh gunakan pertanyaan; siapa, dimana, dan apa. Misalnya, “siapakah Hamlet itu?”, maka pikiran dipaksa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Usaha menjawab pertanyaan itu akan membawa pikiran untuk mengimajinasikan sosok Hamlet.























 (5/6): Seni Rupa dalam Teater

5.1 TATA PANGGUNG
Tata panggung disebut juga dengan istilah scenery (tata dekorasi). Gambaran tempat kejadian lakon diwujudkan oleh tata panggung dalam pementasan. Tidak hanya sekedar dekorasi (hiasan) semata, tetapi segala tata letak perabot atau piranti yang akan digunakan oleh aktor disediakan oleh penata panggung. Penataan panggung disesuaikan dengan tuntutan cerita, kehendak artistik sutradara, dan panggung tempat pementasan dilaksanakan. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan penataan panggung seorang penata panggung perlu mempelajari panggung pertunjukan.

5.1.1 Mempelajari Panggung
Dalam sejarah perkembangannya, seni teater memiliki berbagai macam jenis panggung yang dijadikan tempat pementasan. Perbedaan jenis panggung ini dipengaruhi oleh tempat dan zaman dimana teater itu berada serta gaya pementasan yang dilakukan. Bentuk panggung yang berbeda memiliki prinsip artistik yang berbeda. Misalnya, dalam panggung yang penontonnya melingkar, membutuhkan tata letak perabot yang dapat enak dilihat dari setiap sisi. Berbeda dengan panggung yang penontonnya hanya satu arah dari depan. Untuk memperoleh hasil terbaik, penata panggung diharuskan memahami karakter jenis panggung yang akan digunakan serta bagian-bagian panggung tersebut.

5.1.2 Jenis-jenis Panggung
Panggung adalah tempat berlangsungnya sebuah pertunjukan dimana interaksi antara kerja penulis lakon, sutradara, dan aktor ditampilkan di hadapan penonton. Di atas panggung inilah semua laku lakon disajikan dengan maksud agar penonton menangkap maksud cerita yang ditampilkan. Untuk menyampaikan maksud tersebut pekerja teater mengolah dan menata panggung sedemikian rupa untuk mencapai maksud yang dinginkan. Seperti telah disebutkan di atas bahwa banyak sekali jenis panggung tetapi dewasa ini hanya tiga jenis panggung yang sering digunakan. Ketiganya adalah panggung proscenium, panggung thrust, dan panggung arena. Dengan memahami bentuk dari masingmasing panggung inilah, penata panggung dapat merancangkan karyanya berdasar lakon yang akan disajikan dengan baik.

5.1.2.1 Arena
Panggung arena adalah panggung yang penontonnya melingkar atau duduk mengelilingi panggung. Penonton sangat dekat sekali dengan pemain. Agar semua pemain dapat terlihat dari setiap sisi maka penggunaan set dekor berupa bangunan tertutup vertikal tidak diperbolehkan karena dapat menghalangi pandangan penonton. Karena bentuknya yang dikelilingi oleh penonton, maka penata panggung dituntut kreativitasnya untuk mewujudkan set dekor. Segala perabot yang digunakan dalam panggung arena harus benar-benar dipertimbangkan dan dicermati secara hati-hati baik bentuk, ukuran, dan penempatannya. Semua ditata agar enak dipandang dari berbagai sisi.
Panggung arena biasanya dibuat secara terbuka (tanpa atap) dan tertutup. Inti dari pangung arena baik terbuka atau tertutup adalah mendekatkan penonton dengan pemain. Kedekatan jarak ini membawa konsekuensi artistik tersendiri baik bagi pemain dan (terutama) tata panggung. Karena jaraknya yang dekat, detil perabot yang diletakkan di atas panggung harus benar-benar sempurna sebab jika tidak maka cacat sedikit saja akan nampak. Misalnya, di atas panggung diletakkan kursi dan meja berukir. Jika bentuk ukiran yang ditampilkan tidak nampak sempurna - berbeda satu dengan yang lain - maka penonton akan dengan mudah melihatnya. Hal ini mempengaruhi nilai artistik pementasan.
Lepas dari kesulitan yang dihadapi, panggun arena sering menjadi pilihan utama bagi teater tradisional. Kedekatan jarak antara pemain dan penonton dimanfaatkan untuk melakukan komunikasi langsung di tengah-tengah pementasan yang menjadi ciri khas teater tersebut. Aspek kedekatan inilah yang dieksplorasi untuk menimbulkan daya tarik penonton. Kemungkinan berkomunikasi secara langsung atau bahkan bermain di tengah-tengah penonton ini menjadi tantangan kreatif bagi teater modern. Banyak usaha yang dilakukan untuk mendekatkan pertunjukan dengan penonton, salah satunya adalah penggunaan panggung arena. Beberapa pengembangan desain dari teater arena melingkar dilakukan sehingga bentuk teater arena menjadi bermacammacam.
 5.1.2.2 Proscenium
Panggung proscenium bisa juga disebut sebagai panggung bingkai karena penonton menyaksikan aksi aktor dalam lakon melalui sebuah bingkai atau lengkung proscenium (proscenium arch). Bingkai yang dipasangi layar atau gorden inilah yang memisahkan wilayah akting pemain dengan penonton yang menyaksikan pertunjukan dari satu arah. Dengan pemisahan ini maka pergantian tata panggung dapat dilakukan tanpa sepengetahuan penonton.
Panggung proscenium sudah lama digunakan dalam dunia teater. Jarak yang sengaja diciptakan untuk memisahkan pemain dan penonton ini dapat digunakan untuk menyajikan cerita seperti apa adanya. Aktor dapat bermain dengan leluasa seolah-olah tidak ada penonton yang hadir melihatnya. Pemisahan ini dapat membantu efek artistik yang dinginkan terutama dalam gaya realisme yang menghendaki lakon seolah-olah benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.
Tata panggung pun sangat diuntungkan dengan adanya jarak dan pandangan satu arah dari penonton. Perspektif dapat ditampilkan dengan memanfaatkan kedalaman panggung (luas panggung ke belakang). Gambar dekorasi dan perabot tidak begitu menuntut kejelasan detil sampai hal-hal terkecil. Bentangan jarak dapat menciptakan bayangan arstisitk tersendiri yang mampu menghadirkan kesan. Kesan inilah yang diolah penata panggung untuk mewujudkan kreasinya di atas panggung proscenium. Seperti sebuah lukisan, bingkai proscenium menjadi batas tepinya. Penonton disuguhi gambaran melalui bingkai tersebut.
Hampir semua sekolah teater memiliki jenis panggung proscenium. Pembelajaran tata panggung untuk  menciptakan ilusi (tipuan) imajinatif sangat dimungkinkan dalam panggung proscenium. Jarak antara penonton dan panggung adalah jarak yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan gambaran kreatif pemangungan. Semua yang ada di atas panggung dapat disajikan secara sempurna seolah-olah gambar nyata. Tata cahaya yang memproduksi sinar dapat dihadirkan dengan tanpa terlihat oleh penonton dimana posisi lampu berada. Intinya semua yang di atas panggung dapat diciptakan untuk mengelabui pandangan penonton dan mengarahkan mereka pada pemikiran bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kenyataan. Pesona inilah yang membuat penggunaan panggung proscenium bertahan sampai sekarang.
 5.1.3 Fungsi Tata Panggung
Dalam perancangan tata panggung selain mempertimbangkan jenis panggung yang akan digunakan ada beberapa elemen komposisi yang perlu diperhatikan. Sebelum menjelaskan semua itu, fungsi tata panggung perlu dibahas terlebih dahulu. Selain merencanakan gambar dekor, penata panggung juga bertanggungjawab terhadap segala perabot yang digunakan. Karena keseluruhan objek yang ada di atas panggung dan digunakan oleh aktor membentuk satu lukisan secara menyeluruh.
Perabot dan piranti sangat penting dalam mencipta lukisan panggung, terutama pada panggung arena dimana lukisan dekor atau bentuk bangunan vertikal tertutup seperti dinding atau kamar (karena akan menghalangi pandangan sebagian penonton) tidak memungkinkan diletakkan di atas panggung. Tata perabot kemudian menjadi unsur pokok pada tata panggung arena. Unsur-unsur ini ditata sedemikian rupa sehingga bisa memberikan gambaran lengkap yang berfungsi untuk menjelaskan suasana dan semangat lakon, periode sejarah lakon, lokasi kejadian, status karakter peran, dan musim dalam tahun dimana lakon dilangsungkan.
 5.1.4 Elemen Komposisi
Desain tata panggung sebaiknya dibuat dengan mudah dan bebas. Artinya, imajinasi dapat dituangkan sepenuhnya ke dalam gambar desain tanpa lebih dulu berpikir tentang kemungkinan visualisasinya. Pemikiran lain di luar desain akan menghambat imajinasi dan akhrinya memberikan batasan. Penyuntingan atau pengolahan bisa dilakukan setelah gagasan tertuang. Dalam pembuatan desain gambar tata panggung yang terpenting adalah cara mengatur, menata, dan memanipulasi elemen komposisi yang menjadi dasar dari seluruh kerja desain.
 5.2 TATA CAHAYA
Cahaya adalah unsur tata artistik yang paling penting dalam pertunjukan teater. Tanpa adanya cahaya maka penonton tidak akan dapat menyaksikan apa-apa. Dalam pertunjukan era primitif manusia hanya menggunakan cahaya matahari, bulan atau api untuk menerangi. Sejak ditemukannya lampu penerangan manusia menciptakan modifikasi dan menemukan hal-hal baru yang dapat digunakan untuk menerangi panggung pementasan. Seorang penata cahaya perlu mempelajari pengetahuan dasar dan penguasaan peralatan tata cahaya. Pengetahuan dasar ini selanjutnya dapat diterapkan dan dikembangkan dalam penataan cahaya untuk kepentingan artistik pemanggungan.

5.2.1 Fungsi Tata Cahaya
Tata cahaya yang hadir di atas panggung dan menyinari semua objek sesungguhnya menghadirkan kemungkinan bagi sutradara, aktor, dan penonton untuk saling melihat dan berkomunikasi. Semua objek yang disinari memberikan gambaran yang jelas kepada penonton tentang segala sesuatu yang akan dikomunikasikan. Dengan cahaya, sutradara dapat menghadirkan ilusi imajinatif. Banyak hal yang bisa dikerjakan bekaitan dengan peran tata cahaya tetapi fungsi dasar tata cahaya ada empat, yaitu penerangan, dimensi, pemilihan, dan atmosfir (Mark Carpenter, 1988).
  • Penerangan. Inilah fungsi paling mendasar dari tata cahaya. Lampu memberi penerangan pada pemain dan setiap objek yang ada di atas panggung. Istilah penerangan dalam tata cahaya panggung bukan hanya sekedar memberi efek terang sehingga bisa dilihat tetapi memberi penerangan bagian tertentu dengan intensitas tertentu. Tidak semua area di atas panggung memiliki tingkat terang yang sama tetapi diatur dengan tujuan dan maksud tertentu sehingga menegaskan pesan yang hendak disampaikan melalui laku aktor di atas pentas.
  • Dimensi. Dengan tata cahaya kedalaman sebuah objek dapat dicitrakan. Dimensi dapat diciptakan dengan membagi sisi gelap dan terang atas objek yang disinari sehingga membantu perspektif tata panggung. Jika semua objek diterangi dengan intensitas yang sama maka gambar yang akan tertangkap oleh mata penonton menjadi datar. Dengan pengaturan tingkat intensitas serta pemilahan sisi gelap dan terang maka dimensi objek akan muncul.
  • Pemilihan. Tata cahaya dapat dimanfaatkan untuk menentukan objek dan area yang hendak disinari. Jika dalam film dan televisi sutradara dapat memilih adegan menggunakan kamera maka sutradara panggung melakukannya dengan cahaya. Dalam teater, penonton secara normal dapat melihat seluruh area panggung, untuk memberikan fokus perhatian pada area atau aksi tertentu sutradara memanfaatkan cahaya. Pemilihan ini tidak hanya berpengaruh bagi perhatian penonton tetapi juga bagi para aktor di atas pentas serta keindahan tata panggung yang dihadirkan.
  • Atmosfir. Yang paling menarik dari fungsi tata cahaya adalah kemampuannya menghadirkan suasana yang mempengaruhi emosi penonton. Kata “atmosfir” digunakan untuk menjelaskan suasana serta emosi yang terkandung dalam peristiwa lakon. Tata cahaya mampu menghadirkan suasana yang dikehendaki oleh lakon. Sejak ditemukannya teknologi pencahayaan panggung, efek lampu dapat diciptakan untuk menirukan cahaya bulan dan matahari pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, warna cahaya matahari pagi berbeda dengan siang hari. Sinar mentari pagi membawa kehangatan sedangkan sinar mentari siang hari terasa panas. Inilah gambaran suasana dan emosi yang dapat dimunculkan oleh tata cahaya.
Keempat fungsi pokok tata cahaya di atas tidak berdiri sendiri. Artinya, masing-masing fungsi memiliki interaksi (saling mempengaruhi). Fungsi penerangan dilakukan dengan memilih area tertentu untuk memberikan gambaran dimensional objek, suasana, dan emosi peristiwa. Selain keempat fungsi pokok di atas, tata cahaya memiliki fungsi pendukung yang dikembangkan secara berlainan oleh masing-masing ahli tata cahaya. Beberapa fungsi pendukung yang dapat ditemukan dalam tata cahaya adalah sebagai berikut.
  • Gerak. Tata cahaya tidaklah statis. Sepanjang pementasan, cahaya selalu bergerak dan berpindah dari area satu ke area lain, dari objek satu ke objek lain. Gerak perpindahan cahaya ini mengalir sehingga kadang-kadang perubahannya disadari oleh penonton dan kadang tidak. Jika perpindahan cahaya bergerak dari aktor satu ke aktor lain dalam area yang berbeda, penonton dapat melihatnya dengan jelas. Tetapi pergantian cahaya dalam satu area ketika adegan tengah berlangsung terkadang tidak secara langsung disadari. Tanpa sadar penonton dibawa ke dalam suasana yang berbeda melalui perubahan cahaya.
  • Gaya. Cahaya dapat menunjukkan gaya pementasan yang sedang dilakonkan. Gaya realis atau naturalis yang mensyaratkan detil kenyataan mengharuskan tata cahaya mengikuti cahaya alami seperti matahari, bulan atau lampu meja. Dalam gaya Surealis tata cahaya diproyeksikan untuk menyajikan imajinasi atau fantasi di luar kenyataan seharihari. Dalam pementasan komedi atau dagelan tata cahaya membutuhkan tingkat penerangan yang tinggi sehingga setiap gerak lucu yang dilakukan oleh aktor dapat tertangkap jelas oleh penonton.
  • Komposisi. Cahaya dapat dimanfaatkan untuk menciptakan lukisan panggung melalui tatanan warna yang dihasilkannya.
  • Penekanan. Tata cahaya dapat memberikan penekanan tertentu pada adegan atau objek yang dinginkan. Penggunaan warna serta intensitas dapat menarik perhatian penonton sehingga membantu pesan yang hendak disampaikan. Sebuah bagian bangunan yang tinggi yang senantiasa disinari cahaya sepanjang pertunjukan akan menarik perhatian penonton dan menimbulkan pertanyaan sehingga membuat penonton menyelidiki maksud dari hal tersebut.
  • Pemberian tanda. Cahaya berfungsi untuk memberi tanda selama pertunjukan berlangsung. Misalnya, fade out untuk mengakhiri sebuah adegan, fade in untuk memulai adegan dan black out sebagai akhir dari cerita. Dalam pementasan teater tradisional, black out biasanya digunakan sebagai tanda ganti adegan diiringi dengan pergantian set.
 5.3 TATA RIAS
Tata rias secara umum dapat diartikan sebagai seni mengubah penampilan wajah menjadi lebih sempurna. Tata rias dalam teater mempunyai arti lebih spesifik, yaitu seni mengubah wajah untuk menggambarkan karakter tokoh. Tata Rias dalam teater bermula dari pemakaian kedok atau topeng untuk menggambarkan karakter tokoh. Contohnya, teater Yunani yang memakai topeng lebih besar dari wajah pemain dengan garis tegas agar ekspresinya dapat dilihat oleh penonton. Beberapa teater primitif menggunakan bedak tebal yang biasa dibuat dari bahan-bahan alam, seperti tanah,tulang, tumbuhan, dan lemak binatang. Pemakaian tata rias akhirnya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari peristiwa teater.
 5.3.1 Fungsi Tata Rias
Tokoh dalam teater memiliki karakter berbeda-beda. Penampilan tokoh yang berbeda-beda membutuhkan penampilan yang berbeda sesuai karakternya. Tata rias merupakan salah satu cara menampilkan karakter tokoh yang berbeda-beda tersebut. Tata rias dalam teater memiliki fungsi sebagai berikut.
  • Menyempurnakan penampilan wajah
  • Menggambarkan karakter tokoh
  • Memberi efek gerak pada ekspresi pemain
  • Menegaskan dan menghasilkan garis-garis wajah sesuai dengan tokoh
  • Menambah aspek dramatik.
 5.3.1.1 Menyempurnakan Penampilan Wajah
Wajah seorang pemain memiliki kekurangan yang bisa disempurnakan dengan mengaplikasikan tata rias. Seorang pemain, misalnya, memiliki hidung yang kurang mancung, mata yang tidak ekspresif, bibir yang kurang tegas, dan sebagainya. Tata rias bisa menyempurnakan kekurangan tersebut sehingga muncul kesan hidung tampak mancung, mata menjadi lebih ekspresif, dan bibir bergaris tegas. Penyempurnaan wajah dilakukan pada pemain yang secara fisik telah sesuai dengan tokoh yang dimainkan. Misalnya, seorang remaja memerankan siswa sekolah. Tata rias tidak perlu mengubah usia, tetapi cukup menyempurnakan dengan mengoreksi kekurangan yang ada untuk disempurnakan. Pemain yang tidak menggunakan rias, wajahnya akan tampak datar, tidak memiliki dimensi.
 5.3.1.2 Menggambarkan Karakter Tokoh
Karakter berarti watak. Tata rias berfungsi melukiskan watak tokoh dengan mengubah wajah pemeran menyangkut aspek umur, ras, bentuk wajah dan tubuh. Karakter wajah merupakan cermin psikologis dan latar sosial tokoh yang hadir secara nyata. Misalnya, seorang yang optimis digambarkan dengan tarikan sudut mata cenderung ke atas. Sebaliknya, tokoh yang pesimistis cenderung memiliki karakter garis mata yang menurun. Tata rias memiliki kemampuan dalam mengubah sekaligus menampilkan karakter yang berbeda dari seorang pemeran.
 5.3.1.3 Memberi Efek Gerak Pada Ekspresi Pemain
Wajah seorang pemain di atas pentas, tampak datar ketika tertimpa cahaya lampu. Oleh karena itu dibutuhkan tata rias untuk menampilkan dimensi wajah pemain. Tata rias berfungsi menegaskan garis-garis wajah karakter, sehingga saat berekspresi muncul efek gerak yang tegas dan dapat ditangkap oleh penonton. Seorang penata rias harus mencermati gerak ekspresi wajah untuk menentukan garis yang akan dibuat.
 5.3.1.4 Menghadirkan Garis Wajah Sesuai Dengan Tokoh
Menampilkan wajah sesuai dengan tokoh membutuhkan garis baru yang membentuk wajah baru. Fungsi garis tidak sekedar menegaskan, tetapi juga menambahkan sehingga terbentuk tampilan yang berbeda dengan wajah asli pemain. Misalnya, seorang remaja yang memerankan seorang yang telah berumur 50 tahun. Wajah perlu ditambahkan garis-garis kerutan sesuai wajah seorang yang berusia 50 tahun. Seorang yang berperan menjadi tokoh binatang, maka perlu membuat garis-garis baru sesuai dengan karakter wajah binatang yang diperankan.


5.3.1.5 Menambah Aspek Dramatik
Peristiwa teater selalu tumbuh dan berkembang. Tokoh-tokoh mengalami berbagai peristiwa sehingga terjadi perubahan dan penambahan tata rias. Misalnya, seorang tokoh tertusuk belati, tertembak, tersayat wajahnya, maka dibutuhkan tata rias yang memberikan efek sesuai dengan kebutuhan. Tata rias bisa memberikan efek dramatik dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan menciptakan efek tertentu sesuai dengan kebutuhan.

5.3.2 Jenis Tata Rias
5.3.2.1 Tata Rias Korektif
Tata rias korektif (corective make-up) merupakan suatu bentuk tata rias yang bersifat menyempurnakan (koreksi). Tata rias ini menyembunyikan kekurangan-kekurangan yang ada pada wajah dan menonjolkan hal-hal yang menarik dari wajah. Setiap wajah memiliki kekuarangan dan kelebihan. Seseorang yang memiliki bentuk wajah kurang sempurna, misalnya dahi terlalu lebar, hidung kurang mancung dan sebagainya,dapat disempurnakan dengan make up korektif. Seorang pemain membutuhkan tata rias korektif ketika tampilannya tidak membutuhkan perubahan usia, ras, dan perubahan bentuk wajah. Biasanya pemeran memiliki kesesuaian dengan tokoh yang diperankan. Wajah pemain cukup disempurnakan dengan menyamarkan, menegaskan, dan menonjolkan bagian-bagian wajah sesuai dengan tokoh yang dimainkan.
 5.3.2.2 Tata Rias Fantasi
Tata rias fantasi dikenal juga dengan istilah tata rias karakter khusus. Disebut tata rias karakter khusus, karena menampilkan wujud rekaan dengan mengubah wajah tidak realistik. Tata rias fantasi menggambarkan tokoh-tokoh yang tidak riil keberadaannya dan lahir berdasarkan daya khayal semata.
 5.3.2.3 Tata Rias karakter
Tata rias karaker adalah tata rias yang mengubah penampilan wajah seseorang dalam hal umur, watak, bangsa, sifat, dan ciri-ciri khusus yang melekat pada tokoh. Tata rias karakter dibutuhkan ketika karakter wajah pemeran tidak sesuai dengan karakter tokoh. Tata rias karakter tidak sekedar menyempurnakan, tetapi mengubah tampilan wajah. Contohnya, mengubah umur pemeran dari muda menjadi lebih tua . Mengubah anatomi wajah pemain untuk memenuhi tuntutan tokoh dapat juga digolongkan sebagai tata rias karakter, misalnya memanjangkan telinga. Tokoh tersebut memiliki latar Suku Dayak Kalimantan yang memiliki tradisi memanjangkan telinga.

5.4 TATA BUSANA
Tata busana adalah seni pakaian dan segala perlengkapan yang menyertai untuk menggambarkan tokoh. Tata busana termasuk segala asesoris seperti topi, sepatu, syal, kalung, gelang , dan segala unsur yang melekat pada pakaian. Tata busana dalam teater memiliki peranan penting untuk menggambarkan tokoh. Pada era teater primitif, busana yang dipakai berasal dari bahan-bahan alami, seperti tumbuhan, kulit binatang, dan batu-batuan untuk asesoris. Ketika manusia menemukan tekstil dengan teknologi pengolahan yang tinggi, maka busana berkembang menjadi lebih baik.
Tata busana dapat dibuat berdasar budaya atau jaman tertentu. Untuk membuat tata busana sesuai dengan adat dan kebudayaan daerah tertentu maka diperlukan referensi khusus berkaitan dengan adat dan kebudayaan tersebut. Jenis busana ini tidak bisa disamakan antara daerah satu dengan daerah lain. Masing-masing memiliki ciri khasnya. Sementara itu tata busana menurut jamannya bisa digeneralisasi. Artinya, busana pada jaman atau dekade tertentu memiliki ciri yang sama. Tidak ada periode tata busana secara khusus di teater, karena semua tergantung latar cerita yang ditampilkan. Periode busana teater dengan demikian mengikuti periode teater tersebut. Misalnya, dalam teater Romawi Kuno maka lakon yang ditampilkan berlatar jaman tersebut sehingga busananya pun seperti busana keseharian penduduk jaman Romawi Kuno. Demikian juga dengan teater pada jaman Yunani, Abad Pertengahan, Renaissance, Elizabethan, Restorasi, dan Abad 18.
Busana teater mengalami perkembangan pesat seiring lahirnya teater modern pada akhir abad 19. Dalam masa ini, beragam aliran teater bermunculan. Masing-masing memiliki kospenya tersendiri dan lakon tidak harus berlatar jaman dimana lakon itu dibuat. Semua terserah pada gagasan seniman. Busana pun mengikuti konsep tersebut. Tata busana dengan demikian sudah tidak lagi terpaku pada jaman, tetapi lebih pada konsep yang melatarbelakangi penciptaan teater.
 5.4.1 Fungsi Tata Busana
Busana yang dipakai manusia beraneka ragam bentuk dan fungsinya. Fungsi busana dalam kehidupan sehari-hari untuk melindungi tubuh, mencitrakan kesopanan, dan memenuhi hasrat manusia akan keindahan. Busana dalam teater memiliki fungsi yang lebih kompleks, yaitu.
  • Mencitrakan keindahan penampilan
  • Membedakan satu pemain dengan pemain yang lain
  • Menggambarkan karakter tokoh
  • Memberikan efek gerak pemain
  • Memberikan efek dramatik
 5.4.1.1 Mencitrakan Keindahan Penampilan
Manusia memiliki hasrat untuk mengungkapkan rasa keindahan dalam berbagai aspek kehidupan. Tata busana dalam teater berfungsi sebagai bentuk ekspresi untuk tampil lebih indah dari penampilan seharihari.
Pementasan teater adalah suatu tontonan yang mengandung aspek keindahan. Pada era teater primitif, hasrat untuk tampil berbeda dan lebih indah dari tampilan sehari-hari telah muncul. Busana pementesan teater dibuat secara khusus dan dilengkapi dengan asesoris sesuai kebutuhan pemensan. Teater di Inggris pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth (1580 – 1640), memakai busana sehari-hari yang dibuat lebih indah dengan mengaplikasikan perhiasan dan penambahan bahanbahan yang mahal dan mewah.
 5.4.1.2 Membedakan Satu Pemain Dengan Pemain Yang Lain
Pementasan teater menampilkan tokoh yang bermacam-macam karakter dan latar belakang sosialnya. Penonton membutuhkan suatu penampilan yang berbeda-beda antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Busana menjadi salah satu tanda penting untuk membedakan satu tokoh dengan tokoh yang lain. Penampilan busana yang berbeda akan menunjukkan ciri khusus seorang tokoh, sehingga penonton mampu mengidentifikasikan tokoh dengan mudah
 5.4.1.3 Menggambarkan Karakter Tokoh
Fungsi penting busana dalam teater adalah untuk menggambarkan karakter tokoh. Perbedaan karakter dalam busana dapat ditampilkan melalui model, bentuk, warna, motif, dan garis
yang diciptakan. Melalui busana, penonton terbantu dalam menangkap karakter yang berbeda dari setiap tokoh. Contohnya, tokoh seorang pelajar yang pendiam, rajin, dan alim, busananya cenderung rapi, sederhana, dan tanpa asesoris yang berlebihan. Sebaliknya, tokoh seorang pelajar yang bandel, brutal, dan sering membuat onar, busananya dilengkapi asesoris dan cara pemakaiannya seenaknya tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan sekolah.










 (6/6): Penutup

Sebuah karya teater lahir dari satu proses pembelajaran yang padu. Karena prinsip teater adalah kerjasama maka belajar teater tidaklah hanya mempelajari elemen-elem yang ada di dalamnya tetapi juga mempelajari kerja pengabungan di antaranya. Satu bidang harus mampu dan mau menghargai bidang lain. Saling berbicara. Berdiskusi. Memecahkan persoalan bersama dan menentukan satu keputusan yang secara artistik adil bagi semua pihak. Dengan demikin dalam satu karya teater, tidak hanya tergambar keindahan karya seni tetapi juga prinsip kebersamaan. Membaca referensi atau buku teater tidaklah hanya untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan peningkatan kompetensi tetapi juga untuk mengungkap makna kerja yang ada di sebalik ilmu.
Pemaknaan ini akan membawa satu sikap penghargaan profesi baik bagi diri sendiri atau bagi orang yang bekerja pada bidang lain. Secara mendalam, seni memang tidak hanya menghasilkan sesuatu yang tampak (produk) tetapi juga mental atau jiwa para pelakunya. Kualitas karya yang dihasilkan menggambarkan semangat dan keadaan jiwa pembuatnya. Karena sifatnya yang kolaboratif maka seni teater akan kehilangan spiritnya jika masing-masing bidang berusaha untuk menonjol dan mengalahkan bidang lain. Dalam satu proses pembelajaran hal semacam itu sering tejadi. Apalagi ketika proses tersebut dinilai dan memiliki konsekuensi langsung bagi pelakunya. Satu proses kerja bidang tertentu bahkan dinilai lebih tinggi dari bidang lain.
Dalam teater hal itu tidak berlaku. Satu bidang kecil memiliki makna yang sama dengan bidang lain. Jika kualitas kerja salah satu bidang tidak baik maka keseluruhan pertunjukan menjadi terpengaruh. Oleh karena itu, kerja sekecil apapun dalam teater sangatlah penting. Sebuah langkah yang besar selalu dimulai dari langkah kecil. Sebuah karya teater yang besar merupakan penyatuan kerja elemen-elemen yang kecil.
Akhirnya menjadi maklumlah kita ketika seseorang berbicara tentang teater maka ia akan membicarakan semua elemen yang ada di dalamnya. Berbicara teater tidak hanya berbicara naskah atau sutradara yang merajut proses atau aktor terkenal yang ikut terlibat di dalamnya. Berbicara teater adalah berbicara tentang semua hal yang ada di dalamnya. Hal itu akan menyangkut soal cerita, konsep, ketersampaian cerita, tata rias dan busana, tata panggung dan cahaya, bahkan penonton yang hadir di dalamnya. Kualitas ketersampaian pesan yang diramu oleh para pekerja teater (pengarang, sutradara, aktor, penata artistik) akan diketahui langsung oleh para penonton dalam sebuah pertunjukan. Karena itu pulalah penonton merupkan kunci keberhasilan sebuah pertunjukan. Respon atau tanggapan yang diberikan penonton terhadap pertunjukan yang dilangsungkan merupakan tanda bagi keberhasilan atau kegagalan pertunjukan tesebut dalam menyampaikan pesan.
Begitu pentingnya pesan yang hendak disampaikan sehingga semua elemen pendukung pementasan bekerja keras mewujudkannya. Satu gagasan atau perwujudan karya menjadi indah dan menarik serta memiliki kesatuan makna jika semua elemennya memiliki tujuan artistik yang sama. Dalam sebuah lakon yang menceritakan tentang kesedihan, maka semua komponen bekerja untuk memenuhi atmosfir kesedihan yang diharapkan. Jika satu saja elemen berada di luar garis ini maka kesatuan makna menjadi kabur. Semua elemen harus besatu. Memiliki tujuan yang sama. Saling mendukung demi tercapaiya tujuan tersebut.
Oleh karena itulah, mempelajari teater tidak hanya mempelajari satu bidang dan mengabaikan bidang lain. Memang perlu belajar satu bidang secara khusus tetapi pemahaman atas bidang lain tidak bisa diabaikan. Seorang aktor yang baik harus mengerti fungsi tata panggung karena ia akan bermain di antara objek yang ditata di atas pentas. Ia akan bermain dalam area yang diciptakan oleh penata panggung. Demikian pula penata panggung harus mau memahami pola laku dan gerak para aktor di atas pentas sehingga ruang yang diciptakan tidak mengganggu bagi pergerakan aktor ketika bemain. Semua elemen harus memahami hal ini, semua saling belajar, semua saling membantu, semua saling mendukung. Untuk kepentingan inilah buku ini disusun. Jadi, pelajarilah semuanya sesuai dengan tahapan yang benar. Dramaturgi atau pengetahuan teater dasar merupakan pokok pemahaman yang harus diperhatikan. Karya seni yang lahir dari kreativitas dapat dialirkan kepada generasi berikutnya melalui catatancatatan.
Dramaturgi adalah catatan-catatan proses penciptaan seni drama hingga sampai pementasannya. Catatan inti akan terus berkembang seiring dengan perkembangan teater itu sendiri. Banyak seniman yang lahir karena membaca atau mempelajari karya (catatan) seniman yang lainnya. Karya baru yang dihasilkan oleh seniman itupun pada nantinya juga akan menginspirasi karya yang lain. Demikian berjalan secara berkesambungan. Satu karya mempengaruhi atau terpengaruh oleh karya lain. Semua itu tidak berada dalam bingkai saling meniru akan tetapi bingkai kreativitas yang terus berkembang dan berkembang. Membaca catatan karya orang lain bukan dipahami sebagai bentuk plagiarisme tetapi membaca untuk mempelajari, membaca untuk menilhami, membaca untuk menginspirasi sehingga seni baru senantiasa lahir. Disitulah sebetulnya letak fungsi hakiki dari sebuah pengetahuan.
Ketika sebuah gagasan muncul, maka ia perlu dinyatakan. Gagasan hanya akan menjadi gagasan jika tidak diwujudkan. Dengan berdasar pengetahuan dan keingintahuan dari membaca catatan tersebut, sebuah gagasan dapat diwujudkan. Apapun bentuknya, apapun kualitasnya gagasan tersebut harus menjadi sesuatu. Sesuatu yang sangat berarti bagi si penggagas. Karya seni yang lebih mementingkan proses, lebih menghargai pengalaman dari pada hasil akhir. Oleh sebab itu, wujud awal dari sebuah gagasan harus mengalami proses pembentukan. Dalam teater, semua bermula dari sebuah cerita. Tidak peduli berapa panjang cerita tersebut. Bahkan mungkin cerita itu hanya merupakan satu rangkaian kalimat. Akan tetapi, dengan memahami dasar-dasar penciptaan lakon yang mengedepankan pentingnya arti konflik dalam teater, maka cerita yang satu kalimat itu pun dapat dikembangkan. Minimal menjadi tiga kalimat yang masing-masing mewakili pemaparan, konflik, dan penyelesaian. Hanya dengan cerita yang sangat sederhana semacam ini, sebuah karya teater dapat dilahirkan. Sebuah pertunjukan dapat digelar.
Dengan semangat dan ketekunan berlatih, cerita yang sudah berhasil dicipta dapat diwujudkan ke dalam sebuah pementasan. Kerjasama sebagai semangat seni teater dapat dijadikan acuan proses penciptaan. Pengetahuan tentang dasar-dasar penyutradaraan, pemeranan, dan tata artistik dapat diaplikasikan untuk mendukung karya yang akan ditampilkan. Tidak perlu seorang diri mengerjakan semuanya. Teater adalah kolketif, teater adalah kerjasama. Masing-masing bidang dalam teater dapat dikerjakan oleh orang-orang tertentu yang tertarik di bidang-bidang tersebut. Jika semuanya berbuat dalam semangat kerjasama maka pergelaran karaya teater menjadi karya bersama yang memiliki satu makna. Semua secara harmonis bekerja bersama mendukung makna yang satu. Masing-masing bidang yang dibahas dalam buku ini memberikan gambaran harmonisasi tersebut. Semua bisa dipelajari secara mandiri, akan tetapi lebih berarti jika semua bidang bersinergi. Semua berjalan dalam satu proses, dan proses adalah belajar. Semangat belajar dalam teater tidak akan pernah bisa berhenti karena teater senantiasa hidup dan berkembang. Ilmu yang didapatkan sekarang tidak akan pernah cukup. Oleh karena itu maka tidak ada kata lain selain belajar, belajar, dan belajar. Berkarya, berkarya, dan berkarya. Catatan kecil yang kami sampaikan ini semoga dapat menjadi pemicu semangat untuk terus belajar dan berkarya.


gielz_sweet@yahoo.com